Wednesday, July 25, 2012

My Whole World

.... ,
Biar ku perlihatkan dunia; dari balik lensa kameraku.
Inilah dunia yang selalu ku intip dari sudut hatiku, ketika mengingatmu.

Ungkapan syukur atas keberadaanmu di penatnya hidup.

Karena mungkin buat dunia, kamu bukanlah siapa-siapa,
.
.
.
Tetapi bagiku,

Kaulah “dunia”ku

Orang Ketiga

.... , 
Tak ada yang lebih menyakitkan daripada menarap kedua mata orang yang kamu cintai, lalu menemukan bayangan orang lain terpantul disana..

Anggi dan Kayla adalah dua sahabat karib sejak kecil. Berbeda dengan Kayla yang sulit jatuh cinta dan tidak terlalu memusingkan urusan pacar, Anggi mudah sekali jatuh cinta dan sering gonta ganti pacar. Sehari dua hari ia menangisi seorang pria karena cinta, hari berikutnya ia akan bersorak gembira dan tergila-gila dengan pria yang lain. Pengalaman terakhirnya putus dengan seorang lelaki yang sudah dipacarinya selama empat tahun karena perbedaan keyakinan, membuatnya sejenak enggan berurusan dengan cinta. Sampai ia bertemu dengan Angga, teman sekantornya. Anggi merasa selama ini ia melewatkan keindahan yang berada di dekatnya. Ia jatuh cinta lagi.

Sementara Anggi sibuk pdkt dengan Angga, yang ternyata adalah tunangan teman sekantornya sendiri; Rudi - rekan sekantornya yang lain - tanpa disadari oleh Anggi selalu memperhatikannya. Rudi memberi perhatian yang selama ini selalu dianggap Anggi tak lebih dari sekedar perhatian kakak kepada adiknya. Rudi tidak peduli terhadap pandangan Anggi, ia selalu ada disaat-saat terberat Anggi. Saat Anggi memutuskan untuk meninggalkan Angga karena tidak diberi kepastian dan merasa telah menyakiti tunangannya Angga, Rudi menjadi tempat curahan hati dan air mata Anggi.

Namun disaat Rudi menyatakan perasaannya dan Anggi berjanji untuk belajar mencintainya, keraguan menyelimuti hati Rudi. Ia takut pada keterpurukan masa lalunya. Ia merasa tidak layak untuk Anggi. Mereka akhirnya memutuskan untuk berhenti menjalin hubungan.

Anggi merasakan kehilangan yang besar saat Rudi meninggalkannya.

Novel karangan Yuditha Hardini ini sangat penuh intrik. Penggambaran judulnya seolah mengungkapkan bahwa ini merupakan faedah cinta segitiga. Namun setelah lembar demi lembar terlewati, kita akan mengangguk-angguk karena berhasil terkecoh. 'Gak hanya itu, lembar-lembar berikutnya pun penuh dengan kejutan dan ending yang tak terduga. Menarik! Bahasanya sederhana dan mudah dimengerti, emosionalnya pun kena. Dengan tebal sekitar 242 halaman, novel ini akan menjadi teman minum teh disore hari yang menyenangkan.

You must read!

Pillow Talk

.... , Kami 'bersahabat' sejak kecil. Tepatnya, kalau ada kata lain untuk menggambarkan sesuatu yang melampaui 'sahabat', maka itulah kami.

Tapi, apakah kau tahu, rasanya saling mencintai namun bertahan tanpa saling memiliki?

Emi dan Joshua telah bersahabat sejak mereka duduk di bangku SMP. Mereka saling berbagi satu sama lain, termasuk cinta. Jo mencintai perempuan sahabatnya itu sejak dulu. Demikian Emi. Namun mereka menyangkal perasaan masing-masing, karena takut merusak persahabatan dan melanggar perjanjian yang pernah mereka buat bersama. Lagipula, Emi sudah pernah merusaknya dulu.

Emi selalu menceritakan apapun kepada Joshua, kehidupan pribadinya dan pekerjaannya. Joshua pun demikian. Tidak ada lagi sekat yang memisahkan jarak diantara mereka. Namun, mereka harus bertahan untuk tidak saling memiliki  karena perjanjian persahabatan itu. Mereka saling membutuhkan, tapi juga saling mengingkari rasa. Berkali-kali moment terlewati dengan rasa penyesalan, cemburu dan juga antipati yang dibuat-buat. Hal demikian mereka lakukan hanya untuk menyembunyikan detak perasaan yang semakin lama semakin kuat. Hingga akhirnya mereka sadar, tidak karena perjanjian dan kejadian yang telah bertahun-tahun berlalu, mereka tidak pantas saling menerima kenyataan bahwa mereka saling jatuh cinta.

Tetapi lagi-lagi mereka harus terjebak dalam tameng 'persahabatan', justru di saat mereka mulai menjalin hubungan.

Cinta dan persahabatan lekat dalam novel ini, Pillow Talk. Novel yang memiliki 460 halaman karangan Christian Simamora ini kelihatan sangat akrab dalam keseharian kita, sehingga tak sulit menebak-nebak jalan ceritanya. Tetapi, settingan keseluruhannya membuat pembacanya tidak ingin cepat-cepat mengetahui bagaimana endingnya nanti. Alur ceritanya, emosi dan penggambaran setiap moment mampu membuat pembaca larut dalam tiap lembar ceritanya. Terdiri dari 24 bab yang sensual, emosional dan sensasional khas Christian.

You'll not stop reading, when start the first page..

Good Fight

.... , Ada yang salah dengan cinta..

Dia tak benar-benar mencintaimu, kau dan aku sama-sama tahu itu.
Dibawakannya kau bunga, tetapi bukan kesukaanmu.
Digenggamnya jemarimu, tetapi tidak cukup mesra.
Dia mencium bibir indahmu, lalu cepat-cepat menyudahinya.

Puaskah kau dengan cinta seperti itu?

Jet dan Terre bekerja bersama di salah satu perusahaan fashion terkemuka. Terre mengurusi masalah fashion dan modelnya, sementara Jet memotretnya. Keduanya terkenal sebagai 'musuh bebuyutan' yang tak bisa berhenti saling mengina dan memaki saat bekerjasama. Terre yang selalu angkuh dan Jet yang senang menggodanya. Demikian dalam cinta. Jet dan Terre sama-sama berstatus sebagai simpanan, yang selalu dijanjikan akan menjadi yang pertama. Jet berpacaran dengan seorang tante kaya yang suaminya sakit-sakitan; sementara Terre berpacaran dengan seorang eksekutif muda yang supersibuk dan telah bertunangan.

Karena merasa senasib, lama-kelamaan tembok diantara keduanya luntur perlahan. Jet dan Terre saling jatuh cinta, dan berusaha untuk memungkiri perasaan masing-masing. Terre berhasil lepas dari dekapan eksekutif muda yang memacarinya. Namun ketika keduanya telah tersadar akan perasaannya dan mulai menjalin hubungan, masa lalu Jet tiba-tiba muncul. Tante kaya yang memacari Jet muncul di apartemennya saat Jet dan Terre sedang berdua. Terre terkejut. Ia merasa dipermainkan dan memutuskan meninggalkan Jet. Kecanggungan demi kecanggungan terjadi. Terre memutuskan untuk pindah kerja dan mencoba menjalin hubungan dengan orang lain, sementara Jet terpuruk sendiri karena merasa bersalah atas kejadian retaknya hubungan mereka.

Tetapi Terre tidak begitu saja bisa melupakan Jet. Ia tidak dapat menikmati kebersamaannya dengan Sammy, yang merupakan bos ditempatnya kerja barunya. Jet pun demikian. Hingga suatu kejadian yang tak terduga mempertemukan mereka kembali, Jet meminta maaf dan meminta kesempatan baru untuk memulai hubungan baik lagi dengan Terre. Meskipun Jet tahu, kesempatan itu tak semudah itu datang lagi.

Novel hasil kreasi Christian Simamora dengan tebal sekitar 512 halaman ini 'gak membosankan! Jangan lihat tebalnya yang hampir menyaingi kamus bahasa; mulai saja membaca dan kita akan hanyut didalamnya. Covernya bergambar lensa kamera yang berpadu dengan kancing dengan judul yang menyatukan keduanya, seolah menggambarkan profesi dari Terre dan Jet. Sangat detail. Terdiri dari 30 bab yang penuh kejutan, tidak hanya cinta, bahkan kita akan terkekeh-kekeh dan tersedih-sedih di beberapa moment.

So, what are you waiting for? 

Baby Proposal

.... ,
Karena Cinta Tak membutuhkan Alasan..

Baby Proposal menceritakan tentang kehidupan seorang perempuan muda bernama Karina, yang dikejutkan dengan kehadiran seorang janin dalam rahimnya. Akibat mabuk saat melakukan perjalanan hadiah paket wisata ke Lombok, Karina tak sadar telah berhubungan dengan seorang lelaki bernama Daniel. Hingga akhirnya, Karina hamil dan menuntut pertanggungjawaban Daniel. Tetapi bukan pernikahan yang dituntutnya, melainkan kewajiban Daniel sebagai ayah dari calon bayinya untuk mengurus dan membiayai kehidupannya sampai melahirkan nanti.

Daniel menyetujui kesepakatan mereka dan mulai menjalani kehidupan sebagai 'suami' Karina. Ia memenuhi segala kebutuhan Karina, mulai dari makanan hingga mengantarnya ke dokter kandungan dan mengikuti Parents Sharing. Karina pun dilarang bekerja dan apa yang diinginkannya selalu diusahakan Daniel.

Kemudian tanpa sadar keduanya saling jatuh cinta. Namun, masa lalu Daniel yang datang kembali mengusik Karina hingga akhirnya kondisinya melemah dan keguguran. Kekecewaan yang menghajar batin keduanya kemudian menggugah perasaan Daniel untuk selalu ingin menjaga dan melindungi Karina. Meskipun  tidak semudah dan secepat harapannya, Daniel tidak menyerah untuk mendapatkan Karina.

Novel karangan Dahlan dan Gielda Laftia ini sarat akan alur yang memancing emosi pembacanya. Dengan tebal sekitar 331 halaman, pembaca akan dibawa menikmati cerita demi cerita yang disuguhkan. Packaging yang sederhana, judul yang menarik dan tak biasa membuat Baby Proposal bacaan yang istimewa.

If you enjoy reading stories sensual, you should read this novel.

Kontrasepsi

.... , 
Andai Bahagia Bisa Dirancang Dengan Sempurna..

Sesuai dengan judulnya, Kontrasepsi merangkum kisah  mengenai alat kontrasepsi. Novel ini menelaah secara detail mengenai kekhawatiran perempuan dalam memilih dan menggunakan alat kontrasepsi yang sesuai dengan kebutuhannya.

Diwalili melalui kisah 3 sahabat: Moza, Keira dan Neyne yang memiliki alur kisah hidup yang berbeda namun tetap saling terkait dengan kontrasepsi. Moza yang telah menikah dan dikaruniai dua orang anak, Kinan dan Gibran; dimana penerapan program Keluarga Berencana-nya sempat melenceng saat kehadiran Gibran. Keira yang mulanya ngeri membayangkan kehadiran anak, sehingga memutuskan untuk menunda kehamilannya setelah pernikahan; namun ternyata harus menerima kenyataan bahwa ia akhirnya hamil. Dan Neyne, yang mengalami dilemma ketika harus dipaksa menggugurkan kandungannya yang baru berusia 1 minggu.

Ketiganya mengalami kekhawatiran yang sama, penggunaan kontrasepsi yang salah, yang membuat rencana hidup mereka sedikit berubah dari yang mereka inginkan. Namun, saat mereka berusaha berdamai dengan diri mereka masing-masing dan menerima kenyataan yang ada; segala sesuatunya terlihat menyenangkan. 

"... Tuhan pasti tahu porsi yang tepat buat mahluk kesayanganNya, kita ini, para perempuan."

Novel yang berjumlah sekitar 247 halaman karangan Eni Martini ini layak dan wajib dibaca tidak hanya oleh para perempuan, tetapi juga laki-laki. Packaging yang menarik dan alur cerita yang apik, membuat pembaca tidak hanya mengerti, tetapi menjadi paham bagaimana pentingnya sebuah kontrasepsi untuk kehidupan berumah tangga. Buat yang belum menikah, Kontrasepsi menjadi bahan referensi yang bisa dipertimbangkan supaya tidak kaget ketika dihadapkan pada situasi pernikahan dan segala permasalahannya kelak.

The novel full of intrigue in unexpected ways. I thought of a family and wanted to have a family. Hehe :)

Tuesday, July 24, 2012

Reflection

.... ,
Why only two eyes that you show?
Because here is the honesty.

You can see every joy and sorrow there.

You can see every love and tears flowed from there.

And you can see the reflection of yourself in it.
.
.
.
Can You?

Cuppa Cup

.... ,
Masih tergeletak rapi. Bahkan debupun tak kuijinkan setitik saja menyentuhnya.

Aku memeluknya saat rindu.

Mengisinya dengan hangat, kemudian merengkuhnya dengan kedua tangan; mendekapnya dalam dada.

Kubiarkan panasnya mengaliri. Menghadirkan kamu.
Kemudian aku akan tersenyum.

Sebagai usaha penghiburan diri sendiri atas ketiadaanmu.

Monday, July 23, 2012

Rindu, Selamat

.... ,
Rindu yang tak tersentuh waktu, selamat.
Jauh tak tergapai, dekat tak terengkuh.
Namun selalu terucap dalam khidmat.
Selalu teringat dalam senyum.

Rindu yang terlalu pada rindu, selamat.
Merayalah, menyepilah; seperti biasanya.
Bahagiamu adalah bahagiaku.
Selalu terpatri dalam hati.

Menyatalah. Kemudian nyatakanlah.

Karena rindu tetaplah rindu.
Yang tak akan tersentuh waktu.

Friday, July 20, 2012

Bincang Tentang Rasa

.... ,
Segelas cokelat panas dan dua botol bir : Berbincang tentang rasa. 

Aku statis, memberi rasa hangat dan manis bersamaan; menenangkan suasana dengan caraku. Merengkuhkan sepasang bahu menjadi satu, semakin dekat dan kemudian berpelukan.
ujar cokelat.

Ku sentuh ujung bibirnya, mengulumnya dalam. Manis, gumamku.

Aku dinamis, mewakili kian ragam perasaan yang tengah berkecamuk; kadang memberi tenang, kadang memberi perkara.
Tak hanya merengkuhkan sepasang bahu, melainkan lima sekaligus. Dalam semalam.
ujar bir.

Ku biarkan mengalir menyentuh kerongkongan. Kemudian tersenyum.

segelas cokelat panas dan dua botol bir.
Menyampaikan rasa dengan caranya, meskipun mereka lupa, mereka selalu dibutuhkan diwaktunya masing-masing.

Lantas, mengapa saling bertukar ego?

Monday, July 16, 2012

Conversation

.... ,
Perbincangan Masa Lalu dan Masa Depan tentang Masa Kini:

Masa Lalu : "Tidak kah kau rindu padaku?"

Masa Kini : "Selalu. Sulit untuk melupakanmu."

Masa Depan : "Tentu. Ada kalanya aku rindu."

Masa Kini : "Tidak kah aku berhak mendapatkan yang lebih baik, kelak?"

Masa Depan : "Tentu. Karena itu aku ada."

Masa Lalu : "Tak pernah seindah denganku."

Masa Depan : "Tidak kah kau inginkan aku?"

Masa Lalu : "Aku nyaman ada disini."

Masa Kini : "Ingin sekali. Tapi aku ingin masa lalu ku jadi masa depan ku."

Masa Depan : "Aku bukan masa lalu mu."

Masa Lalu : "Aku pengalaman mu."

Masa Kini : "Aku masa depan mu."

Beer

.... ,
Seteguk, aku menyinyir. Getir..

Segelas, aku menyengir. Ah, belum apa-apa..

Sebotol, aku mulai tertawa. Baru saja sebotol..

Dua botol, aku menangis sambil tertawa. Entah, tertawa sambil menangis. Nyaris tak berasa..

Empat setengah botol, bayanganmu ada dua. Mulai sakit kepala..

Enam seperempat botol, batu bersarang dikepala. Berat..

Tujuh botol, overdosis tak sadarkan diri. Mati..

-

Seperti itu aku mencintaimu;

Semakin dalam, semakin sesak saat memelukmu.

Semakin kusesapi, semakin berat kehilanganmu.

Kemudian mati, karena terlalu yang melulu.

-

Melihat senyum mu seperti mulai menenggak sedikit demi sedikit, getir memang;
tetapi terus ku teguk, karena candu.

Melihat perangai mu seperti hampir mabuk: tak tau harus tertawa atau menangis, berat memang;
tetapi terus ku teguk, karena candu.

Melihat kepergian mu seperti over dosis karena terlalu banyak berlalu;
dan bahkan terus ku teguk,

karena candu.

Sampai mati.
.
.
Aku kecanduan: Kamu.

PLN

.... ,
Sejauh-jauhnya jarak masa depan dan masa kini, masa lalu selalu menjadi jarak yang paling jauh. Selalu tersentuh, meskipun tak pernah bisa kembali.

Past, ...

Sedekat-dekatnya jarak masa lalu dengan masa kini, masa depan selalu menjadi jarak yang paling dekat. Selalu diharap, meskipun tak pernah bisa diterka.

Last, ...

Sejauh dekatnya jarak antara masa lalu dan masa depan, masa kini adalah hal terutama yang harus dilalui. Tak perlu disentuh, sebab pasti tersentuh. Tak perlu diharap, sebab pasti terwujud. Tak perlu kembali, sebab pasti terlewati. Tak perlu diterka, sebab pasti semua indah pada waktunya.

Now.

Tak Bisa Biasa

.... ,
Aku mencoba, tapi aku tak bisa.
Mencoba menjadi terbiasa, tapi aku tak bisa.
Mencoba menjadi biasa, tapi aku tak bisa.

Berjalan tanpa melihat, aku tak tahu arah.
Meraba setiap hal dengan kedua tangan kecilku, aku tak bisa menerka.

Duri tersentuh, menjadi luka.

Melangkah tanpa alas kaki, aku tak berpelindung.
Membuka jalan baru diantara belukar, aku sendirian.


Beling terinjak, menjadi denyut baru: berdarah.


Aku mencoba, tapi aku tak bisa.
Mencoba tanpamu, tapi aku tak bisa.
Mencoba menjauhimu, tapi aku tak bisa.

Tak bisa.

Masih tak bisa.

Sunday, July 15, 2012

Cerita Tentang Hujan

.... ,
Aku menulis cerita tentang hujan,
Maukah kau menceritakan pelangi sebagai penutupnya?

Supaya lengkap takdir yang semestinya: Pelangi bersemi setelah hujan.

Sadgenic

.... , 
"Jika semua doa kita dikabulkan Tuhan, apakah kita sudah siap.?"

"Bagaimana jika doaku kusimpulkan pada layang-layang, lalu kubiarkan dia terbang mengawang-ngawang. Kemana ia akan jatuh.?

Sesuai dengan sipnosisnya, Sadgenic merupakan kanvas. Di dalamnya, Rahne Putri berhasil membuktikan bahwa rangkaian kata-kata mampu menceritakan semuanya. Buku ini terdiri dari 3 bagian (bab), yaitu Kotak Surat dan Kamu, Cerita Waktu dan Aku, Laci Air Mata.

Bagian pertama, menceritakan perasaan seseorang yang tengah dimabuk asmara. Diliputi perasaan cinta kepada pasangannya, yang sedang berada jauh disana. Racikan kata-kata dalam Kotak Surat dan Kamu; bikin gue gak berhenti senyum sambil garuk-garuk kepala pas baca. Rahne sanggup membuat gue merasakan lagi perasaan jatuh cinta yang menggebu.!

Bagian kedua, Cerita Waktu dan Aku, menceritakan tentang penantian. Rahne mampu menyajikan penantian yang indah, perpaduan galau dan gembira yang jadi satu: yang terangkai lewat kalimat-kalimatnya. Bagaimana seseorang ini tetap setia menunggu, sejauh apapun jarak dan waktu memisahkan. Menunggu 'jodoh' yang semestinya, menyiapkan hati dan rasanya untuk membuka hati terhadap hati yang baru. Gue masih gak berhenti senyum pas baca, bahasanya jujur, rasanya gue seperti ikut tenggelam dalam penantian panjangnya.

Sementara bagian terakhir, menceritakan bagaimana akhirnya seseorang itu harus merelakan dan sanggup berjalan sendirian tanpa kekasih pendamping hatinya. Bagaimana ia harus jatuh dan sulit untuk bangkit, namun ia tidak menyerah untuk berusaha. Gue suka bagian penutupnya, seperti rangkaian cerita pendek yang sangat pendek, dimana Rahne menceritakan sepasang kekasih saling melepaskan. Haru.

Dikemas sangat cantik, dilengkapi dengan ilustrasi-ilustrasi yang menarik dan layout yang ‘gak membosankan, mata lo akan dimanjakan oleh barisan kalimat-kalimat mempesona sepanjang ± 189 halaman. Sadgenic layak dan wajib dibaca dan dimiliki oleh lo, yang suka dengan permainan kata-kata. Bisa jadi contekan juga buat lo yang lagi jatuh cinta sama seseorang; atau buat lo yang lagi belajar untuk move on dari mantan kesayangan.

Sadgenic made me remember what it was like falling in love. Stunning.!

Saturday, July 14, 2012

Unreachable

.... ,

Menghisapnya,
Mematahkan rinduku padamu.

Sebab menghirup aromanya,
Membangkitkan kenanganku bersamamu.

Seperti menghadirkan kembali kau disisi.

Sebuah keironisan yang mencandu.

Aku layaknya tenggelam dalam kenyataan : antara ada dan tiada

Udara

.... ,
Sesekali, aku ingin jadi nafasmu. Menyublim menjadi udara; kemudian terhirup masuk dalam paru mu.

Tinggal disana.

Atau biarkan aku jadi bekas asap dari rokokmu; meresap masuk untuk keluar, sejenak memberikan nikmat.

Menjejali kerokonganmu.

Bisa juga, ijinkan aku menjadi tabir surya untukmu. Menyerupai lapisan kulit; menyamarkanmu selayaknya atmosfer.

Melindungi.

Saksi Bisu

.... ,
Bibir tipis ku jadi saksi bisu,
Bagaimana rentetan gigiku berbaris menyembul,
menyeringai,
Penuh dengan lengkung bahagia:
Memanggil namamu.

Mata belo ku jadi saksi bisu,
Bagaimana tatapan penuh rindu menerawang,
Menjelajahi setiap lekuk sudut tubuhmu:
Memuaskan rindu.

Otak kriminal ku jadi saksi bisu,
Bagaimana segenap organ ditubuhku saling bereaksi,
bertukar respon,
Menangkap keindahan dan kesemuan disatu waktu,
Yang tak terjamah;
sekaligus berharap memiliki.

Memikirkanmu.

Tak putus-putus.

Sesak

.... ,
Dihampiri kenangan,
Meretas menjadi banyak.
Layaknya amoeba,
Kenangan berkembang semakin pekat
Memenuhi dada;
Menyinggung air di ujung pelupuk mata,
Sesak.

Dialiri kenangan,
Mengisi semua ruang kosong.
Layaknya angin,
Kenangan terhirup masuk menembus paru
Tak terlihat, namun terasa;
Menggetarkan jantung yang semakin memacu,
Sesak.

Sesak.
Disinggung kenangan.

Bertubi-tubi: tak berhenti..

Barisan Kata tanpa Makna

.... ,

Aku ingin sekali membunuhmu dengan kata.
Ucapmu ditiap pesan singkat ini senantiasa membuatku ngilu;
Sebab kau membuktikan kepalsuannya sewaktu kita jumpa.

Miris, sungguh.

Karena kau tak pernah tahu betapa besar kenangan yang kau hadirkan karenanya;
hanya karena barisan kata-kata: tanpa makna.

Relief Candu

.... ,

Ranjang disudut itu,
Masih menyimpan wangi tubuhmu.
Memutar kembali permainan waktu, yang tak pernah bisa menghilang dari ingatanku.

Masih teringat setiap sentuhanmu, yang hingga kini larut menyertaiku.
Bisikan manjamu; desahan nakalmu; janji-janji manismu.
Semua masih terekam dengan seksama di telingaku.
Jemari-jemarimu mengalun melantun lagu cinta disekujur tubuhku. Membelai tiap desir hasratku, membangkitkan seluruh rasa; yang selama ini terpendam.
Malam itu : waktu dimana kita mempersatukan sebuah rasa, yang ditentang dunia.

Seluruh isi ruang ini jadi saksi bisu,
Tidakkah kau menyadari mereka menatap kita penuh iri?

Dalam gelap aku menutup mata, meraih lenganmu yang kuat.
Kau memandangku lekat, Bersimbah peluh tetesan keringat.
Kita telah kuyup dalam cinta, entah, nafsu.
Karena aku terlanjur larut dalam sukacita.  Hingga tak kuasa berpikir lebih untuk sebuah kesenangan.
Dan kebenaran.
Bagiku, saat itu semuanya benar.

Meskipun ku tahu semua itu semu; tetapi kau sungguh mencandu.

Aroma tubuhmu, memikatku. Bibirmu, menghadirkan alunan merdu.
Manis setiap kulumnya selalu menghantuiku. Hangat setiap gigitan manjanya mencengkram ragaku.

Membangkitkan diriku dalam keadaan sadar diluar alam sadarku.
Jiwaku seakan enggan berpisah ruang denganmu.

Kau penuh dengan gairah. Kau penuh dengan pesona.
Aku rela dihantuimu seumur hidupku, asal kau tetap disisi.
Sebab seluruh sisi batinku kerap meronta menginginkanmu.

Tapi nyatanya,
Kau pergi dan tak pernah kembali. Begitu saja, tanpa sepatah kata.
Menyisakan candu yang menyiksa, yang hanya bisa ditawar denganmu.
Setidaknya, beritahukan aku, bagaimana membuang candu ini!
Meninggalkan seluruh kebiasaan-kebiasaanmu; yang meracuni hidupku.
Seperti relief dalam hati.

Aku melakukan semua hal yang kau lakukan,
Hanya untuk meyakinkan diriku bahwa kau masih disini.
Hanya untuk membangkitkan tiap momen dan kesempatan yang pernah kita lakukan,
Dengan harapan aku dapat meninggalkanmu setelahnya.

Tetapi canduku tak kunjung berakhir!
Semakin malam semakin parau.
Kau mungkin tak sempat mengetahui, betapa mengerikannya pesonamu membunuh karakterku.
Aku berteriak histeris setiap berhasil teringat tentangmu. Setiap kali aku berusaha mengendalikan perasaan ini.
Perasaan yang selalu berkecamuk di dadaku ini.
Kau layaknya heroin,
Memenjarakanku pada ketergantungan. Berkepanjangan tiada akhir.

Ranjang disudut itu masih terdiam.
Kini terisi dengan ketakutan.
Karena penuh akan kenangan tentangmu, dan aku enggan beranjak daripadanya.
Mengibai diriku; yang terikat pada kesempurnaanmu.

Parasit!

.... ,

Petaka sebuah cinta segitiga :

Akulah parasitmu!
Kumohon, jangan bunuh aku dengan pesonamu.

Kau hampir menenggelamkan aku pada sukacita mahadashyat yang kian waktu,
Kian mencekikku dalam perasaan bersalah.

Menakutkan!

Kau telah menawan jauh hatiku dari permukaan bumi,
Menguburku dalam-dalam pada keterikatan emosi.

Mengerikan!

Kaulah keegoisanku;
Puncak kesengsaraanku dalam hidup;

Kengerianku pada lawan jenis sesempurna dirimu;
Kaulah pesona.

Khilafku, yang bertubi kian membuatku nyaman berpetualang diluar lingkar jaman.

Cintaku;
Aku mati dalam pertahananku pada keterlarangan ini.

Sekiranya aku mengiba pada seluruh alam raya,
Tentu mereka akan menghujaniku dengan maki-makian.

Sebab akulah parasit hidupmu,
Yang sanggup membuatmu meninggalkan keindahan sebuah dunia; 

demi mengecapku.

Aku

.... , Sore itu mendung. Tanah itu masih basah. Beberapa orang berpakaian hitam mulai beranjak meninggalkan tempat itu satu demi satu. Seorang perempuan muda, masih terlihat mematung memeluk nisan itu. Tatapannya kosong; merasakan lebih dari sebuah kehilangan. Seperti jasad tanpa ruh. Sementara dari pelupuk matanya terus mengalir airmata yang tak henti, membasahi pipinya.
Sore itu kelabu. Semakin lama langit semakin menghitam dan hujan mulai turun membasahi tubuh mungil perempuan itu, tetapi ia tetap terdiam di tempat yang sama. Seperti ialah yang mati. Ia semakin erat mendekap nisan itu, memejamkan matanya dan membiarkan dirinya terguyur hujan.
*
Seorang perempuan tergopoh-gopoh menghampiri sebuah meja di salah satu pelataran café di bilangan Jakarta Selatan. Ia menyungging senyum sumringah dan segera duduk.
“Radithh, udah lama ya? Duh, maaf ya udah lama nunggunya. Aku tadi mesti bantu Rana revisi laporan dulu. Kog belum pesen makanan sih? Kamu mau makan apa? Mmh, coba aku lihat dulu ya.”
Ia menarik daftar menu dari atas meja, memperhatikan gambar-gambar yang tertera dalam daftar menu itu. Dengan sigap ia memanggil pelayan café.
“Mbak, iced cappuccino satu, ice chocolatenya satu, beef lasagna dua ya.” Perempuan itu segera menutup daftar menu dan menyerahkannya kepada pelayan itu dengan senyum. Si pelayan hanya memandangnya heran, namun si perempuan itu tak memperdulikannya.
Beberapa menit berselang, pesanannya datang. Ia segera menyantap pesanannya dengan nikmat, sambil sesekali terlihat berbincang hangat. Raut wajahnya berbinar-binar ketika ia mulai bicara. Ia menghabiskan dua jam waktunya di café itu, untuk sekedar menikmati kudapan dan bercakap-cakap.
Sesekali, ia mendapati pandangan aneh dari tiap pengunjung café yang melihatnya. Namun ia tetap menikmati waktunya.
*
“Ve, kemarin aku lihat kamu di cafĂ© deh.”
“Iya, aku kemarin ketemuan sama Radith disitu.”
Sahabatnya, Rana tampak mengernyitkan salah satu alisnya ketika mendengar hal itu. Ia segera memeluk tubuh Ve yang mungil itu hangat.
“Apaan sih Na? Peluk-peluk begini.”  Ve segera melepaskan pelukan Rana. Ia melihat mata Rana berkaca-kaca. Rana memandangnya lekat, airmatanya hampir tumpah. Ia segera menyungging senyum sambil menyentuh ujung matanya, menahan laju airmata.
“Duh, kelilipan nih aku kayaknya. Aku ke kamar mandi dulu ya, Ve.”
Ve hanya mematung ditempatnya berdiri. Rana segera berlalu, menghambur menuju kamar mandi. Ia menangis. Ia sedih menyaksikan secara nyata betapa sahabatnya telah jatuh terpuruk sejak tiga bulan lalu. Dan semakin bertambah parah setiap harinya.
“Rana, kamu kog nangis sih?” suara Ve sedikit mengejutkan Rana. Ia segera menyeka airmatanya dan berbalik menghadap Ve.
“Nggak kog sayang. Aku nggak apa-apa. Ini tadi kelilipan sakit banget. Udah yuk, kita keluar.”
“Rana, Radith kemarin tampan banget deh. Dia pakai setelan kemeja yang aku beliin buat dia waktu itu, inget ‘nggak?”
Rana memandangi sahabatnya itu, wajah yang begitu berseri-seri. Rana tahu, tatapan mata Ve yang kosong telah menjelaskan senyuman dibibirnya. Ia hanya menyungging senyum simpul.
“Bukankah dia memang tampan, Ve?”
“Tentu saja!”
*
Malam itu Ve duduk sendiri di bangku sebuah taman. Sesekali ia melirik kearah jam tangannya dan menoleh, ke kanan dan ke kiri; mencari sesuatu. Ia tertunduk. Menyibukkan diri dengan ponselnya beberapa saat, kemudian melakukan hal yang sama. Begitu seterusnya, untuk waktu yang cukup lama.
Tiba-tiba senyumnya merekah, ketika menemukan apa yang dicarinya.
“Radithh, kamu kemana aja sih? Udah hampir dua jam aku ‘nungguin kamu disini.”
Lalu Ia bercerita banyak hal : Pekerjaannya, rumah, binatang peliharaan hingga Rana, sahabatnya. Sesekali ia terlihat manja, sesekali tawanya terdengar keras. Kadang ia tertunduk, diam. Sesekali menengadah ke atas langit.
Setiap orang yang berjalan melewatinya, memandangnya heran. Dan lagi-lagi ia tak memperdulikan tatapan mata sekelilingnya.
“Wah, udah malam banget. Kita pulang yuk, dith.”
Ia lalu beranjak dari bangku itu, berjalan pelan menyusuri jalanan ibukota di malam hari. Pemandangan tampak menyenangkan, larut dalam gemerlap lampu-lampu jalan dan sorot lampu kendaraan yang hilir mudik. Jakarta masih tampak padat, transisi dari keramahan siang hari dengan hiruk pikuknya malam.
Perempuan itu tampak menikmati perjalanannya. Langkahnya kecil mengalun ringan, seolah tak ada beban, seperti halnya anak kecil yang bersorak setelah karyawisata. Tiba-tiba sebuah lancer silver berhenti tepat disampingnya. Menghentikan langkahnya dan membuatnya sedikit kaget. Kaca samping mobil itu turun perlahan, wajah seorang laki-laki tampak dari balik kaca itu, memperhatikan. Lelaki itu segera mematikan mesin kendaraannya dan keluar.
“Ve, kamu ngapain sendirian disini?”
“Loh, Raffi. Kamu ngapain disini?”
“Udah yuk ah, ikut aku pulang. Aku antar kamu.”
“Tapii, aku kan lagi sama Radith.”
Raffi spontan melepas genggaman tangannya. Ia segera menoleh, memandang wajah perempuan manis dihadapannya itu dengan lekat. “Tapi, Radith kan…”
Belum sempat lelaki itu melanjutkan kalimatnya, Ve menengok sekelilingnya mencari sosok yang dibicarakannya.
“Tuh kan, kemana lagi dia. Kamu sih tarik-tarik aku.”
Raffi masih menatapnya lekat. “Kamu baik-baik aja kan, Ve? Kita pulang aja yah.”
Ve hanya memandangi sekeliling dengan diam, masih mencari. Wajahnya cemas, dan pucat. Setelah beberapa menit lamanya, akhirnya Raffi berhasil membujuknya masuk ke dalam mobil dan mengantarnya pulang. Sepanjang perjalanan, mereka hanya diam. Vee tampak kesal karena perbuatan Raffi, sementara Raffi tampak bingung harus berkata apa untuk dapat menjelaskan semua peristiwa ini dengan akal sehat.
*
Lelaki itu merubuhkan tubuhnya diatas kasur. Ia menghela nafas dalam-dalam, kemudian mengambil telepon genggamnya dan mulai menelepon.
“Haloo..” Suara perempuan diseberang tampak berat.
“Na, aku tadi ketemu Ve di jalan.”
“Raffi, kog bisa?”
“Iya. Aku kaget, Na.”
“Kenapa?”
“Waktu aku tanya dia lagi ngapain jalan sendirian malam-malam, dia bilang ‘aku lagi sama Radith.’”
“Aku juga, Fi.”
“Kenapa kamu?”
“Kemarin aku lihat dia lagi makan di cafe, pas aku tanya tadi di kantor, dia juga bilang hal yang sama. Bukan sekali dua kali, Fi. Bukan lagi sebulan, dua bulan.”
Suasana hening selama beberapa menit lamanya. Mereka berdua seolah berusaha menerima keadaan yang terjadi dengan sahabat mereka.
“Aku sedih, Na. Mengapa keadaannya menjadi begitu mengkhawatirkan?”
“Terlebih aku, Fi. Tapi apa yang bisa kita lakukan? Sepertinya Vee masih belum bisa menerima kepergian Radith.”
“Andai saja mata itu mau memandangku, andai saja tubuh itu mau menerima pelukanku. Andai saja aku bisa menggantikan posisi Radith, Na.”
“Aku tahu, Fi. Aku tahu seberapa besar kau mencintainya.”
“Ya, dan aku tak tahan melihatnya seperti ini. Ia seperti sedang membunuh dirinya sendiri perlahan.”
“Haruskah kita membawanya ke seorang psikiater, Fi?”
“Lagi? Bukankah kedua orangtuanya sudah melakukan itu?”
“Ya, memang sudah. Tapi tidak menunjukkan perubahan berarti. Semakin hari aku merasa Ve semakin memburuk, sekalipun ia terlihat biasa saja dan dapat menjalankan hari-harinya seolah tidak pernah terjadi apa-apa.”
“Suatu saat nanti dia pasti sadar.”
“Semoga waktu itu cepat datang.”
“Amin.”
*
Kamar itu lapang. Ruang berukuran 4x4m itu terasa dingin. Ve duduk bersandar dipinggiran tempat tidurnya, memandangi sebuah pigura. “Dith, kenapa ya belakangan ini kamu diam aja? Udah hampir empat bulan ini kamu diam aja tiap kali aku ajak bicara.”
Ia mengambil pigura itu dan memeluknya. Lambat, airmatanya mengalir. Semakin lama semakin deras membasahi pipinya.
“Radithhhh…..!!” Dadanya sesak. Ia mulai berteriak, histeris. Ia membanting pigura itu dan mulai melempar barang-barang disekitarnya. Airmatanya tetap mengalir, nama yang diserukannya tetap sama.  
Seorang perempuan yang sudah agak tua muncul dari balik pintu kamarnya, dengan raut wajah panik.
“Pa, papa! Cepat ambil obatnya!” ujarnya sambil memegang kedua tangan Ve erat. Ia mulai turut menangis, sementara Ve tetap bersikukuh, meronta dan berteriak kencang.
“Radithhhhhh…!!!! Radithhhhh….!!!!!!!!!!!”
Dengan tergesa, seorang lelaki yang juga sudah agak tua datang membawa set perlengkapan suntik. Ia segera membuka bungkus obat dan menyuntikkannya pada lengan puterinya tercinta. Seketika Ve mulai tenang. Perlahan ia mulai memejamkan matanya.
Sang ayah segera mengangkat tubuh puterinya yang mungil itu dan memindahkannya ke atas tempat tidur, sementara sang ibu membenahi beberapa barang yang berserakan dilantai.
Kedua orang tua ini saling berpelukan, menatap puterinya miris. Sang perempuan menangis, memeluk suaminya. Sementara, sang pria berusaha menahan bulir-bulir airmata di ujung matanya.
*
“Kamu tuh darimana sih tiap pagi, Ve? Sepatunya kotor terus tiap hari.” Rana menepuk bahu sahabatnya itu pelan.
“Dari rumahlah. Eh, iya ya, kog kotor gini sepatuku.” Ve melihat kearah sepatunya dengan heran, tapi ia tak terlalu menghiraukannya.
“Mmh, dasar. Yaudah nih, dari Bu Dinda.”
“Oke, Rana. Makasih ya.”
Ve segera berlalu, sementara Rana, memandangnya dengan sedih. Ia tahu. Ia sadar. Ia hanya pura-pura tidak pernah terjadi apa-apa. Ia hanya membohongi dirinya sendiri. Rana terus bergumam dalam hatinya, memikirkan sahabatnya itu.
*
“Ve, nanti kamu mau ada acara kemana?”
“Mmh, kayaknya ‘nggak ada, Fi. Kenapa?”
“Nanti ikut aku yuk.”
“Kemana?”
“Ada deh. Pokoknya nanti aku jemput sepulang kerja ya.”
*
Lancer silver itu melaju pelan dan berhenti di pelataran parkir dengan tenang. Dari dalamnya, Raffi keluar dan bersandar di depan kaca mobilnya. Tak lama berselang, seseorang yang dinantinya muncul. Seorang perempuan cantik yang telah lama dicintainya.
“Ve!”
Ve melambaikan tangan dan segera menuju kearah Raffi. Mereka berdua masuk kedalam mobil dan dengan segera meninggalkan tempat itu.
“Kita mau kemana, Fi?”
Laki-laki itu tak menjawab, hanya menoleh sebentar menebar senyum simpul dan kembali fokus memandang jalanan. Dan Ve berhenti bertanya setelahnya. Sepanjang perjalanan tak ada cerita, tak ada kata-kata.
Selang dua jam kemudian, mobil itu berhenti disebuah taman.
“Kita sampai.”
Mereka berdua kemudian turun dan memilih sebuah bangku panjang yang berada tepat mengarah ke sebuah airmancur ditaman. Sesaat saja, keadaan menjadi hening.
“Ve, menikahlah denganku.”
Pernyataan Raffi spontan membuat Ve terbelalak. Matanya melebar seperti hendak keluar dari tempatnya.
“Tidak bisa, Fi. Kamu kan tahu, aku sudah punya Radith. Kau tidak pantas berkata seperti itu, Fi.”
“Tapi Radith sudah meninggal, Ve!”
“Tidak. Aku masih bertemu dengannya kemarin!”
“Ve, kau harus menerima kenyataan. Aku akan menggantikan Radith untukmu.”
“Tidaakkk…”
Mendadak Ve mulai hilang kendali. Perempuan itu mulai bangkit berdiri dan berlari. Raffi segera mengejarnya, menangkap lengannya kemudian memeluknya jatuh. Sementara itu, Ve tetap berusaha meronta dengan keras sambil berteriak.
Pengunjung taman ini memandang mereka dengan tatapan pilu, terutama melihat raut wajah perempuan yang jatuh dalam pelukan sang lelaki. Mereka mungkin tidak mengerti apa yang terjadi, tapi mereka mampu membayangkan kesedihan macam apa yang dirasakan.
“Radithh, tolong aku! Radittthhhhh!!!”
“Ve, Radith sudah hampir setahun meninggalkan kita!”
“Tidak, Fi. Tidakk!! Kemarin kami masih bertemu dan aku masih berbincang dengannya!”
“Itu semua hanya khayalanmu!”
“Tidak!!”
“Ayo, kau harus bangun dari tidurmu, Ve! Aku tak mau kau jadi gila karena hal ini.”
“Tidak, Fi. Tidak. Aku tidak mau.”
Kali ini wajah Ve mulai berkaca-kaca, ketika Raffi menggandengnya dengan paksa untuk masuk ke dalam mobil.
*
“Ini Radith, lihat baik-baik Ve.”
Raffi menunjuk sebuah makam, yang diatasnya bertuliskan nisan ‘Raditya Pradana’. Makam itu harum, penuh dengan rangkaian mawar putih diatasnya. Ve memandang makam itu heran, ia tetap bersikukuh menyangkal.
“Pasti kamu bercanda kan? Ini makam siapa, Fi?”
“Ini makam Radith, Ve.”
“Radith masih hidup kog, lagipula hanya namanya saja yang sama.”
Sementara itu, dari sudut lain datang seorang laki-laki yang sudah berusia setengah abad menghampiri. Ia menyungging senyum, menandakan bahwa ia sangat mengenal sosok yang ada dihadapannya.
“Non Ve. Tumben sore kesininya.”
Raffi menatap Ve lekat, namun Ve tidak mengerti. Perempuan itu masih saja mematung di depan makam itu.
“Tumben?”
“Iya. Ini pasti mas Raffi ya? Saya Pak Soleh, yang ngurus makamnya almarhum mas Radith. Non Ve ini tiap pagi sebelum berangkat ke kantor pasti mampir kesini sambil bawa sebuket bunga mawar putih. Baru saja tadi pagi dia datang.”
Raffi mengangkat sebelah alisnya, kembali menengok Ve yang masih saja mematung.
“Bapak yakin?”
“Ya tentu lah, mas. Wong saya yang bersihin makam ini tiap hari, masak saya bohong.”
“Sudah berapa lama hal itu terjadi, Pak?”
“Sehari setelah almarhum mas Radith dimakamkan. Non Ve juga yang terakhir kali pulang dari makamnya, dia yang meminta saya menjaga makam ini.”
“Pak, siapa yang dimakamkan disini?” pertanyaan Ve membuat dua orang laki-laki dihadapannya saling bertatapan.
“Ini makam almarhum mas Radith, Non. Masa Non ‘nggak ingat?”
“Radith siapa? Oh iya, ‘kog bapak kenal sama saya ya?”
Pak Soleh mulai menangkap apa yang terjadi, kebingungan Raffi dan gelagat Ve yang berbeda dengan perempuan yang selalu dijumpainya setiap pagi. Lelaki itu tak menjawab pertanyaan Ve.
“Kita pergi dari sini yuk, Fi.”
Ve segera menarik lengan Raffi dan menyungging senyum simpul kepada lelaki yang satunya. Mereka meninggalkan tempat itu. Sementara Pak Soleh memandang makam dihadapannya dan berkata, “Dia sangat mencintaimu, nak.” Lalu pergi meninggalkan makam yang dipenuhi mawar putih itu.
*
Matahari mulai menghangatkan dunia dengan sinarnya. Seorang perempuan muda terlihat masih duduk disalah satu makam dengan tenang. Ia memandangi makam itu lekat. Ditangannya masih tergenggam sebuket mawar putih yang segar.
Dari kejauhan tampak seorang lelaki menghampirinya. “Pagi Non.”
“Pagi pak.”
“Belum berangkat Non?”
“Ini baru mau berangkat. Titip mas Radith ya, pak.”
Perempuan itu lalu berdiri, beranjak dari makam itu. Laki-laki yang menghampirinya tadi menggeleng melihatnya, mengingat kejadian kemarin sore. Ditempat yang sama, dengan orang yang sama, tetapi jiwanya sudah berbeda. Hanya dalam hitungan jam, mungkin.
Ia mengelus dadanya, lalu mulai membersihkan pelataran makam itu.
*

Short Story

.... , Lima Bulan Lalu
Beberapa potong pakaian tergeletak diatas lantai, sementara dua insan masih terbaring dalam satu selimut diatas ranjang. Cahaya mentari yang coba masuk melalui celah-celah jendela tidak lantas menggoda mereka untuk bangun dan menikmati udara pagi ini.
Mereka melewati malam yang panjang.
Sang perempuan terbangun lebih awal, memandangi sekelilingnya, kemudian tersenyum ketika melihat lelaki yang masih tertidur disampingnya. Ia membelai rambut lelaki itu hangat, dan mencium keningnya. Sang lelaki tampak sedikit terusik, ia menangkap tangan kecil yang membelainya, kemudian membuka matanya perlahan. Ia menemukan bidadari disampingnya tengah menatapnya.
Mereka tersenyum. Raut wajah keduanya begitu bahagia.
“Pagi, Ve.”
“Pagii..”
“Apa rencana kita hari ini?”
“Menghabiskan waktu dikamar?” bisik Ve ditelinga laki-laki itu memanja, seraya merubuhkan tubuh mungilnya yang masih terbungkus selimut kedalam pelukannya.
Lelaki itu tersenyum. Matanya berbinar, penuh dengan kebahagiaan. Ia tampak seperti seorang anak kecil yang baru saja mendapatkan mainan yang begitu diinginkannya.
“Aku ingin sekali, Ve. Aku ingin sekali setiap hari bisa seperti ini.”
Perempuan itu hanya tersenyum kecil, tak dapat lagi berkata apa-apa. Ia bahagia, ia sangat bahagia, meskipun dalam tatapan matanya tersisa sedikit penyesalan yang mulai mengkarat.
(Andai kau Raffi, dith. Tidak. Andai Raffi bersifat sepertimu, betapa bahagianya aku dan sempurnanya hidupku sebagai tunangannya.)
“Radith…”
“Ya?”
“You’re so special.”
“Always, dear.”
Laki-laki itu menyentuh bibir perempuan dihadapannya lembut. Ia meraih dagu mungil itu, mendekatkannya pada wajahnya dan menciumnya. Mereka  bertatapan, lekat. Dan permainan semalam terulang kembali.
Ruang ini jadi saksi bisu, dua insan yang saling melepaskan rasa.
(Tuhan, tolong hentikan waktuku. Saat ini saja. Jangan ingatkan siapa aku dan siapa lelaki dihadapanku, untuk saat ini saja.)
*
Setahun Lalu
Malam ini langit tampak cerah. Disudut cafeteria itu dua orang kekasih sedang duduk berhadapan. Mereka tengah menikmati makan malam mereka, dengan sangat tenang. Tiba-tiba sang lelaki menghentikan suapannya, ia meletakkan alat makannya diatas piringnya – yang masih menyisakan makanan – dan diam memandangi perempuan di depannya.
Sang wanita mulai terusik, “Raffi, ada apa kau melihatku seperti itu?”
Sang lelaki tersenyum.
“Boleh aku pinjam tanganmu sebentar?”
Sang wanita tak menjawab, hanya melakukan apa yang diminta kekasihnya. Ia mengulurkan tangannya dan lelaki itu menggenggamnya.
Beberapa saat lamanya, kemudian lelaki itu melepaskan tangan kekasihnya dengan penuh senyum. Perempuan dihadapannya itu kaget, ketika mendapati sebuah cincin sudah melingkar di jari manisnya. Ia menggigit ujung bibirnya dengan mata berkaca-kaca.
“Raffii…”
“Menikahlah denganku, Vee.”
(Tentu Fi! Tentu saja, aku mau. Aku tak percaya akhirnya waktu ini tiba juga.)
Sang perempuan segera mengangguk pasti. Wajahnya berbinar, senyumnya merekah, membuat parasnya yang cantik itu semakin terlihat.
(Ia ingin sekali memeluk lelaki didepannya itu. Ia tak pernah merasa lebih bahagia dari hari ini, perasaannnya meluap-luap.)
Malam ini istimewa. Ia dapat merasakan bunga-bunga bermekaran disekitarnya, memenuhi hatinya.
*
Empat Setengah Bulan Lalu
“Raffi, kapan kita bisa bertemu?”
“Mungkin lusa. Aku masih harus menyelesaikan beberapa pekerjaanku disini.”
“Baiklah.”
“Nanti ku hubungi lagi ya. Kita akan segera mengurus persiapan pernikahan kita begitu aku kembali dari sini.”
“Tentu.”
Perempuan itu duduk disamping tempat tidurnya, meletakkan telepon genggamnya diatas ranjang. Raut wajahnya terlihat sedih. Ia mengangkat tangannya keatas, memandangi jemarinya, memutar-mutar cincin yang melingkar dijari manisnya itu.
Ia berkata pada dirinya sendiri. Berpikir sejenak dalam kesendiriannya. Ia mengingat dengan keras, beberapa kejadian yang terjadi belakangan ini.
(Andai saja pertemuan itu tak pernah ada.)
(Ah, tapi bagaimana mungkin kita tidak bertemu? Cepat atau lambat kita pasti bertemu.)
(Andai perasaan ini tak perlu ada.)
(Ya, benar. Andai aku tak perlu terjebak dalam perasaanku sendiri. Tentu hal bodoh ini tak perlu terjadi.)
(Ya Tuhan, aku mengkhianatinya.)
(Ini harus segera diakhiri.)
Ia melipat kedua kakinya didepan tubuhnya, menunduk. Perlahan, airmatanya mulai mengalir membasahi pipinya.
(Ternyata aku mencintainya.)
(Tidak.)
(Andai Raffi tidak bersikap terlalu serius, andai Raffi punya cukup waktu untuk memperhatikan aku, seperti halnya Radith memperhatikanku.)
Suara hatinya saling mengadu, menuntut pembenaran. Dan ia mulai sadar, ia harus bangun dari mimpi indahnya ini.
(Aku harus mengakhirinya, empat bulan lagi aku akan menikah. Dan aku tak pantas memperlakukan calon suamiku seperti ini.)
*
Empat Bulan Lalu
“Radith, kita harus mengakhiri semua ini.”
“Aku tahu. Hanya saja aku tak pernah siap menghadapi waktu ini.”
Sang lelaki mengambil tangan sang perempuan, memutar-mutar cincin emas yang bersemayam di jari manisnya.
“Andai kau bukan milik orang lain, Ve. Aah, andai kita bertemu lebih cepat. Atau mungkin sebaiknya kita tak perlu berjumpa. Andai kita tak perlu saling jatuh cinta.”
Radith memenuhi dirinya dengan penyesalan. Penyesalan yang dalam. Entah untuk cintanya yang tak tersampaikan pada perempuan pujaan hatinya, atau penyesalan pada perasaannya sendiri.
“Bersyukurlah sebab kita pernah dipertemukan, pernah saling jatuh cinta. Karena sepertinya aku akan sangat menyesal jika aku tak pernah mengenalmu.”
“Andai aku memilikimu.”
“Kau pasti akan mendapatkan yang lebih baik daripada aku, yang masih lajang, tidak terikat status apapun dengan siapapun, yang mencintaimu apa adanya. Selalu.” Perempuan itu tersenyum sambil menatap lelaki dihadapannya lekat. Ia menyentuh kedua pipinya dengan tangannya, berusaha meyakinkan.
“And now I found you.”
“But I’m not yours. Remember it.”
“If I can, I want to forget everything, except you.”
“Oh, come on, Radith. Back to the real life.”
“Ve, dimana lagi aku akan menemukan perempuan yang bisa ku cintai selain dirimu?”
“Suatu saat nanti aka nada seorang malaikat cantik yang dikirimkan Tuhan untukmu. Aku percaya itu.”
“Tapi, sulit menerima bahwa kau akan pergi.”
“Rasanya akan sama seperti sebelum aku datang.”
“Tidak.”
“Ini bukan takdir kita, Dith.” Perempuan itu berlari, meninggalkan lelaki yang masih terpaku dihadapannya. Airmatanya mengalir pelaln, ia tahu ia telah melakukan sesuatu yang benar, meskipun dalam hatinya masih ada sedikit rasa yang bergejolak.
*
Delapan bulan lalu.
“Iya, ini aku baru mau pulang ke rumah. Nanti aku telepon lagi ya kalau udah sampai rumah.”
Perempuan itu memasukkan telepon genggamnya dengan terburu-buru kedalam tas, hingga tanpa sadar didepannya ada seseorang.
“Aduh.”
“Ah, maaf mas. Maaf.”
Mereka bertabrakan. Beberapa berkas dan barang-barang bawaan mereka berserakan di lantai. Sang perempuan segera mengambil beberapa berkas yang terjatuh sambil tak henti-hentinya mengucap maaf. Sementara itu, sang lelaki yang ditabraknya hanya memandanginya terdiam.
“Ve?”
Perempuan itu segera menoleh kearah lelaki yang ditabraknya. Ia terdiam beberapa waktu memandangi sosok yang memanggilnya.
“Radith?”
“Ya ampun, ternyata benar kamu. Apa kabar?”
“Baik. Kamu mau kemana?”
“Ini habis pulang dari Bandung, kamu mau kemana?”
“Aku mau pulang. Ya ampun, kamu makin tampan aja, dith.”
“Haha, kamu juga makin cantik. Oh iya, boleh minta nomor mu?”
“Tentu.”
“Sampai nanti, Ve. Aku akan menghubungimu nanti.”
“Ya. Semoga kita bisa berjumpa lagi.”
Mereka kemudian berpisah untuk kembali melanjutkan perjalanan menuju tujuan masing-masing. Pertemuan sederhana yang biasa saja.
Perempuan itu menuju mobilnya.
(Astaga, Radith tampan sekali. Aku tak pernah menyangka akan bertemu lagi dengannya.)
Ia tersenyum sendiri ketika mengingat kejadian memalukan tadi. Ia mengenal Radith, jauh sebelum ia bertemu dengan Raffi. Radith adalah teman sekolahnya sewaktu SMA dulu. Ia dulu pernah menaruh hati sesaat pada Radith, tetapi hanya cinta monyet anak sekolah, hingga tidak pernah berlanjut dan kehilangan kontak setelah lulus SMA.
Ia masih mematung dalam kendaraannya, tiba-tiba telepon genggamnya berbunyi.
“Haloo..”
“Haii, ini nomorku ya Ve.”
“Ah, Radith. Iya, aku akan menyimpannya.”
“Dimana kau sekarang?”
“Masih diparkiran, baru saja mau keluar. Kau?”
“Aku di taksi dalam perjalanan pulang. Okay, take care Ve. Nice to meet you today.”
“Yeah.”
Percakapan itu terhenti, Ve menghidupkan mesin kendaraannya dan beranjak dari tempat ini. Ditengah perjalanan, telepon genggamnya kembali berbunyi.
“Haloo..”
“Dimana kamu?”
“Masih dijalan aku. Kamu udah dimana?”
“Aku juga masih dijalan. Kita jadi ketemu dirumah apa diluar aja?”
“Di cafĂ© langganan aja kali ya, biar aku langsung kesana.”
“Oke. Take care ya.”
“Ya.”
Pertemuan itu merupakan awal. Awal semua keraguanku tumbuh. Entah aku harus bersyukur atau menyesal atas kejadian itu. Kejadian yang membuatku merasa sangat bodoh sebagai perempuan, karena menginginkan dua hati pada satu waktu yang sama.
Seminggu, dua minggu, sebulan, dua bulan, aku dan Radith kian dekat. Kami sering bertukar sapa melalui pesan maupun telepon. Kadang jika ada waktu luang, kami saling berjumpa, tanpa sepengetahuan Raffi tentunya.
Semakin lama, perasaan itu kian berkembang. Menyesakkan. Ditambah dengan kesibukan Raffi yang kadang membuatku jenuh karena kami semakin sulit berjumpa. Dan hal itu dimanfaatkan dengan baik oleh Radith untuk memenuhi hatiku, lebih dari sekedar menumbuhkan bunga, tapi membuat sebuah ladang bunga dan menyiraminya dengan subur.
*
Sekarang.
Kamar itu penuh dengan bunga, rangkaian mawar menghiasinya. Seorang perempuan tampak duduk menghadap cermin besar dihadapannya. Ia memandangi bayangannya sendiri. Parasnya cantik, terlihat semakin cantik dengan balutan gaun putih ditubuhnya. Mahkota dari bunga menghiasi kepalanya, dan wajahnya, tertutup kain tipis halus.
Hari ini hari pernikahannya dengan Raffi. Ia menutup matanya sejenak, tersenyum, membayangkan kejadian beberapa bulan yang lalu.
“Boleh aku masuk?”
Seorang lelaki dengan setelah kemeja hitam berdiri di depan pintu kamar. Perempuan itu menoleh, tersenyum dan mengangguk.
“Selamat ya, Ve.”
“Ya. Dimana Rana?”
“Di luar.”
“Dith, terima kasih ya.”
“Untuk apa?”
“Untuk semua kebersamaan kita.”
Lelaki itu tersenyum. Kali ini senyumnya agak miris. Mereka bertatapan. Rasa itu masih tertinggal.
“Aku mencintaimu, Ve.”
“Kau tidak pantas berkata seperti itu padaku.”
“Bolehkah aku memelukmu?”
Perempuan itu hanya diam, memandang lelaki dihadapannya itu. Lelaki yang sempat mengisi sebuah ruang hatinya. Ia hanya memejamkan matanya, dan ketika membuka matanya, ia mendapati wangi yang pernah begitu dekat dengannya.
Kehangatan yang sama.
“Terima kasih, telah menghadirkan perasaan yang begitu menyenangkan dihatiku.”
Perempuan itu tersenyum mendengar bisikannya. Matanya mulai sedikit berkaca-kaca. Ia segera menarik nafas dalam, dan melepaskan pelukan itu perlahan.
“Nice to meet you, Radith.”
“Aku juga, Ve. Selamat berbahagia ya.”
“Terima kasih.”
Lelaki itu kemudian mencium tangan perempuan itu, hangat. Tersenyum. Mereka saling berpandangan untuk terakhir kalinya.
“Ayo. Raffi sudah menunggu.”
“Tentu.”
*