Saturday, July 14, 2012

Short Story

.... , Lima Bulan Lalu
Beberapa potong pakaian tergeletak diatas lantai, sementara dua insan masih terbaring dalam satu selimut diatas ranjang. Cahaya mentari yang coba masuk melalui celah-celah jendela tidak lantas menggoda mereka untuk bangun dan menikmati udara pagi ini.
Mereka melewati malam yang panjang.
Sang perempuan terbangun lebih awal, memandangi sekelilingnya, kemudian tersenyum ketika melihat lelaki yang masih tertidur disampingnya. Ia membelai rambut lelaki itu hangat, dan mencium keningnya. Sang lelaki tampak sedikit terusik, ia menangkap tangan kecil yang membelainya, kemudian membuka matanya perlahan. Ia menemukan bidadari disampingnya tengah menatapnya.
Mereka tersenyum. Raut wajah keduanya begitu bahagia.
“Pagi, Ve.”
“Pagii..”
“Apa rencana kita hari ini?”
“Menghabiskan waktu dikamar?” bisik Ve ditelinga laki-laki itu memanja, seraya merubuhkan tubuh mungilnya yang masih terbungkus selimut kedalam pelukannya.
Lelaki itu tersenyum. Matanya berbinar, penuh dengan kebahagiaan. Ia tampak seperti seorang anak kecil yang baru saja mendapatkan mainan yang begitu diinginkannya.
“Aku ingin sekali, Ve. Aku ingin sekali setiap hari bisa seperti ini.”
Perempuan itu hanya tersenyum kecil, tak dapat lagi berkata apa-apa. Ia bahagia, ia sangat bahagia, meskipun dalam tatapan matanya tersisa sedikit penyesalan yang mulai mengkarat.
(Andai kau Raffi, dith. Tidak. Andai Raffi bersifat sepertimu, betapa bahagianya aku dan sempurnanya hidupku sebagai tunangannya.)
“Radith…”
“Ya?”
“You’re so special.”
“Always, dear.”
Laki-laki itu menyentuh bibir perempuan dihadapannya lembut. Ia meraih dagu mungil itu, mendekatkannya pada wajahnya dan menciumnya. Mereka  bertatapan, lekat. Dan permainan semalam terulang kembali.
Ruang ini jadi saksi bisu, dua insan yang saling melepaskan rasa.
(Tuhan, tolong hentikan waktuku. Saat ini saja. Jangan ingatkan siapa aku dan siapa lelaki dihadapanku, untuk saat ini saja.)
*
Setahun Lalu
Malam ini langit tampak cerah. Disudut cafeteria itu dua orang kekasih sedang duduk berhadapan. Mereka tengah menikmati makan malam mereka, dengan sangat tenang. Tiba-tiba sang lelaki menghentikan suapannya, ia meletakkan alat makannya diatas piringnya – yang masih menyisakan makanan – dan diam memandangi perempuan di depannya.
Sang wanita mulai terusik, “Raffi, ada apa kau melihatku seperti itu?”
Sang lelaki tersenyum.
“Boleh aku pinjam tanganmu sebentar?”
Sang wanita tak menjawab, hanya melakukan apa yang diminta kekasihnya. Ia mengulurkan tangannya dan lelaki itu menggenggamnya.
Beberapa saat lamanya, kemudian lelaki itu melepaskan tangan kekasihnya dengan penuh senyum. Perempuan dihadapannya itu kaget, ketika mendapati sebuah cincin sudah melingkar di jari manisnya. Ia menggigit ujung bibirnya dengan mata berkaca-kaca.
“Raffii…”
“Menikahlah denganku, Vee.”
(Tentu Fi! Tentu saja, aku mau. Aku tak percaya akhirnya waktu ini tiba juga.)
Sang perempuan segera mengangguk pasti. Wajahnya berbinar, senyumnya merekah, membuat parasnya yang cantik itu semakin terlihat.
(Ia ingin sekali memeluk lelaki didepannya itu. Ia tak pernah merasa lebih bahagia dari hari ini, perasaannnya meluap-luap.)
Malam ini istimewa. Ia dapat merasakan bunga-bunga bermekaran disekitarnya, memenuhi hatinya.
*
Empat Setengah Bulan Lalu
“Raffi, kapan kita bisa bertemu?”
“Mungkin lusa. Aku masih harus menyelesaikan beberapa pekerjaanku disini.”
“Baiklah.”
“Nanti ku hubungi lagi ya. Kita akan segera mengurus persiapan pernikahan kita begitu aku kembali dari sini.”
“Tentu.”
Perempuan itu duduk disamping tempat tidurnya, meletakkan telepon genggamnya diatas ranjang. Raut wajahnya terlihat sedih. Ia mengangkat tangannya keatas, memandangi jemarinya, memutar-mutar cincin yang melingkar dijari manisnya itu.
Ia berkata pada dirinya sendiri. Berpikir sejenak dalam kesendiriannya. Ia mengingat dengan keras, beberapa kejadian yang terjadi belakangan ini.
(Andai saja pertemuan itu tak pernah ada.)
(Ah, tapi bagaimana mungkin kita tidak bertemu? Cepat atau lambat kita pasti bertemu.)
(Andai perasaan ini tak perlu ada.)
(Ya, benar. Andai aku tak perlu terjebak dalam perasaanku sendiri. Tentu hal bodoh ini tak perlu terjadi.)
(Ya Tuhan, aku mengkhianatinya.)
(Ini harus segera diakhiri.)
Ia melipat kedua kakinya didepan tubuhnya, menunduk. Perlahan, airmatanya mulai mengalir membasahi pipinya.
(Ternyata aku mencintainya.)
(Tidak.)
(Andai Raffi tidak bersikap terlalu serius, andai Raffi punya cukup waktu untuk memperhatikan aku, seperti halnya Radith memperhatikanku.)
Suara hatinya saling mengadu, menuntut pembenaran. Dan ia mulai sadar, ia harus bangun dari mimpi indahnya ini.
(Aku harus mengakhirinya, empat bulan lagi aku akan menikah. Dan aku tak pantas memperlakukan calon suamiku seperti ini.)
*
Empat Bulan Lalu
“Radith, kita harus mengakhiri semua ini.”
“Aku tahu. Hanya saja aku tak pernah siap menghadapi waktu ini.”
Sang lelaki mengambil tangan sang perempuan, memutar-mutar cincin emas yang bersemayam di jari manisnya.
“Andai kau bukan milik orang lain, Ve. Aah, andai kita bertemu lebih cepat. Atau mungkin sebaiknya kita tak perlu berjumpa. Andai kita tak perlu saling jatuh cinta.”
Radith memenuhi dirinya dengan penyesalan. Penyesalan yang dalam. Entah untuk cintanya yang tak tersampaikan pada perempuan pujaan hatinya, atau penyesalan pada perasaannya sendiri.
“Bersyukurlah sebab kita pernah dipertemukan, pernah saling jatuh cinta. Karena sepertinya aku akan sangat menyesal jika aku tak pernah mengenalmu.”
“Andai aku memilikimu.”
“Kau pasti akan mendapatkan yang lebih baik daripada aku, yang masih lajang, tidak terikat status apapun dengan siapapun, yang mencintaimu apa adanya. Selalu.” Perempuan itu tersenyum sambil menatap lelaki dihadapannya lekat. Ia menyentuh kedua pipinya dengan tangannya, berusaha meyakinkan.
“And now I found you.”
“But I’m not yours. Remember it.”
“If I can, I want to forget everything, except you.”
“Oh, come on, Radith. Back to the real life.”
“Ve, dimana lagi aku akan menemukan perempuan yang bisa ku cintai selain dirimu?”
“Suatu saat nanti aka nada seorang malaikat cantik yang dikirimkan Tuhan untukmu. Aku percaya itu.”
“Tapi, sulit menerima bahwa kau akan pergi.”
“Rasanya akan sama seperti sebelum aku datang.”
“Tidak.”
“Ini bukan takdir kita, Dith.” Perempuan itu berlari, meninggalkan lelaki yang masih terpaku dihadapannya. Airmatanya mengalir pelaln, ia tahu ia telah melakukan sesuatu yang benar, meskipun dalam hatinya masih ada sedikit rasa yang bergejolak.
*
Delapan bulan lalu.
“Iya, ini aku baru mau pulang ke rumah. Nanti aku telepon lagi ya kalau udah sampai rumah.”
Perempuan itu memasukkan telepon genggamnya dengan terburu-buru kedalam tas, hingga tanpa sadar didepannya ada seseorang.
“Aduh.”
“Ah, maaf mas. Maaf.”
Mereka bertabrakan. Beberapa berkas dan barang-barang bawaan mereka berserakan di lantai. Sang perempuan segera mengambil beberapa berkas yang terjatuh sambil tak henti-hentinya mengucap maaf. Sementara itu, sang lelaki yang ditabraknya hanya memandanginya terdiam.
“Ve?”
Perempuan itu segera menoleh kearah lelaki yang ditabraknya. Ia terdiam beberapa waktu memandangi sosok yang memanggilnya.
“Radith?”
“Ya ampun, ternyata benar kamu. Apa kabar?”
“Baik. Kamu mau kemana?”
“Ini habis pulang dari Bandung, kamu mau kemana?”
“Aku mau pulang. Ya ampun, kamu makin tampan aja, dith.”
“Haha, kamu juga makin cantik. Oh iya, boleh minta nomor mu?”
“Tentu.”
“Sampai nanti, Ve. Aku akan menghubungimu nanti.”
“Ya. Semoga kita bisa berjumpa lagi.”
Mereka kemudian berpisah untuk kembali melanjutkan perjalanan menuju tujuan masing-masing. Pertemuan sederhana yang biasa saja.
Perempuan itu menuju mobilnya.
(Astaga, Radith tampan sekali. Aku tak pernah menyangka akan bertemu lagi dengannya.)
Ia tersenyum sendiri ketika mengingat kejadian memalukan tadi. Ia mengenal Radith, jauh sebelum ia bertemu dengan Raffi. Radith adalah teman sekolahnya sewaktu SMA dulu. Ia dulu pernah menaruh hati sesaat pada Radith, tetapi hanya cinta monyet anak sekolah, hingga tidak pernah berlanjut dan kehilangan kontak setelah lulus SMA.
Ia masih mematung dalam kendaraannya, tiba-tiba telepon genggamnya berbunyi.
“Haloo..”
“Haii, ini nomorku ya Ve.”
“Ah, Radith. Iya, aku akan menyimpannya.”
“Dimana kau sekarang?”
“Masih diparkiran, baru saja mau keluar. Kau?”
“Aku di taksi dalam perjalanan pulang. Okay, take care Ve. Nice to meet you today.”
“Yeah.”
Percakapan itu terhenti, Ve menghidupkan mesin kendaraannya dan beranjak dari tempat ini. Ditengah perjalanan, telepon genggamnya kembali berbunyi.
“Haloo..”
“Dimana kamu?”
“Masih dijalan aku. Kamu udah dimana?”
“Aku juga masih dijalan. Kita jadi ketemu dirumah apa diluar aja?”
“Di café langganan aja kali ya, biar aku langsung kesana.”
“Oke. Take care ya.”
“Ya.”
Pertemuan itu merupakan awal. Awal semua keraguanku tumbuh. Entah aku harus bersyukur atau menyesal atas kejadian itu. Kejadian yang membuatku merasa sangat bodoh sebagai perempuan, karena menginginkan dua hati pada satu waktu yang sama.
Seminggu, dua minggu, sebulan, dua bulan, aku dan Radith kian dekat. Kami sering bertukar sapa melalui pesan maupun telepon. Kadang jika ada waktu luang, kami saling berjumpa, tanpa sepengetahuan Raffi tentunya.
Semakin lama, perasaan itu kian berkembang. Menyesakkan. Ditambah dengan kesibukan Raffi yang kadang membuatku jenuh karena kami semakin sulit berjumpa. Dan hal itu dimanfaatkan dengan baik oleh Radith untuk memenuhi hatiku, lebih dari sekedar menumbuhkan bunga, tapi membuat sebuah ladang bunga dan menyiraminya dengan subur.
*
Sekarang.
Kamar itu penuh dengan bunga, rangkaian mawar menghiasinya. Seorang perempuan tampak duduk menghadap cermin besar dihadapannya. Ia memandangi bayangannya sendiri. Parasnya cantik, terlihat semakin cantik dengan balutan gaun putih ditubuhnya. Mahkota dari bunga menghiasi kepalanya, dan wajahnya, tertutup kain tipis halus.
Hari ini hari pernikahannya dengan Raffi. Ia menutup matanya sejenak, tersenyum, membayangkan kejadian beberapa bulan yang lalu.
“Boleh aku masuk?”
Seorang lelaki dengan setelah kemeja hitam berdiri di depan pintu kamar. Perempuan itu menoleh, tersenyum dan mengangguk.
“Selamat ya, Ve.”
“Ya. Dimana Rana?”
“Di luar.”
“Dith, terima kasih ya.”
“Untuk apa?”
“Untuk semua kebersamaan kita.”
Lelaki itu tersenyum. Kali ini senyumnya agak miris. Mereka bertatapan. Rasa itu masih tertinggal.
“Aku mencintaimu, Ve.”
“Kau tidak pantas berkata seperti itu padaku.”
“Bolehkah aku memelukmu?”
Perempuan itu hanya diam, memandang lelaki dihadapannya itu. Lelaki yang sempat mengisi sebuah ruang hatinya. Ia hanya memejamkan matanya, dan ketika membuka matanya, ia mendapati wangi yang pernah begitu dekat dengannya.
Kehangatan yang sama.
“Terima kasih, telah menghadirkan perasaan yang begitu menyenangkan dihatiku.”
Perempuan itu tersenyum mendengar bisikannya. Matanya mulai sedikit berkaca-kaca. Ia segera menarik nafas dalam, dan melepaskan pelukan itu perlahan.
“Nice to meet you, Radith.”
“Aku juga, Ve. Selamat berbahagia ya.”
“Terima kasih.”
Lelaki itu kemudian mencium tangan perempuan itu, hangat. Tersenyum. Mereka saling berpandangan untuk terakhir kalinya.
“Ayo. Raffi sudah menunggu.”
“Tentu.”
*

No comments:

Post a Comment