“Aku berharap masih
bisa membuka mataku esok hari agar aku dapat melihat kembali wajahnya.
Senyumnya adalah kekuatan terbesar yang pernah aku dapatkan untuk tetap
menikmati rasa sakit ini.”
Aku
menutup buku harianku. Malam ini, adalah hari ketiga bulan kedua setelah dokter
berhasil membunuh lebih dulu mentalku dengan vonisnya. Aku divonis menderita
kanker otak stadium 4 dan usiaku sudah tinggal menghitung waktu. Waktu yang
tidak dapat dipastikan, apakah esok aku masih dapat bangun untuk menghirup
nafas langit, atau aku tidak akan pernah terbangun lagi. Aku kalah telak ketika
itu. Jelas. Sebab selama 21 tahun aku tidak pernah merasakan keluhannya,
kecuali beberapa bulan lalu, tepatnya bulan November, ketika aku sering
terjatuh pingsan dan mengalami mimisan hebat. Daya ingatku yang mulai menurun
drastis dan pengelihatanku yang mulai kabur. Rambutku yang sering rontok dalam
jumlah banyak dan tekanan hebat di tengkuk kepalaku yang selalu ku alami. Aku
memutuskan untuk memeriksakan diriku ke dokter dan betapa terkejutnya aku
ketika mengetahui hasil pemeriksaannya. Saat itu aku merasa, Tuhan tidak adil
padaku.
Dan
malam ini adalah hari ketiga aku bertemu denganmu. Kau melintas dihadapanku.
Begitu saja, perasaan ini muncul begitu saja. Dan aku mulai bangkit dari
keterpurukanku. Aku ingin menghabiskan sisa waktuku, yang entah tinggal berapa
lama lagi untuk bersamamu.
“Tuhan, aku mohon.
Ijinkan aku sedikit lebih lama untuk dapat bersamanya. Ijinkan aku untuk masih
dapat menikmati keindahan duniamu esok hari.”
*
22 Maret 2010. Pukul
11.30, Kampus
Aku
baru saja menyelesaikan kelas Manajemen Media Massa. Cuaca tampak sangat tidak
bersahabat. Panas luar biasa. Aku berjalan menyusuri koridor menuju kantin.
Sejenak kusadari, ada yang salah. Aku berpegangan pada tembok disampingku.
Tertunduk. Aku melihat darah menetes dilantai, semakin lama semakin banyak.
“Ve,
kau mimisan!” suara Cindy mengejutkan, aku menoleh dan yang terakhir kudengar
adalah teriakan Cindy.
*
“Ve,
akhirnya kau sadar juga.” Aku mendapati Cindy dengan raut wajah penuh kekhawatiran
disampingku. Aku berusaha tersenyum, tetapi kepalaku terasa sangat berat. Aku
mengamati sekeliling dan menyadari bahwa aku berada di ruang Sekretariat Fakultas.
“Apa
yang terjadi, Cyn?”
“Kau
pingsan. Dan dari hidungmu, mengalir banyak sekali darah.” Cindy menunjuk
pakaianku yang terkena noda darah.
“Astaga.”
Aku hanya dapat berdecak membayangkan banyaknya darah yang tadi ku keluarkan.
Setiap hari aku selalu seperti ini. Namun inilah kali pertama terjadi dikampus
dan ketahuan oleh orang lain.
“Ve,
apa yang terjadi?” wajahnya masih tampak cemas. Ia hampir menangis, aku tahu
itu.
Aku
hanya tersenyum. Semampuku.
*
Pukul 19.15. Ve - Kamar
“Ah.”
Gumamku ketika melihat buku yang tengah kubaca tertetes noda darah. “Ini sudah
kesekian kalinya hari ini.” Aku mengambil tissue dan membersihkan sisa-sisa
darah yang menetes.
Aku
memutuskan untuk menghentikan membaca dan menuju balkon. Jendela kamarku menghadap kearah lapangan bulutangkis yang
sering digunakan untuk bermain bola. Ditempat inilah aku pertama kali
melihatnya. Beberapa hari yang lalu tepatnya, ketika aku sedang membaca di
balkon kamarku. Pandanganku langsung terhenti seketika itu, seperti merasa
hidup. Sejak itu, aku tak pernah melewatkan waktu ini. Waktu untuk dapat
memandanginya, dari sini.
“Aku
menemukannya, Radith.! Ia mengenakan celana pendek biru dan atasan putih. Hari
ini aku kembali melihatnya, terima kasih Tuhan. Kau masih memperkenankan aku
menikmati hidup. Semoga saja dapat terus seperti ini. Terima kasih Tuhan, telah
mengizinkan aku menikmati sisa-sisa terakhir perjalananku dengan memperkenalkan
aku pada malaikat-Mu di dunia. Radith adalah semangatku. Sisa semangatku untuk
tetap hidup. Waktu, berhentilah sesaat supaya aku bisa menikmati anugerah-Nya
saat ini. Sedikit lebih lama, menikmatinya detik tiap detik yang berlalu.”
*
30
Maret 2010. Pukul 20.01, Ve - Kamar
Sebenarnya tak ada lagi keuntunganku
mengkonsumsi segelintir obat-obatan ini, sebab ini hanya menunda, dan menunda.
Ini tidak berarti apa-apa. Dokter dan rumah sakit hanya memperalatku dengan
obat-obatan ini. Supaya aku percaya masih ada harapan untuk dapat sembuh.
“Ve, sudah minum obat?” suara mama dari
balik pintu kamarku.
Ia kemudian masuk dan duduk disampingku.
Matanya berkaca-kaca menahan tangis, hanya saja Ia ingin meyakinkan aku bahwa
dirinya baik-baik saja. Ia ingin menguatkan aku. Ia perempuan yang hebat,
betapa aku sangat mengaguminya dengan segala kegigihannya untuk tetap tegar
dihadapanku.
Aku menenggak obat-obatan ini, butir
demi butir disampingnya. Ia memandangiku dengan senyum simpulnya. Sebenarnya,
hatiku teriris setiap kali melihat senyum itu. Sebab aku tahu, ia dilanda sedih
tiap kali melihatku menenggak obat-obatan ini.
“Ve, mama tidak tahu sampai kapan Tuhan
memberikan kesempatan pada mama untuk menjagamu. Tapi mama ingin kamu tahu,
bahwa kamu adalah satu-satunya puteri mama yang paling mama sayangi. Mama hanya
ingin kamu bahagia. Dapatkah mama melakukan sesuatu untuk membahagiakanmu?”
Aku tersenyum, sesungguhnya risau sekali
hatiku mendengar pertanyaannya. Airmata ini ingin keluar, tapi aku harus kuat.
“Keberadaan mama disisiku adalah kebahagiaan terbesarku.”
Ia tersenyum, memelukku.
Tuhan,
kesekian kalinya aku memohon… kuatkanlah aku. Tabahkanlah hati ibuku.
*
7
April 2010. Pukul 10.10, Ve – Ruang Dokter
“Saya harus memberitahukan bahwa
keadaanmu memang semakin parah, Ve.” Dokter berkata demikian sambil menyerahkan
secarik kertas hasil pemeriksaan rutinku.
Aku tersenyum, “Ternyata obat memang
tidak banyak membantu ya, Dok?” ujarku, sambil memperhatikan hasil
pemeriksaanku. Tuhan, kuatkan aku menghadapi kenyataan ini.
“Kamu harus diopname. Kamu harus
menjalani perawatan intensif. Kamu sudah tidak dapat lagi beraktivitas seperti
bulan lalu, mungkin kamu harus berhenti kuliah. Ini demi kesehatanmu.
Setidaknya, biarkan kami melakukan yang terbaik yang dapat kami lakukan untuk
membantumu.”
“Terima kasih, dok. Masih banyak hal
yang ingin saya lakukan sebelum saya pergi. Sungguh, biarkan Tuhan yang
berkehendak, dok. Sebab saya tahu waktu ini tinggal sebentar lagi.”
“Mengapa kau sepesimis itu?”
“Saya tidak pesimis, saya hanya mencoba
menerima semua kenyataan bahwa saya memang harus memanfaatkan waktu yang
tersisa dengan sebaik mungkin.” Aku tersenyum memandangnya.
Dokter itu terdiam, ludahnya seolah
tersangkut di tenggorokan ketika mendengar pernyataanku. Ia menyungging senyum
menanggapi, ia berusaha.
“Kamu harus kuat, Ve.” Dokter itu
berkata pelan. Sorot matanya penuh empati sekaligus dukungan moril yang kuat.
“Pasti. Karena itu, saya tidak mau
diopname dan tertahan disini. Saya mau tetap beraktivitas apapun resikonya.
Saya siap apapun yang akan terjadi, Dok. Saya sangat siap. Dan saya perlu
menyiapkan orang-orang disekitar saya, agar mereka juga siap dengan segala
kemungkinan terburuk yang pasti terjadi.”
Dokter menepuk bahuku. Ia tersenyum
simpul. Kali ini, tatapannya penuh dengan kata maaf.
*
12
April 2010. Pukul 14.14, Ve - Kamar
Aku tidak mampu bangun dari tempat tidurku
hari ini, mama mendampingiku. Ketika mama keluar untuk menemui tamu, aku berusaha
bangkit dari tempat tidur. Namun kepalaku seolah akan jatuh. Pandanganku buram,
tapi aku ingin melihatmu. Sebentar saja. Aku merangkak perlahan menuju balkon. Aku ingin melihatmu.
Aku harus melihatmu.
Aku berhasil mencapai balkon, memandang
ke arah lapangan. Samar-samar aku mencari sosokmu, dan kita bertemu pandang. Tapi
aku tidak sadar bahwa darah segar mulai mengalir dari hidungku dan terakhir
yang kudengar adalah teriakan mama, memanggil namaku.
Setidaknya
aku sudah melihatmu, jika saja ini nafas terakhirku.
*
14
April 2010. Pukul 12.55, Rumah Sakit
Selang infus sudah mendarat di
pergelangan tanganku dan selang oksigen sudah menutup rongga hidungku. Aku
membuka mataku, di rumah sakit. Sudah berapa lama aku tidak sadarkan diri? Aku
bergumam dalam hati. Aku melihat mama tersenyum melihatku sadar. Ia
mendekatiku.
“Sudah berapa lama aku disini, ma?”
“Sudah beberapa hari, sayang. Sudah
merasa lebih baik?”
“Tidak juga, kepalaku sangat berat.”
Astaga, sudah beberapa hari aku tidak
sadarkan diri dan Tuhan masih memberiku kesempatan membuka mata. Betapa besar
kasih-Nya.
Dimulailah keseharianku ditempat ini.
Sesungguhnya, aku selalu takut waktu ini. Sebab aku merasakan sayap-sayap dari
balik punggungku meronta secepatnya ingin keluar.
*
15
April 2010. Pukul 16.18, Rumah Sakit
Pintu kamarku terbuka, Cindy muncul
dibaliknya dengan sebuket mawar putih kesukaanku. “Ve..”
“Mama keluar dulu ya.”
“Iya, tante. Terima kasih.” Cindy tersenyum
ketika mama keluar. Ia kemudian menyentuh dahiku, “Kamu baik-baik saja? Kenapa
kamu tidak bercerita sama aku? Kenapa kamu tanggung semuanya sendiri?”
Ia menangis.
“Cyn, maukah kau menolongku mengambilkan
buku kecil berwarna merah yang kuletakkan dibawah bantal tempat tidurku?
Kemudian tolong serahkan buku itu pada Radith. Tanyalah ke mama siapa Radith
dan dimana kamu dapat menemuinya. Terima kasih ya.” Aku tersenyum.
*
16
April 2010. Pukul 17.08. Cindy - Kamar Ve
“Ah, jadi ini buku yang dimaksud. Buku
apa ini?” Aku menemukan sebuah buku berwarna putih yang sedikit lusuh, ia
memintaku mengambil buku ini dan menyerahkannya pada seseorang bernama Radith.
“11
Januari 2010. Tuhan, hari ini akhirnya aku tahu apa yang melandaku sebulan ini.
Aku divonis menderita kanker otak stadium 4. Sedihnya hatiku Tuhan.. Aku tidak
tahu berapa lama lagi aku akan hidup. Ah, darahku menetes Tuhan. Sakit sekali
rasanya…”
Kubalik halaman demi halaman dengan
perlahan, banyak tulisan yang terkena noda darah. Semakin lama semakin banyak.
Aku berhenti pada halaman yang bertuliskan, “Semangat
Ve.. Kamu harus bertahan..” dimana dihalaman itu nyaris semuanya sudah
berwarna merah berdarah. Tanpa sadar, air mataku mengalir pelan.
*
“Ada yang bisa dibantu?” Radith bertanya
ketika aku menghampirinya di rumahnya.
“Radith? Ve minta gue untuk ‘ngasih buku
ini ke lo.” Ujarku sambil menyerahkan sebuah buku. “Semoga belum terlambat ya,
Dith.”
Aku pulang. Hanya itu yang dapat
kulakukan untukmu, Ve. Hanya itu.
*
Pukul
22.09, Radith - Kamar
Aku menerima sebuah buku berwarna putih
yang sudah agak lusuh dari seorang perempuan tadi sore. Katanya ini adalah buku
titipan Ve.
“17
November 2009. Astaga, aku berdarah. Ada apa ini? Semoga saja aku hanya
kelelahan karena aktivitas belakangan ini yang lumayan padat.”
Ah, apa ini? Gumamku. Aku melanjutkan
membaca, semakin lama semakin banyak noda merah ditiap halamannya.
“19
Januari 2010. Ternyata Radith tampan ya, aku rasa aku jatuh hati padanya.
Gawat, detak jantungku makin tak karuan kerap mengingatnya. Aku bersemangat!
Ups, aku harus minum obat. Semoga besok dan besok dan besonya lagi, aku masih
dapat merasakan debaran ini.”
Aku tersenyum, membalikanya sampai
menemukan sebuah amplop berwarna putih, bersih dari noda. Satu-satunya. Aku
membuka dan membacanya,
“Radith,
semoga aku belum terlambat untuk mengatakan hal ini. Terima kasih, karena sudah
hadir di detik-detik terakhirku. Betapa baiknya Tuhan mengizinkan kita bertemu.
Terima kasih, karena sudah menguatkanku atas penyakitku ini. Kau tidak tahu ajaibnya
senyumanmu mampu membangkitkan hasratku untuk bertahan. Terima kasih atas semua
kekuatan yang kau pinjamkan padaku, dith. Aku tak akan melupakan perasaan ini.
Pertemuan singkat ini berarti sangat besar untukku. Aku mencintaimu, dith.
Terima kasih.”
Aku terdiam. Aku harus menemui pemilik
buku ini. Dimana aku bisa menemuinya?
*
Pukul
23.52, Rumah Sakit
“Ma, Ve pamit ya.” bisikku pelan.
Nafasku sudah setengah, rasanya sebentar lagi akan hilang.
“Ve?” Perempuan paruh baya itu panik.
Wajahnya memucat.
“Ve sayang sama mama. Ve minta maaf
kalau selama ini punya salah sama mama. Makasih ya ma,, buat semuanya.”
“Sayang bertahanlah.” aku masih dapat
merasakan genggamannya.
“Ve udah ‘nggak kuat ma…” ujarku
terbata.
Akhirnya,
inilah waktunya Tuhan. Sayapku sudah keluar sedikit demi sedikit, untuk terbang
menemui-Mu.
*
17
April 2010. Pukul 01.07, Rumah Sakit
Lelaki muda itu berlari kecil
menghampiri seorang perempuan yang sudah agak tua yang tengah duduk di depan
ruang ICU. Nafasnya tersengal.
“Tante…”
Perempuan itu hanya menunjuk kedalam
ruang ICU, menandakan bahwa yang dimaksud sang lelaki ada didalam. Seorang
perempuan muda lainnya juga ada disana, sibuk menelepon sambil menangis
terisak.
Lelaki itu mengintip ke dalam, ia
melihat perempuan muda sebayanya tengah terbaring disetubuhi jarum-jarum suntik
dan seperangkat peralatan medis. Beberapa dokter dan suster mengelilinginya. Mesin
disampingnya menunjukkan ia masih hidup. Antara hidup dan mati. Koma.
Ia dapat melihat dokter menggelengkan
kepalanya tertunduk dan beranjak dari ruang itu.
“Bu, ini sudah batas terakhirnya. Kami
minta maaf.” Ujar Dokter dengan nada lesu. Perempuan tua itu segera berlari
menghambur kedalam. Si lelaki mengikutinya. Sementara seorang perempuan lain
sebayanya terjongkok dan menangis keras.
*
“Ve, mama mohon, bertahanlah.” Perempuan
itu terisak.
“Ve, ini aku. Radith.”
Perempuan yang terbaring itu berusaha
membuka matanya, tersenyum dan berkata “Terima kasih.. Maafkan aku.”
Mesin menunjukkan bahwa sang perempuan
itu telah tertidur untuk selamanya. Si perempuan tua terisak dashyat. Dokter
dan suster berusaha menenangkannya. Sementara si lelaki muda keluar dari
ruangan, duduk terdiam.
*
“Radith…” si lelaki mendengar sayup
suara memanggilnya. Ia menoleh, mencari darimana datangnya suara itu.
“Aku tepat disampingmu. Terima kasih,
dith. Lega sekali hatiku mengetahui kau telah menerima titipanku. Sekarang, aku
bisa pergi dengan tenang. Selamat tinggal, Radith.” Suara itu membisik
ditelinganya.
Lelaki itu mulai berkaca-kaca, “Aku
belum sempat menyatakan bahwa akupun mencintaimu, Ve. Aku belum sempat
melakukannya.”
**
Pagi ini, seorang
diambil menghadap-Nya. Perempuan muda itu tersenyum, mengepak sayapnya yang
bercahaya, menghilang perlahan.
No comments:
Post a Comment