.... , Sore
itu mendung. Tanah itu masih basah. Beberapa orang berpakaian hitam mulai
beranjak meninggalkan tempat itu satu demi satu. Seorang perempuan muda, masih
terlihat mematung memeluk nisan itu. Tatapannya kosong; merasakan lebih dari
sebuah kehilangan. Seperti jasad tanpa ruh. Sementara dari pelupuk matanya
terus mengalir airmata yang tak henti, membasahi pipinya.
Sore
itu kelabu. Semakin lama langit semakin menghitam dan hujan mulai turun
membasahi tubuh mungil perempuan itu, tetapi ia tetap terdiam di tempat yang
sama. Seperti ialah yang mati. Ia semakin erat mendekap nisan itu, memejamkan
matanya dan membiarkan dirinya terguyur hujan.
*
Seorang
perempuan tergopoh-gopoh menghampiri sebuah meja di salah satu pelataran café
di bilangan Jakarta Selatan. Ia menyungging senyum sumringah dan segera duduk.
“Radithh,
udah lama ya? Duh, maaf ya udah lama nunggunya. Aku tadi mesti bantu Rana
revisi laporan dulu. Kog belum pesen makanan sih? Kamu mau makan apa? Mmh, coba
aku lihat dulu ya.”
Ia
menarik daftar menu dari atas meja, memperhatikan gambar-gambar yang tertera
dalam daftar menu itu. Dengan sigap ia memanggil pelayan café.
“Mbak,
iced cappuccino satu, ice chocolatenya satu, beef lasagna dua ya.” Perempuan
itu segera menutup daftar menu dan menyerahkannya kepada pelayan itu dengan
senyum. Si pelayan hanya memandangnya heran, namun si perempuan itu tak
memperdulikannya.
Beberapa
menit berselang, pesanannya datang. Ia segera menyantap pesanannya dengan
nikmat, sambil sesekali terlihat berbincang hangat. Raut wajahnya
berbinar-binar ketika ia mulai bicara. Ia menghabiskan dua jam waktunya di café
itu, untuk sekedar menikmati kudapan dan bercakap-cakap.
Sesekali,
ia mendapati pandangan aneh dari tiap pengunjung café yang melihatnya. Namun ia
tetap menikmati waktunya.
*
“Ve,
kemarin aku lihat kamu di café deh.”
“Iya,
aku kemarin ketemuan sama Radith disitu.”
Sahabatnya,
Rana tampak mengernyitkan salah satu alisnya ketika mendengar hal itu. Ia
segera memeluk tubuh Ve yang mungil itu hangat.
“Apaan
sih Na? Peluk-peluk begini.” Ve segera
melepaskan pelukan Rana. Ia melihat mata Rana berkaca-kaca. Rana memandangnya
lekat, airmatanya hampir tumpah. Ia segera menyungging senyum sambil menyentuh
ujung matanya, menahan laju airmata.
“Duh,
kelilipan nih aku kayaknya. Aku ke kamar mandi dulu ya, Ve.”
Ve
hanya mematung ditempatnya berdiri. Rana segera berlalu, menghambur menuju
kamar mandi. Ia menangis. Ia sedih menyaksikan secara nyata betapa sahabatnya
telah jatuh terpuruk sejak tiga bulan lalu. Dan semakin bertambah parah setiap
harinya.
“Rana,
kamu kog nangis sih?” suara Ve sedikit mengejutkan Rana. Ia segera menyeka
airmatanya dan berbalik menghadap Ve.
“Nggak
kog sayang. Aku nggak apa-apa. Ini tadi kelilipan sakit banget. Udah yuk, kita
keluar.”
“Rana,
Radith kemarin tampan banget deh. Dia pakai setelan kemeja yang aku beliin buat
dia waktu itu, inget ‘nggak?”
Rana
memandangi sahabatnya itu, wajah yang begitu berseri-seri. Rana tahu, tatapan
mata Ve yang kosong telah menjelaskan senyuman dibibirnya. Ia hanya menyungging
senyum simpul.
“Bukankah
dia memang tampan, Ve?”
“Tentu
saja!”
*
Malam
itu Ve duduk sendiri di bangku sebuah taman. Sesekali ia melirik kearah jam
tangannya dan menoleh, ke kanan dan ke kiri; mencari sesuatu. Ia tertunduk.
Menyibukkan diri dengan ponselnya beberapa saat, kemudian melakukan hal yang
sama. Begitu seterusnya, untuk waktu yang cukup lama.
Tiba-tiba
senyumnya merekah, ketika menemukan apa yang dicarinya.
“Radithh,
kamu kemana aja sih? Udah hampir dua jam aku ‘nungguin kamu disini.”
Lalu
Ia bercerita banyak hal : Pekerjaannya, rumah, binatang peliharaan hingga Rana,
sahabatnya. Sesekali ia terlihat manja, sesekali tawanya terdengar keras.
Kadang ia tertunduk, diam. Sesekali menengadah ke atas langit.
Setiap
orang yang berjalan melewatinya, memandangnya heran. Dan lagi-lagi ia tak
memperdulikan tatapan mata sekelilingnya.
“Wah,
udah malam banget. Kita pulang yuk, dith.”
Ia
lalu beranjak dari bangku itu, berjalan pelan menyusuri jalanan ibukota di
malam hari. Pemandangan tampak menyenangkan, larut dalam gemerlap lampu-lampu
jalan dan sorot lampu kendaraan yang hilir mudik. Jakarta masih tampak padat,
transisi dari keramahan siang hari dengan hiruk pikuknya malam.
Perempuan
itu tampak menikmati perjalanannya. Langkahnya kecil mengalun ringan, seolah
tak ada beban, seperti halnya anak kecil yang bersorak setelah karyawisata. Tiba-tiba
sebuah lancer silver berhenti tepat disampingnya. Menghentikan langkahnya dan
membuatnya sedikit kaget. Kaca samping mobil itu turun perlahan, wajah seorang
laki-laki tampak dari balik kaca itu, memperhatikan. Lelaki itu segera
mematikan mesin kendaraannya dan keluar.
“Ve,
kamu ngapain sendirian disini?”
“Loh,
Raffi. Kamu ngapain disini?”
“Udah
yuk ah, ikut aku pulang. Aku antar kamu.”
“Tapii,
aku kan lagi sama Radith.”
Raffi
spontan melepas genggaman tangannya. Ia segera menoleh, memandang wajah
perempuan manis dihadapannya itu dengan lekat. “Tapi, Radith kan…”
Belum
sempat lelaki itu melanjutkan kalimatnya, Ve menengok sekelilingnya mencari
sosok yang dibicarakannya.
“Tuh
kan, kemana lagi dia. Kamu sih tarik-tarik aku.”
Raffi
masih menatapnya lekat. “Kamu baik-baik aja kan, Ve? Kita pulang aja yah.”
Ve
hanya memandangi sekeliling dengan diam, masih mencari. Wajahnya cemas, dan
pucat. Setelah beberapa menit lamanya, akhirnya Raffi berhasil membujuknya
masuk ke dalam mobil dan mengantarnya pulang. Sepanjang perjalanan, mereka
hanya diam. Vee tampak kesal karena perbuatan Raffi, sementara Raffi tampak
bingung harus berkata apa untuk dapat menjelaskan semua peristiwa ini dengan
akal sehat.
*
Lelaki
itu merubuhkan tubuhnya diatas kasur. Ia menghela nafas dalam-dalam, kemudian
mengambil telepon genggamnya dan mulai menelepon.
“Haloo..”
Suara perempuan diseberang tampak berat.
“Na,
aku tadi ketemu Ve di jalan.”
“Raffi,
kog bisa?”
“Iya.
Aku kaget, Na.”
“Kenapa?”
“Waktu
aku tanya dia lagi ngapain jalan sendirian malam-malam, dia bilang ‘aku lagi
sama Radith.’”
“Aku
juga, Fi.”
“Kenapa
kamu?”
“Kemarin
aku lihat dia lagi makan di cafe, pas aku tanya tadi di kantor, dia juga bilang
hal yang sama. Bukan sekali dua kali, Fi. Bukan lagi sebulan, dua bulan.”
Suasana
hening selama beberapa menit lamanya. Mereka berdua seolah berusaha menerima
keadaan yang terjadi dengan sahabat mereka.
“Aku
sedih, Na. Mengapa keadaannya menjadi begitu mengkhawatirkan?”
“Terlebih
aku, Fi. Tapi apa yang bisa kita lakukan? Sepertinya Vee masih belum bisa
menerima kepergian Radith.”
“Andai
saja mata itu mau memandangku, andai saja tubuh itu mau menerima pelukanku.
Andai saja aku bisa menggantikan posisi Radith, Na.”
“Aku
tahu, Fi. Aku tahu seberapa besar kau mencintainya.”
“Ya,
dan aku tak tahan melihatnya seperti ini. Ia seperti sedang membunuh dirinya
sendiri perlahan.”
“Haruskah
kita membawanya ke seorang psikiater, Fi?”
“Lagi?
Bukankah kedua orangtuanya sudah melakukan itu?”
“Ya,
memang sudah. Tapi tidak menunjukkan perubahan berarti. Semakin hari aku merasa
Ve semakin memburuk, sekalipun ia terlihat biasa saja dan dapat menjalankan
hari-harinya seolah tidak pernah terjadi apa-apa.”
“Suatu
saat nanti dia pasti sadar.”
“Semoga
waktu itu cepat datang.”
“Amin.”
*
Kamar
itu lapang. Ruang berukuran 4x4m itu terasa dingin. Ve duduk bersandar
dipinggiran tempat tidurnya, memandangi sebuah pigura. “Dith, kenapa ya
belakangan ini kamu diam aja? Udah hampir empat bulan ini kamu diam aja tiap
kali aku ajak bicara.”
Ia
mengambil pigura itu dan memeluknya. Lambat, airmatanya mengalir. Semakin lama
semakin deras membasahi pipinya.
“Radithhhh…..!!”
Dadanya sesak. Ia mulai berteriak, histeris. Ia membanting pigura itu dan mulai
melempar barang-barang disekitarnya. Airmatanya tetap mengalir, nama yang
diserukannya tetap sama.
Seorang
perempuan yang sudah agak tua muncul dari balik pintu kamarnya, dengan raut
wajah panik.
“Pa,
papa! Cepat ambil obatnya!” ujarnya sambil memegang kedua tangan Ve erat. Ia
mulai turut menangis, sementara Ve tetap bersikukuh, meronta dan berteriak
kencang.
“Radithhhhhh…!!!!
Radithhhhh….!!!!!!!!!!!”
Dengan
tergesa, seorang lelaki yang juga sudah agak tua datang membawa set
perlengkapan suntik. Ia segera membuka bungkus obat dan menyuntikkannya pada
lengan puterinya tercinta. Seketika Ve mulai tenang. Perlahan ia mulai
memejamkan matanya.
Sang
ayah segera mengangkat tubuh puterinya yang mungil itu dan memindahkannya ke
atas tempat tidur, sementara sang ibu membenahi beberapa barang yang berserakan
dilantai.
Kedua
orang tua ini saling berpelukan, menatap puterinya miris. Sang perempuan
menangis, memeluk suaminya. Sementara, sang pria berusaha menahan bulir-bulir
airmata di ujung matanya.
*
“Kamu
tuh darimana sih tiap pagi, Ve? Sepatunya kotor terus tiap hari.” Rana menepuk
bahu sahabatnya itu pelan.
“Dari
rumahlah. Eh, iya ya, kog kotor gini sepatuku.” Ve melihat kearah sepatunya
dengan heran, tapi ia tak terlalu menghiraukannya.
“Mmh,
dasar. Yaudah nih, dari Bu Dinda.”
“Oke,
Rana. Makasih ya.”
Ve
segera berlalu, sementara Rana, memandangnya dengan sedih. Ia tahu. Ia sadar.
Ia hanya pura-pura tidak pernah terjadi apa-apa. Ia hanya membohongi dirinya
sendiri. Rana terus bergumam dalam hatinya, memikirkan sahabatnya itu.
*
“Ve,
nanti kamu mau ada acara kemana?”
“Mmh,
kayaknya ‘nggak ada, Fi. Kenapa?”
“Nanti
ikut aku yuk.”
“Kemana?”
“Ada
deh. Pokoknya nanti aku jemput sepulang kerja ya.”
*
Lancer
silver itu melaju pelan dan berhenti di pelataran parkir dengan tenang. Dari
dalamnya, Raffi keluar dan bersandar di depan kaca mobilnya. Tak lama
berselang, seseorang yang dinantinya muncul. Seorang perempuan cantik yang
telah lama dicintainya.
“Ve!”
Ve
melambaikan tangan dan segera menuju kearah Raffi. Mereka berdua masuk kedalam
mobil dan dengan segera meninggalkan tempat itu.
“Kita
mau kemana, Fi?”
Laki-laki
itu tak menjawab, hanya menoleh sebentar menebar senyum simpul dan kembali fokus
memandang jalanan. Dan Ve berhenti bertanya setelahnya. Sepanjang perjalanan
tak ada cerita, tak ada kata-kata.
Selang
dua jam kemudian, mobil itu berhenti disebuah taman.
“Kita
sampai.”
Mereka
berdua kemudian turun dan memilih sebuah bangku panjang yang berada tepat
mengarah ke sebuah airmancur ditaman. Sesaat saja, keadaan menjadi hening.
“Ve,
menikahlah denganku.”
Pernyataan
Raffi spontan membuat Ve terbelalak. Matanya melebar seperti hendak keluar dari
tempatnya.
“Tidak
bisa, Fi. Kamu kan tahu, aku sudah punya Radith. Kau tidak pantas berkata
seperti itu, Fi.”
“Tapi
Radith sudah meninggal, Ve!”
“Tidak.
Aku masih bertemu dengannya kemarin!”
“Ve,
kau harus menerima kenyataan. Aku akan menggantikan Radith untukmu.”
“Tidaakkk…”
Mendadak
Ve mulai hilang kendali. Perempuan itu mulai bangkit berdiri dan berlari. Raffi
segera mengejarnya, menangkap lengannya kemudian memeluknya jatuh. Sementara
itu, Ve tetap berusaha meronta dengan keras sambil berteriak.
Pengunjung
taman ini memandang mereka dengan tatapan pilu, terutama melihat raut wajah
perempuan yang jatuh dalam pelukan sang lelaki. Mereka mungkin tidak mengerti
apa yang terjadi, tapi mereka mampu membayangkan kesedihan macam apa yang
dirasakan.
“Radithh,
tolong aku! Radittthhhhh!!!”
“Ve,
Radith sudah hampir setahun meninggalkan kita!”
“Tidak,
Fi. Tidakk!! Kemarin kami masih bertemu dan aku masih berbincang dengannya!”
“Itu
semua hanya khayalanmu!”
“Tidak!!”
“Ayo,
kau harus bangun dari tidurmu, Ve! Aku tak mau kau jadi gila karena hal ini.”
“Tidak,
Fi. Tidak. Aku tidak mau.”
Kali
ini wajah Ve mulai berkaca-kaca, ketika Raffi menggandengnya dengan paksa untuk
masuk ke dalam mobil.
*
“Ini
Radith, lihat baik-baik Ve.”
Raffi
menunjuk sebuah makam, yang diatasnya bertuliskan nisan ‘Raditya Pradana’.
Makam itu harum, penuh dengan rangkaian mawar putih diatasnya. Ve memandang
makam itu heran, ia tetap bersikukuh menyangkal.
“Pasti
kamu bercanda kan? Ini makam siapa, Fi?”
“Ini
makam Radith, Ve.”
“Radith
masih hidup kog, lagipula hanya namanya saja yang sama.”
Sementara
itu, dari sudut lain datang seorang laki-laki yang sudah berusia setengah abad
menghampiri. Ia menyungging senyum, menandakan bahwa ia sangat mengenal sosok
yang ada dihadapannya.
“Non
Ve. Tumben sore kesininya.”
Raffi
menatap Ve lekat, namun Ve tidak mengerti. Perempuan itu masih saja mematung di
depan makam itu.
“Tumben?”
“Iya.
Ini pasti mas Raffi ya? Saya Pak Soleh, yang ngurus makamnya almarhum mas
Radith. Non Ve ini tiap pagi sebelum berangkat ke kantor pasti mampir kesini
sambil bawa sebuket bunga mawar putih. Baru saja tadi pagi dia datang.”
Raffi
mengangkat sebelah alisnya, kembali menengok Ve yang masih saja mematung.
“Bapak
yakin?”
“Ya
tentu lah, mas. Wong saya yang bersihin makam ini tiap hari, masak saya
bohong.”
“Sudah
berapa lama hal itu terjadi, Pak?”
“Sehari
setelah almarhum mas Radith dimakamkan. Non Ve juga yang terakhir kali pulang
dari makamnya, dia yang meminta saya menjaga makam ini.”
“Pak,
siapa yang dimakamkan disini?” pertanyaan Ve membuat dua orang laki-laki
dihadapannya saling bertatapan.
“Ini
makam almarhum mas Radith, Non. Masa Non ‘nggak ingat?”
“Radith
siapa? Oh iya, ‘kog bapak kenal sama saya ya?”
Pak
Soleh mulai menangkap apa yang terjadi, kebingungan Raffi dan gelagat Ve yang
berbeda dengan perempuan yang selalu dijumpainya setiap pagi. Lelaki itu tak
menjawab pertanyaan Ve.
“Kita
pergi dari sini yuk, Fi.”
Ve
segera menarik lengan Raffi dan menyungging senyum simpul kepada lelaki yang
satunya. Mereka meninggalkan tempat itu. Sementara Pak Soleh memandang makam
dihadapannya dan berkata, “Dia sangat mencintaimu, nak.” Lalu pergi
meninggalkan makam yang dipenuhi mawar putih itu.
*
Matahari
mulai menghangatkan dunia dengan sinarnya. Seorang perempuan muda terlihat
masih duduk disalah satu makam dengan tenang. Ia memandangi makam itu lekat.
Ditangannya masih tergenggam sebuket mawar putih yang segar.
Dari
kejauhan tampak seorang lelaki menghampirinya. “Pagi Non.”
“Pagi
pak.”
“Belum
berangkat Non?”
“Ini
baru mau berangkat. Titip mas Radith ya, pak.”
Perempuan
itu lalu berdiri, beranjak dari makam itu. Laki-laki yang menghampirinya tadi
menggeleng melihatnya, mengingat kejadian kemarin sore. Ditempat yang sama,
dengan orang yang sama, tetapi jiwanya sudah berbeda. Hanya dalam hitungan jam,
mungkin.
Ia
mengelus dadanya, lalu mulai membersihkan pelataran makam itu.
*
No comments:
Post a Comment