Saturday, July 14, 2012

Aku

.... , Sore itu mendung. Tanah itu masih basah. Beberapa orang berpakaian hitam mulai beranjak meninggalkan tempat itu satu demi satu. Seorang perempuan muda, masih terlihat mematung memeluk nisan itu. Tatapannya kosong; merasakan lebih dari sebuah kehilangan. Seperti jasad tanpa ruh. Sementara dari pelupuk matanya terus mengalir airmata yang tak henti, membasahi pipinya.
Sore itu kelabu. Semakin lama langit semakin menghitam dan hujan mulai turun membasahi tubuh mungil perempuan itu, tetapi ia tetap terdiam di tempat yang sama. Seperti ialah yang mati. Ia semakin erat mendekap nisan itu, memejamkan matanya dan membiarkan dirinya terguyur hujan.
*
Seorang perempuan tergopoh-gopoh menghampiri sebuah meja di salah satu pelataran café di bilangan Jakarta Selatan. Ia menyungging senyum sumringah dan segera duduk.
“Radithh, udah lama ya? Duh, maaf ya udah lama nunggunya. Aku tadi mesti bantu Rana revisi laporan dulu. Kog belum pesen makanan sih? Kamu mau makan apa? Mmh, coba aku lihat dulu ya.”
Ia menarik daftar menu dari atas meja, memperhatikan gambar-gambar yang tertera dalam daftar menu itu. Dengan sigap ia memanggil pelayan café.
“Mbak, iced cappuccino satu, ice chocolatenya satu, beef lasagna dua ya.” Perempuan itu segera menutup daftar menu dan menyerahkannya kepada pelayan itu dengan senyum. Si pelayan hanya memandangnya heran, namun si perempuan itu tak memperdulikannya.
Beberapa menit berselang, pesanannya datang. Ia segera menyantap pesanannya dengan nikmat, sambil sesekali terlihat berbincang hangat. Raut wajahnya berbinar-binar ketika ia mulai bicara. Ia menghabiskan dua jam waktunya di café itu, untuk sekedar menikmati kudapan dan bercakap-cakap.
Sesekali, ia mendapati pandangan aneh dari tiap pengunjung café yang melihatnya. Namun ia tetap menikmati waktunya.
*
“Ve, kemarin aku lihat kamu di café deh.”
“Iya, aku kemarin ketemuan sama Radith disitu.”
Sahabatnya, Rana tampak mengernyitkan salah satu alisnya ketika mendengar hal itu. Ia segera memeluk tubuh Ve yang mungil itu hangat.
“Apaan sih Na? Peluk-peluk begini.”  Ve segera melepaskan pelukan Rana. Ia melihat mata Rana berkaca-kaca. Rana memandangnya lekat, airmatanya hampir tumpah. Ia segera menyungging senyum sambil menyentuh ujung matanya, menahan laju airmata.
“Duh, kelilipan nih aku kayaknya. Aku ke kamar mandi dulu ya, Ve.”
Ve hanya mematung ditempatnya berdiri. Rana segera berlalu, menghambur menuju kamar mandi. Ia menangis. Ia sedih menyaksikan secara nyata betapa sahabatnya telah jatuh terpuruk sejak tiga bulan lalu. Dan semakin bertambah parah setiap harinya.
“Rana, kamu kog nangis sih?” suara Ve sedikit mengejutkan Rana. Ia segera menyeka airmatanya dan berbalik menghadap Ve.
“Nggak kog sayang. Aku nggak apa-apa. Ini tadi kelilipan sakit banget. Udah yuk, kita keluar.”
“Rana, Radith kemarin tampan banget deh. Dia pakai setelan kemeja yang aku beliin buat dia waktu itu, inget ‘nggak?”
Rana memandangi sahabatnya itu, wajah yang begitu berseri-seri. Rana tahu, tatapan mata Ve yang kosong telah menjelaskan senyuman dibibirnya. Ia hanya menyungging senyum simpul.
“Bukankah dia memang tampan, Ve?”
“Tentu saja!”
*
Malam itu Ve duduk sendiri di bangku sebuah taman. Sesekali ia melirik kearah jam tangannya dan menoleh, ke kanan dan ke kiri; mencari sesuatu. Ia tertunduk. Menyibukkan diri dengan ponselnya beberapa saat, kemudian melakukan hal yang sama. Begitu seterusnya, untuk waktu yang cukup lama.
Tiba-tiba senyumnya merekah, ketika menemukan apa yang dicarinya.
“Radithh, kamu kemana aja sih? Udah hampir dua jam aku ‘nungguin kamu disini.”
Lalu Ia bercerita banyak hal : Pekerjaannya, rumah, binatang peliharaan hingga Rana, sahabatnya. Sesekali ia terlihat manja, sesekali tawanya terdengar keras. Kadang ia tertunduk, diam. Sesekali menengadah ke atas langit.
Setiap orang yang berjalan melewatinya, memandangnya heran. Dan lagi-lagi ia tak memperdulikan tatapan mata sekelilingnya.
“Wah, udah malam banget. Kita pulang yuk, dith.”
Ia lalu beranjak dari bangku itu, berjalan pelan menyusuri jalanan ibukota di malam hari. Pemandangan tampak menyenangkan, larut dalam gemerlap lampu-lampu jalan dan sorot lampu kendaraan yang hilir mudik. Jakarta masih tampak padat, transisi dari keramahan siang hari dengan hiruk pikuknya malam.
Perempuan itu tampak menikmati perjalanannya. Langkahnya kecil mengalun ringan, seolah tak ada beban, seperti halnya anak kecil yang bersorak setelah karyawisata. Tiba-tiba sebuah lancer silver berhenti tepat disampingnya. Menghentikan langkahnya dan membuatnya sedikit kaget. Kaca samping mobil itu turun perlahan, wajah seorang laki-laki tampak dari balik kaca itu, memperhatikan. Lelaki itu segera mematikan mesin kendaraannya dan keluar.
“Ve, kamu ngapain sendirian disini?”
“Loh, Raffi. Kamu ngapain disini?”
“Udah yuk ah, ikut aku pulang. Aku antar kamu.”
“Tapii, aku kan lagi sama Radith.”
Raffi spontan melepas genggaman tangannya. Ia segera menoleh, memandang wajah perempuan manis dihadapannya itu dengan lekat. “Tapi, Radith kan…”
Belum sempat lelaki itu melanjutkan kalimatnya, Ve menengok sekelilingnya mencari sosok yang dibicarakannya.
“Tuh kan, kemana lagi dia. Kamu sih tarik-tarik aku.”
Raffi masih menatapnya lekat. “Kamu baik-baik aja kan, Ve? Kita pulang aja yah.”
Ve hanya memandangi sekeliling dengan diam, masih mencari. Wajahnya cemas, dan pucat. Setelah beberapa menit lamanya, akhirnya Raffi berhasil membujuknya masuk ke dalam mobil dan mengantarnya pulang. Sepanjang perjalanan, mereka hanya diam. Vee tampak kesal karena perbuatan Raffi, sementara Raffi tampak bingung harus berkata apa untuk dapat menjelaskan semua peristiwa ini dengan akal sehat.
*
Lelaki itu merubuhkan tubuhnya diatas kasur. Ia menghela nafas dalam-dalam, kemudian mengambil telepon genggamnya dan mulai menelepon.
“Haloo..” Suara perempuan diseberang tampak berat.
“Na, aku tadi ketemu Ve di jalan.”
“Raffi, kog bisa?”
“Iya. Aku kaget, Na.”
“Kenapa?”
“Waktu aku tanya dia lagi ngapain jalan sendirian malam-malam, dia bilang ‘aku lagi sama Radith.’”
“Aku juga, Fi.”
“Kenapa kamu?”
“Kemarin aku lihat dia lagi makan di cafe, pas aku tanya tadi di kantor, dia juga bilang hal yang sama. Bukan sekali dua kali, Fi. Bukan lagi sebulan, dua bulan.”
Suasana hening selama beberapa menit lamanya. Mereka berdua seolah berusaha menerima keadaan yang terjadi dengan sahabat mereka.
“Aku sedih, Na. Mengapa keadaannya menjadi begitu mengkhawatirkan?”
“Terlebih aku, Fi. Tapi apa yang bisa kita lakukan? Sepertinya Vee masih belum bisa menerima kepergian Radith.”
“Andai saja mata itu mau memandangku, andai saja tubuh itu mau menerima pelukanku. Andai saja aku bisa menggantikan posisi Radith, Na.”
“Aku tahu, Fi. Aku tahu seberapa besar kau mencintainya.”
“Ya, dan aku tak tahan melihatnya seperti ini. Ia seperti sedang membunuh dirinya sendiri perlahan.”
“Haruskah kita membawanya ke seorang psikiater, Fi?”
“Lagi? Bukankah kedua orangtuanya sudah melakukan itu?”
“Ya, memang sudah. Tapi tidak menunjukkan perubahan berarti. Semakin hari aku merasa Ve semakin memburuk, sekalipun ia terlihat biasa saja dan dapat menjalankan hari-harinya seolah tidak pernah terjadi apa-apa.”
“Suatu saat nanti dia pasti sadar.”
“Semoga waktu itu cepat datang.”
“Amin.”
*
Kamar itu lapang. Ruang berukuran 4x4m itu terasa dingin. Ve duduk bersandar dipinggiran tempat tidurnya, memandangi sebuah pigura. “Dith, kenapa ya belakangan ini kamu diam aja? Udah hampir empat bulan ini kamu diam aja tiap kali aku ajak bicara.”
Ia mengambil pigura itu dan memeluknya. Lambat, airmatanya mengalir. Semakin lama semakin deras membasahi pipinya.
“Radithhhh…..!!” Dadanya sesak. Ia mulai berteriak, histeris. Ia membanting pigura itu dan mulai melempar barang-barang disekitarnya. Airmatanya tetap mengalir, nama yang diserukannya tetap sama.  
Seorang perempuan yang sudah agak tua muncul dari balik pintu kamarnya, dengan raut wajah panik.
“Pa, papa! Cepat ambil obatnya!” ujarnya sambil memegang kedua tangan Ve erat. Ia mulai turut menangis, sementara Ve tetap bersikukuh, meronta dan berteriak kencang.
“Radithhhhhh…!!!! Radithhhhh….!!!!!!!!!!!”
Dengan tergesa, seorang lelaki yang juga sudah agak tua datang membawa set perlengkapan suntik. Ia segera membuka bungkus obat dan menyuntikkannya pada lengan puterinya tercinta. Seketika Ve mulai tenang. Perlahan ia mulai memejamkan matanya.
Sang ayah segera mengangkat tubuh puterinya yang mungil itu dan memindahkannya ke atas tempat tidur, sementara sang ibu membenahi beberapa barang yang berserakan dilantai.
Kedua orang tua ini saling berpelukan, menatap puterinya miris. Sang perempuan menangis, memeluk suaminya. Sementara, sang pria berusaha menahan bulir-bulir airmata di ujung matanya.
*
“Kamu tuh darimana sih tiap pagi, Ve? Sepatunya kotor terus tiap hari.” Rana menepuk bahu sahabatnya itu pelan.
“Dari rumahlah. Eh, iya ya, kog kotor gini sepatuku.” Ve melihat kearah sepatunya dengan heran, tapi ia tak terlalu menghiraukannya.
“Mmh, dasar. Yaudah nih, dari Bu Dinda.”
“Oke, Rana. Makasih ya.”
Ve segera berlalu, sementara Rana, memandangnya dengan sedih. Ia tahu. Ia sadar. Ia hanya pura-pura tidak pernah terjadi apa-apa. Ia hanya membohongi dirinya sendiri. Rana terus bergumam dalam hatinya, memikirkan sahabatnya itu.
*
“Ve, nanti kamu mau ada acara kemana?”
“Mmh, kayaknya ‘nggak ada, Fi. Kenapa?”
“Nanti ikut aku yuk.”
“Kemana?”
“Ada deh. Pokoknya nanti aku jemput sepulang kerja ya.”
*
Lancer silver itu melaju pelan dan berhenti di pelataran parkir dengan tenang. Dari dalamnya, Raffi keluar dan bersandar di depan kaca mobilnya. Tak lama berselang, seseorang yang dinantinya muncul. Seorang perempuan cantik yang telah lama dicintainya.
“Ve!”
Ve melambaikan tangan dan segera menuju kearah Raffi. Mereka berdua masuk kedalam mobil dan dengan segera meninggalkan tempat itu.
“Kita mau kemana, Fi?”
Laki-laki itu tak menjawab, hanya menoleh sebentar menebar senyum simpul dan kembali fokus memandang jalanan. Dan Ve berhenti bertanya setelahnya. Sepanjang perjalanan tak ada cerita, tak ada kata-kata.
Selang dua jam kemudian, mobil itu berhenti disebuah taman.
“Kita sampai.”
Mereka berdua kemudian turun dan memilih sebuah bangku panjang yang berada tepat mengarah ke sebuah airmancur ditaman. Sesaat saja, keadaan menjadi hening.
“Ve, menikahlah denganku.”
Pernyataan Raffi spontan membuat Ve terbelalak. Matanya melebar seperti hendak keluar dari tempatnya.
“Tidak bisa, Fi. Kamu kan tahu, aku sudah punya Radith. Kau tidak pantas berkata seperti itu, Fi.”
“Tapi Radith sudah meninggal, Ve!”
“Tidak. Aku masih bertemu dengannya kemarin!”
“Ve, kau harus menerima kenyataan. Aku akan menggantikan Radith untukmu.”
“Tidaakkk…”
Mendadak Ve mulai hilang kendali. Perempuan itu mulai bangkit berdiri dan berlari. Raffi segera mengejarnya, menangkap lengannya kemudian memeluknya jatuh. Sementara itu, Ve tetap berusaha meronta dengan keras sambil berteriak.
Pengunjung taman ini memandang mereka dengan tatapan pilu, terutama melihat raut wajah perempuan yang jatuh dalam pelukan sang lelaki. Mereka mungkin tidak mengerti apa yang terjadi, tapi mereka mampu membayangkan kesedihan macam apa yang dirasakan.
“Radithh, tolong aku! Radittthhhhh!!!”
“Ve, Radith sudah hampir setahun meninggalkan kita!”
“Tidak, Fi. Tidakk!! Kemarin kami masih bertemu dan aku masih berbincang dengannya!”
“Itu semua hanya khayalanmu!”
“Tidak!!”
“Ayo, kau harus bangun dari tidurmu, Ve! Aku tak mau kau jadi gila karena hal ini.”
“Tidak, Fi. Tidak. Aku tidak mau.”
Kali ini wajah Ve mulai berkaca-kaca, ketika Raffi menggandengnya dengan paksa untuk masuk ke dalam mobil.
*
“Ini Radith, lihat baik-baik Ve.”
Raffi menunjuk sebuah makam, yang diatasnya bertuliskan nisan ‘Raditya Pradana’. Makam itu harum, penuh dengan rangkaian mawar putih diatasnya. Ve memandang makam itu heran, ia tetap bersikukuh menyangkal.
“Pasti kamu bercanda kan? Ini makam siapa, Fi?”
“Ini makam Radith, Ve.”
“Radith masih hidup kog, lagipula hanya namanya saja yang sama.”
Sementara itu, dari sudut lain datang seorang laki-laki yang sudah berusia setengah abad menghampiri. Ia menyungging senyum, menandakan bahwa ia sangat mengenal sosok yang ada dihadapannya.
“Non Ve. Tumben sore kesininya.”
Raffi menatap Ve lekat, namun Ve tidak mengerti. Perempuan itu masih saja mematung di depan makam itu.
“Tumben?”
“Iya. Ini pasti mas Raffi ya? Saya Pak Soleh, yang ngurus makamnya almarhum mas Radith. Non Ve ini tiap pagi sebelum berangkat ke kantor pasti mampir kesini sambil bawa sebuket bunga mawar putih. Baru saja tadi pagi dia datang.”
Raffi mengangkat sebelah alisnya, kembali menengok Ve yang masih saja mematung.
“Bapak yakin?”
“Ya tentu lah, mas. Wong saya yang bersihin makam ini tiap hari, masak saya bohong.”
“Sudah berapa lama hal itu terjadi, Pak?”
“Sehari setelah almarhum mas Radith dimakamkan. Non Ve juga yang terakhir kali pulang dari makamnya, dia yang meminta saya menjaga makam ini.”
“Pak, siapa yang dimakamkan disini?” pertanyaan Ve membuat dua orang laki-laki dihadapannya saling bertatapan.
“Ini makam almarhum mas Radith, Non. Masa Non ‘nggak ingat?”
“Radith siapa? Oh iya, ‘kog bapak kenal sama saya ya?”
Pak Soleh mulai menangkap apa yang terjadi, kebingungan Raffi dan gelagat Ve yang berbeda dengan perempuan yang selalu dijumpainya setiap pagi. Lelaki itu tak menjawab pertanyaan Ve.
“Kita pergi dari sini yuk, Fi.”
Ve segera menarik lengan Raffi dan menyungging senyum simpul kepada lelaki yang satunya. Mereka meninggalkan tempat itu. Sementara Pak Soleh memandang makam dihadapannya dan berkata, “Dia sangat mencintaimu, nak.” Lalu pergi meninggalkan makam yang dipenuhi mawar putih itu.
*
Matahari mulai menghangatkan dunia dengan sinarnya. Seorang perempuan muda terlihat masih duduk disalah satu makam dengan tenang. Ia memandangi makam itu lekat. Ditangannya masih tergenggam sebuket mawar putih yang segar.
Dari kejauhan tampak seorang lelaki menghampirinya. “Pagi Non.”
“Pagi pak.”
“Belum berangkat Non?”
“Ini baru mau berangkat. Titip mas Radith ya, pak.”
Perempuan itu lalu berdiri, beranjak dari makam itu. Laki-laki yang menghampirinya tadi menggeleng melihatnya, mengingat kejadian kemarin sore. Ditempat yang sama, dengan orang yang sama, tetapi jiwanya sudah berbeda. Hanya dalam hitungan jam, mungkin.
Ia mengelus dadanya, lalu mulai membersihkan pelataran makam itu.
*

No comments:

Post a Comment