.... , Lima Bulan Lalu
Beberapa
potong pakaian tergeletak diatas lantai, sementara dua insan masih terbaring
dalam satu selimut diatas ranjang. Cahaya mentari yang coba masuk melalui
celah-celah jendela tidak lantas menggoda mereka untuk bangun dan menikmati udara
pagi ini.
Mereka
melewati malam yang panjang.
Sang
perempuan terbangun lebih awal, memandangi sekelilingnya, kemudian tersenyum
ketika melihat lelaki yang masih tertidur disampingnya. Ia membelai rambut
lelaki itu hangat, dan mencium keningnya. Sang lelaki tampak sedikit terusik,
ia menangkap tangan kecil yang membelainya, kemudian membuka matanya perlahan.
Ia menemukan bidadari disampingnya tengah menatapnya.
Mereka
tersenyum. Raut wajah keduanya begitu bahagia.
“Pagi,
Ve.”
“Pagii..”
“Apa
rencana kita hari ini?”
“Menghabiskan
waktu dikamar?” bisik Ve ditelinga laki-laki itu memanja, seraya merubuhkan
tubuh mungilnya yang masih terbungkus selimut kedalam pelukannya.
Lelaki
itu tersenyum. Matanya berbinar, penuh dengan kebahagiaan. Ia tampak seperti seorang
anak kecil yang baru saja mendapatkan mainan yang begitu diinginkannya.
“Aku
ingin sekali, Ve. Aku ingin sekali setiap hari bisa seperti ini.”
Perempuan
itu hanya tersenyum kecil, tak dapat lagi berkata apa-apa. Ia bahagia, ia
sangat bahagia, meskipun dalam tatapan matanya tersisa sedikit penyesalan yang mulai
mengkarat.
(Andai
kau Raffi, dith. Tidak. Andai Raffi bersifat sepertimu, betapa bahagianya aku
dan sempurnanya hidupku sebagai tunangannya.)
“Radith…”
“Ya?”
“You’re so special.”
“Always, dear.”
Laki-laki
itu menyentuh bibir perempuan dihadapannya lembut. Ia meraih dagu mungil itu,
mendekatkannya pada wajahnya dan menciumnya. Mereka bertatapan, lekat. Dan permainan semalam
terulang kembali.
Ruang
ini jadi saksi bisu, dua insan yang saling melepaskan rasa.
(Tuhan,
tolong hentikan waktuku. Saat ini saja. Jangan ingatkan siapa aku dan siapa
lelaki dihadapanku, untuk saat ini saja.)
*
Setahun Lalu
Malam
ini langit tampak cerah. Disudut cafeteria itu dua orang kekasih sedang duduk
berhadapan. Mereka tengah menikmati makan malam mereka, dengan sangat tenang.
Tiba-tiba sang lelaki menghentikan suapannya, ia meletakkan alat makannya
diatas piringnya – yang masih menyisakan makanan – dan diam memandangi
perempuan di depannya.
Sang
wanita mulai terusik, “Raffi, ada apa kau melihatku seperti itu?”
Sang
lelaki tersenyum.
“Boleh
aku pinjam tanganmu sebentar?”
Sang
wanita tak menjawab, hanya melakukan apa yang diminta kekasihnya. Ia
mengulurkan tangannya dan lelaki itu menggenggamnya.
Beberapa
saat lamanya, kemudian lelaki itu melepaskan tangan kekasihnya dengan penuh
senyum. Perempuan dihadapannya itu kaget, ketika mendapati sebuah cincin sudah
melingkar di jari manisnya. Ia menggigit ujung bibirnya dengan mata
berkaca-kaca.
“Raffii…”
“Menikahlah
denganku, Vee.”
(Tentu
Fi! Tentu saja, aku mau. Aku tak percaya akhirnya waktu ini tiba juga.)
Sang
perempuan segera mengangguk pasti. Wajahnya berbinar, senyumnya merekah,
membuat parasnya yang cantik itu semakin terlihat.
(Ia
ingin sekali memeluk lelaki didepannya itu. Ia tak pernah merasa lebih bahagia
dari hari ini, perasaannnya meluap-luap.)
Malam
ini istimewa. Ia dapat merasakan bunga-bunga bermekaran disekitarnya, memenuhi
hatinya.
*
Empat Setengah Bulan Lalu
“Raffi,
kapan kita bisa bertemu?”
“Mungkin
lusa. Aku masih harus menyelesaikan beberapa pekerjaanku disini.”
“Baiklah.”
“Nanti
ku hubungi lagi ya. Kita akan segera mengurus persiapan pernikahan kita begitu
aku kembali dari sini.”
“Tentu.”
Perempuan
itu duduk disamping tempat tidurnya, meletakkan telepon genggamnya diatas
ranjang. Raut wajahnya terlihat sedih. Ia mengangkat tangannya keatas, memandangi
jemarinya, memutar-mutar cincin yang melingkar dijari manisnya itu.
Ia
berkata pada dirinya sendiri. Berpikir sejenak dalam kesendiriannya. Ia mengingat
dengan keras, beberapa kejadian yang terjadi belakangan ini.
(Andai
saja pertemuan itu tak pernah ada.)
(Ah,
tapi bagaimana mungkin kita tidak bertemu? Cepat atau lambat kita pasti
bertemu.)
(Andai
perasaan ini tak perlu ada.)
(Ya,
benar. Andai aku tak perlu terjebak dalam perasaanku sendiri. Tentu hal bodoh
ini tak perlu terjadi.)
(Ya
Tuhan, aku mengkhianatinya.)
(Ini
harus segera diakhiri.)
Ia
melipat kedua kakinya didepan tubuhnya, menunduk. Perlahan, airmatanya mulai
mengalir membasahi pipinya.
(Ternyata
aku mencintainya.)
(Tidak.)
(Andai
Raffi tidak bersikap terlalu serius, andai Raffi punya cukup waktu untuk
memperhatikan aku, seperti halnya Radith memperhatikanku.)
Suara
hatinya saling mengadu, menuntut pembenaran. Dan ia mulai sadar, ia harus
bangun dari mimpi indahnya ini.
(Aku
harus mengakhirinya, empat bulan lagi aku akan menikah. Dan aku tak pantas
memperlakukan calon suamiku seperti ini.)
*
Empat Bulan Lalu
“Radith,
kita harus mengakhiri semua ini.”
“Aku
tahu. Hanya saja aku tak pernah siap menghadapi waktu ini.”
Sang
lelaki mengambil tangan sang perempuan, memutar-mutar cincin emas yang
bersemayam di jari manisnya.
“Andai
kau bukan milik orang lain, Ve. Aah, andai kita bertemu lebih cepat. Atau
mungkin sebaiknya kita tak perlu berjumpa. Andai kita tak perlu saling jatuh
cinta.”
Radith
memenuhi dirinya dengan penyesalan. Penyesalan yang dalam. Entah untuk cintanya
yang tak tersampaikan pada perempuan pujaan hatinya, atau penyesalan pada
perasaannya sendiri.
“Bersyukurlah
sebab kita pernah dipertemukan, pernah saling jatuh cinta. Karena sepertinya
aku akan sangat menyesal jika aku tak pernah mengenalmu.”
“Andai
aku memilikimu.”
“Kau
pasti akan mendapatkan yang lebih baik daripada aku, yang masih lajang, tidak
terikat status apapun dengan siapapun, yang mencintaimu apa adanya. Selalu.”
Perempuan itu tersenyum sambil menatap lelaki dihadapannya lekat. Ia menyentuh
kedua pipinya dengan tangannya, berusaha meyakinkan.
“And now I found you.”
“But I’m not yours.
Remember it.”
“If I can, I want to
forget everything, except you.”
“Oh, come on, Radith.
Back to the real life.”
“Ve,
dimana lagi aku akan menemukan perempuan yang bisa ku cintai selain dirimu?”
“Suatu
saat nanti aka nada seorang malaikat cantik yang dikirimkan Tuhan untukmu. Aku
percaya itu.”
“Tapi, sulit menerima bahwa kau akan
pergi.”
“Rasanya akan sama seperti sebelum aku
datang.”
“Tidak.”
“Ini
bukan takdir kita, Dith.” Perempuan itu berlari, meninggalkan lelaki yang masih
terpaku dihadapannya. Airmatanya mengalir pelaln, ia tahu ia telah melakukan
sesuatu yang benar, meskipun dalam hatinya masih ada sedikit rasa yang
bergejolak.
*
Delapan bulan lalu.
“Iya,
ini aku baru mau pulang ke rumah. Nanti aku telepon lagi ya kalau udah sampai
rumah.”
Perempuan
itu memasukkan telepon genggamnya dengan terburu-buru kedalam tas, hingga tanpa
sadar didepannya ada seseorang.
“Aduh.”
“Ah,
maaf mas. Maaf.”
Mereka
bertabrakan. Beberapa berkas dan barang-barang bawaan mereka berserakan di
lantai. Sang perempuan segera mengambil beberapa berkas yang terjatuh sambil
tak henti-hentinya mengucap maaf. Sementara itu, sang lelaki yang ditabraknya
hanya memandanginya terdiam.
“Ve?”
Perempuan
itu segera menoleh kearah lelaki yang ditabraknya. Ia terdiam beberapa waktu
memandangi sosok yang memanggilnya.
“Radith?”
“Ya
ampun, ternyata benar kamu. Apa kabar?”
“Baik.
Kamu mau kemana?”
“Ini
habis pulang dari Bandung, kamu mau kemana?”
“Aku
mau pulang. Ya ampun, kamu makin tampan aja, dith.”
“Haha,
kamu juga makin cantik. Oh iya, boleh minta nomor mu?”
“Tentu.”
“Sampai
nanti, Ve. Aku akan menghubungimu nanti.”
“Ya.
Semoga kita bisa berjumpa lagi.”
Mereka
kemudian berpisah untuk kembali melanjutkan perjalanan menuju tujuan
masing-masing. Pertemuan sederhana yang biasa saja.
Perempuan
itu menuju mobilnya.
(Astaga,
Radith tampan sekali. Aku tak pernah menyangka akan bertemu lagi dengannya.)
Ia
tersenyum sendiri ketika mengingat kejadian memalukan tadi. Ia mengenal Radith,
jauh sebelum ia bertemu dengan Raffi. Radith adalah teman sekolahnya sewaktu SMA
dulu. Ia dulu pernah menaruh hati sesaat pada Radith, tetapi hanya cinta monyet
anak sekolah, hingga tidak pernah berlanjut dan kehilangan kontak setelah lulus
SMA.
Ia
masih mematung dalam kendaraannya, tiba-tiba telepon genggamnya berbunyi.
“Haloo..”
“Haii,
ini nomorku ya Ve.”
“Ah,
Radith. Iya, aku akan menyimpannya.”
“Dimana
kau sekarang?”
“Masih
diparkiran, baru saja mau keluar. Kau?”
“Aku
di taksi dalam perjalanan pulang. Okay,
take care Ve. Nice to meet you today.”
“Yeah.”
Percakapan
itu terhenti, Ve menghidupkan mesin kendaraannya dan beranjak dari tempat ini.
Ditengah perjalanan, telepon genggamnya kembali berbunyi.
“Haloo..”
“Dimana
kamu?”
“Masih
dijalan aku. Kamu udah dimana?”
“Aku
juga masih dijalan. Kita jadi ketemu dirumah apa diluar aja?”
“Di
cafĂ© langganan aja kali ya, biar aku langsung kesana.”
“Oke.
Take care ya.”
“Ya.”
Pertemuan
itu merupakan awal. Awal semua keraguanku tumbuh. Entah aku harus bersyukur
atau menyesal atas kejadian itu. Kejadian yang membuatku merasa sangat bodoh
sebagai perempuan, karena menginginkan dua hati pada satu waktu yang sama.
Seminggu,
dua minggu, sebulan, dua bulan, aku dan Radith kian dekat. Kami sering bertukar
sapa melalui pesan maupun telepon. Kadang jika ada waktu luang, kami saling
berjumpa, tanpa sepengetahuan Raffi tentunya.
Semakin
lama, perasaan itu kian berkembang. Menyesakkan. Ditambah dengan kesibukan
Raffi yang kadang membuatku jenuh karena kami semakin sulit berjumpa. Dan hal
itu dimanfaatkan dengan baik oleh Radith untuk memenuhi hatiku, lebih dari
sekedar menumbuhkan bunga, tapi membuat sebuah ladang bunga dan menyiraminya
dengan subur.
*
Sekarang.
Kamar
itu penuh dengan bunga, rangkaian mawar menghiasinya. Seorang perempuan tampak
duduk menghadap cermin besar dihadapannya. Ia memandangi bayangannya sendiri.
Parasnya cantik, terlihat semakin cantik dengan balutan gaun putih ditubuhnya.
Mahkota dari bunga menghiasi kepalanya, dan wajahnya, tertutup kain tipis
halus.
Hari
ini hari pernikahannya dengan Raffi. Ia menutup matanya sejenak, tersenyum,
membayangkan kejadian beberapa bulan yang lalu.
“Boleh
aku masuk?”
Seorang
lelaki dengan setelah kemeja hitam berdiri di depan pintu kamar. Perempuan itu
menoleh, tersenyum dan mengangguk.
“Selamat
ya, Ve.”
“Ya.
Dimana Rana?”
“Di
luar.”
“Dith,
terima kasih ya.”
“Untuk
apa?”
“Untuk
semua kebersamaan kita.”
Lelaki
itu tersenyum. Kali ini senyumnya agak miris. Mereka bertatapan. Rasa itu masih
tertinggal.
“Aku
mencintaimu, Ve.”
“Kau
tidak pantas berkata seperti itu padaku.”
“Bolehkah
aku memelukmu?”
Perempuan
itu hanya diam, memandang lelaki dihadapannya itu. Lelaki yang sempat mengisi
sebuah ruang hatinya. Ia hanya memejamkan matanya, dan ketika membuka matanya,
ia mendapati wangi yang pernah begitu dekat dengannya.
Kehangatan
yang sama.
“Terima
kasih, telah menghadirkan perasaan yang begitu menyenangkan dihatiku.”
Perempuan
itu tersenyum mendengar bisikannya. Matanya mulai sedikit berkaca-kaca. Ia
segera menarik nafas dalam, dan melepaskan pelukan itu perlahan.
“Nice to meet you, Radith.”
“Aku
juga, Ve. Selamat berbahagia ya.”
“Terima
kasih.”
Lelaki
itu kemudian mencium tangan perempuan itu, hangat. Tersenyum. Mereka saling
berpandangan untuk terakhir kalinya.
“Ayo.
Raffi sudah menunggu.”
“Tentu.”
*