.... ,
Kata orang, cinta itu
buta. Bagiku, cinta tak pernah buta. Ia hanya memalingkan wajah untuk melihat
kenyataan yang kadang tidak berjalan sesuai kehendaknya.
Apa ukuran untuk
menghitung cinta? Satuan? Kilometer? Netto? Gram? Celcius? Semua manusia yang
pernah ku kenal mengajariku berhitung kadar cinta mereka. Materi, kesenangan,
kebahagiaan? Tapi tak ada yang benar-benar puas. Cinta menjelma menjadi serupa
pundi-pundi ketika kau mulai menghitungnya. Dan semua pengorbanan mendadak terasa
mahal ketika kau telah kehilangan.
Jika cinta benar bisa diukur, mungkin saja aku
bisa menagih cinta yang pernah ku berikan padamu untuk membayar semua sesalku
atas kebodohan kita.
*
Ruang berukuran 6x7m
ini mulai terasa sesak untuk ku. Aku dapat mendengarkan bunyi degup jantungku
sendiri. Hanya ada sebuah ranjang kecil berseprai putih dan sofa kulit warna
merah, tempatku duduk saat ini. Perutku mual, aku terlalu gugup. Tidak. Aku
sangat gugup sekali. Rasanya lebih menegangkan dari menonton film horor Jepang
atau menunggu giliran sidang akhir. Seandainya ada pilihan lain yang dapat ku
lakukan selain menunggu disini, mungkin aku akan memanfaatkan pilihan itu.
Tetapi aku tahu,
meskipun selalu ada pilihan; aku tak pernah berani memilihnya.
*
Aku telah melihatmu.
Kita telah menghabiskan 14 minggu lebih bersama. Berbagi kesukaanmu, dan
ketidaksukaanmu. Kau tidak suka aroma bumbu kacang. Kau tidak suka aroma jamu,
seperti aku juga tidak menyukainya. Kau suka dipeluk. Aku sangat suka
menyentuhmu. Kau manis, sayang. Aku telah mencintaimu bahkan sebelum kita
sempat bertemu.
Dan kadang, cinta
membuat kita menjadi terlalu bodoh dan naif.
*
Aku memeluk selimut
untuk menutupi tubuhku ketika kau sibuk berpakaian. Kemudian kau terdiam
menghadap kalender dinding dan menoleh kearahku, “Ve, kamu belum haid ya bulan
ini?”
“Iya sih. Mungkin
terlambat kali, Dith.” Aku tak begitu mengindahkannya, aku meraih bantal dan
memilih untuk tidur.
*
Ada yang mulai terasa
ganjil dari tubuhku. Nafsu makanku menurun drastis, berat badanku pun menurun.
Aku juga mudah lelah. Hampir setiap hari aku muntah-muntah tanpa alasan.
Rasanya seperti masuk angin yang tak kunjung sembuh. Mulanya aku berpikir
maagku kambuh dan memarah, karena hampir semua jenis makanan tak dapat ku telan. Aku jadi tak suka
terik matahari dan aroma-aroma menyengat. Emosiku pun menjadi tak stabil,
sering tiba-tiba mellow dan marah-marah karena hal kecil.
“Dith, jauhkan bumbu
kacang itu dari hadapanku. Aku mual mencium aromanya.” Aku menunjuk kearah
piring berisi bumbu kacang sisa cemilan tempe mendoanku tadi pagi.
“Sejak kapan kamu jadi
terlalu peka dengan bau-bauan?” Radith lantas menyingkirkan piring itu dari
atas meja.
“Entah. Yang pasti aku
‘gak suka aromanya.” Aku memicingkan alisku kearahnya, menunjukkan wajah tak
suka.
“Ternyata benar kamu
hamil.” Ia menghela nafas panjang.
“Dith, jangan menakuti
aku! Aku pernah terlambat haid sampai 3 bulan.” Aku mencoba menyingkirkan
ketakutanku sendiri dengan membela diri.
“Berdoa saja aku
salah.”
*
Test pack itu bergaris
dua. Lahar panas mulai terasa diujung mataku, “Hasilnya positif, Dith.”
“Aku sudah menduganya.
Bukankah dari awal sudah ku katakan padamu?” jawabnya tenang, tanpa merasa
khawatir sama sekali.
“…” aku mendongak,
menarik nafas dalam-dalam, berusaha menahan tangis yang akan pecah.
“Jangan menangis. Dia
belum waktunya ada, Ve.” Ia meraih tubuhku kearahnya. Hangat. Kemudian
tumpahlah semua airmata yang tertahan.
“Karena itulah aku
menangis. Karena aku tau, aku harus merelakannya pergi.” Ujarku terisak. Tidak
kah kau menginginkan anakmu, Dith? Batinku. Aku mempererat pelukanku.
*
Setelah test pack
menunjukkan hasil positif, kami mulai sibuk mencari cara untuk menggugurkanmu.
Dari mulai makan nanas muda, meminum jamu pelancar haid yang konon katanya bisa
digunakan untuk menggugurkan kandungan, minum minuman beralkohol untuk merusak
kandungan, mengkonsumsi pil KB, melakukan olahraga berat, beraktifitas dengan
menggunakan heels sehari-harinya, hingga mengkonsumsi beberapa jenis obat yang
biasa digunakan untuk menggugurkan kandungan dari dalam.
Obat itu sejenis
tablet, terdiri dari 2 warna dan 2 fungsi dengan ukuran yang tidak sama. Yang
satu berbentuk bulat dan satunya sedikit lebih lonjong. Salah satu obat itu
harus dimasukkan kedalam vagina setiap harinya, selama 3 hari berturut-turut,
sementara yang satunya diminum sehari 3x setelah makan.
Aku selalu menahan
tangis setiap kali aku meminum jamu-jamuan dan obat. Berulang kali meminta maaf
kepadamu. Tak jarang protesmu muncul tiap kali aku berusaha membunuhmu dari
dalam. Kau memaksaku memuntahkan kembali apapun yang masuk kedalam mulutku.
Dan kau adalah anak
yang kuat. Ketakutanmu menjadi kekuatanmu. Segala cara telah ku tempuh untuk
meniadakanmu, namun kau semakin erat memelukku.
“jangan bunuh aku, ma.” bisikmu menggema dalam hatiku.
Kami berdua telah
menjelma menjadi dua orang bodoh yang hendak lari dari tanggung jawab.
*
Sesekali waktu, kami
seperti begitu mengingkanmu. Aku membelaimu dengan hangat, merasakan detakmu
yang mulai ada dan pergeseran kecilmu yang mengejutkan. Begitupun Radith. Aku
tahu bagaimana perasaannya ketika membelaimu dan merasakan kehadiranmu di
rahimku. Ia mencium perutku lama, tempatmu bernaung. Seolah meminta ijin untuk
melepaskanmu.
*
“Ve, aku tahu tempat
untuk menggurkannya.”
Mendadak detak
jantungku seolah berhenti.
“Jangan cemas, ini
sebuah klinik. Temanku pernah melakukannya juga disana.”
“Berapa biayanya?”
“Jangan khawatirkan itu,
aku akan mengusahakannya.”
*
Tibalah aku diruangan
ini. Ruangan berukuran 6x7m ini. Ruangan dengan sebuah ranjang berseprai putih
dan sofa kulit merah. Ruangan ini punya 3 pintu. Pintu tempatku masuk, pintu
menuju keluar dan pintu kearah ruangan lain. Kami berdua diam. Tak sepatah pun
keluar dariku maupun Radith.
Salah satu pintu itu
terbuka, seorang perempuan berkerudung paruh baya muncul dari baliknya. Ia
tersenyum kearahku dan memanggilku mengikutinya.
“Kemari. Berbaringlah
disini.” Ia menunjuk kearah ranjang diruangan lainnya dengan mesin berlayar
didepannya. Ada dua orang perempuan lain disana menyiapkan peralatan, entah
apa. Aku menuruti dan Radith berdiri disampingku. Aku menggenggam tangannya
erat, meski tanpa sepatah kata.
Perempuan itu mengangkat
kaosku dan mengoleskan perutku dengan cairan serupa gel yang dingin. Sementara
seorang rekannya menghadapkan layar itu kepadaku dan Radith, dan yang lain
menyelimuti bagian kakiku dengan selimut kecil. Perempuan itu menggerak-gerakkan alat serupa rol deodorant
di perutku dengan sedikit menekan.
“Lihat. Ini lho
janinnya. Sudah besar ya.”
Aku memandangi layar
dengan tatapan pilu. Aku dapat melihat mahluk kecil berdetak disana, dengan
wujudnya yang telah utuh.
“Ini sudah terbentuk
semua anggota tubuh dan jaringan syarafnya. Sudah bernyawa. Lihat, ini
tangannya, jari-jarinya. Ini kepalanya.”
Lagi-lagi aku hanya
bisa diam dan mengutuki diriku sendiri dalam hati.
“Ini usianya kurang
lebih sudah 14 minggu, pak, bu. Sulit untuk dikeluarkan dengan cara biasa. ini
harus dioperasi.”
“Maksudnya, dok?”
Radith mulai angkat bicara.
“Ya, ini harus divaccum. Divaccum itu artinya disedot keluar. Karena sudah berbentuk manusia
utuh, jalan satu-satunya mengeluarkannya dengan membunuhnya dulu di dalam, baru kemudian disedot keluar. Kalau dikuret, nanti akan membahayakan nyawa ibunya juga. Beresiko.”
Aku mempererat genggamanku.
“Itu bagaimana prosesnya,
dok?” lanjut Radith.
“Nanti, si ibu akan
dimasukkan obat dengan alat. Kemudian, kita akan menunggu reaksi obat itu
selama 1-2 jam. Baru setelah itu akan dioperasi vaccum.”
Aku tersenyum getir.
Radith terdiam.
“Negosiasi biayanya
diluar saja ya, pak.” Perempuan itu kemudian menutup kaosku dan mematikan layar
sambil beranjak keluar.
*
“Nah, kamu pipis dulu
ya. Setelah itu masuk lagi kemari.”
*
Aku kembali ke ruangan
berukuran 6x7m ini. Kali ini sendirian. Berharap-harap cemas sendiri.
*
Perempuan itu kembali
masuk dan menyuruhku melepaskan celana panjang dan dalamanku, kemudian
mengajakku untuk naik ke ranjang. Ia menaikkan kedua pangkal kakiku hingga aku
mengangkang lebar. Ia dan dua rekannya menyiapkan peralatan serupa tang dengan
ujung tumpul yang panjang dan besar. Diujungnya diletakkan dua tablet obat yang
masing-masing telah dipatahkan menjadi dua.
“Tahan ya. Sebentar
saja kog. Rileks, jangan tegang. Semakin kamu tegang, semakin sulit saya
memasukkan obat-obatan ini dan kamu akan semakin sakit.”
Rasanya sakit dan
dingin, seperti ada sesuatu yang menusuk dan mengoyak-oyak. Aku berteriak.
Tidak bisa tidak tegang. Tidak bisa tidak merasa takut. Tidak bisa tidak merasa
bersalah.
*
Setelah setengah jam
berperang dengan rasa sakit itu, ia membawaku ke sebuah ruangan lain yang juga
hanya berisi sebuah ranjang dan kursi. Ada sebuah cermin menghadap kearah
ranjang dan jendela besar tepat dibelakang ranjang. Aku berbaring, tak lama
Radith muncul. Wajahnya pucat, meski aku tahu wajahku pasti lebih pucat
darinya.
Aku meraih tangannya
dan mulai menangis.
“Sakiiit…”
Ia menatapku nanar,
mencoba menguatkan. “Sabar sebentar ya, Ve. Setelahnya pasti akan baik-baik
saja.”
“Tadi aku dimasukin
obat, ‘gaktau obat apa. Kaya ditusuk rasanya, Dith.”
“Iya, udah ya jangan
nangis. Nanti makin sakit kalo nangis.”
Aku terisak mencoba
meredakan tangisku, sekaligus menahan sakit yang semakin menjadi.
*
Setengah jam, satu,
satu setengah jam berlalu. Aku ingin keluar, aku ingin muntah. Perutku terasa
sangat mual. Belum sampai di depan pintu, aku terjatuh, muntah disana. hanya
air, tidak ada apa-apa lagi yang ku muntahkan. Radith segera mengangkat dan
menggendongku kembali ke atas ranjang.
*
“Ayo bu, sudah dua
jam.”
Dengan langkah gontai
aku mengikutinya, Radith mengantarku sampai di depan pintu ruangan. Lagi-lagi
ruangan berukuran 6x7m ini. Di sofa telah duduk seorang lelaki berusia sekitar
40an. Ia tersenyum ramah kearahku, menyuruhku melepaskan celana dan berbaring
di ranjang.
Kemudian perempuan
berkerudung itu kembali dengan dua rekannya tadi, lengkap dengan
peralatan-peralatan. Aku dapat melihat mesin USG dan selang berukuran agak
lebar. Aku meletakkan kedua kakiku mengangkang dan ia duduk persis menghadap
selangkanganku. Salah seorang perempuan menyiapkan suntikan, berdebat singkat
dengan si lelaki dan kemudian mengganti cairan yang akan diisi kedalam
suntikan. Seorang lainnya memasangkan selang oksigen kepadaku, sementara satu
cairan bius telah bersarang di pangkal pahaku.
“Rileks, atur nafasnya
ya.” ujar perempuan berkerudung itu tersenyum.
Beberapa menit berlalu,
aku masih bisa merasakan ada sesuatu yang sedang dipasang diantara
selangkanganku. Kemudian ada deru suara mesin. Aku merasa ada sesuatu dipaksa
keluar dari perutku.
*
Maaf. Aku tahu kata itu
tidak pernah akan cukup untukmu. Batinku.
*
Tidak ada perih. Tidak
ada luka. Perempuan berkerudung itu kembali mengoleskan cairan dingin itu dan
menggerak-gerakkan benda serupa rol deodorant diperutku. Kosong. Layar tidak
lagi menunjukkan wujudmu. Kamu benar-benar telah keluar dari rahimku. Ada lega
dengan sesal yang teramat berdenyut-denyut dalam hati.
Si lelaki berpamitan
dan bergegas keluar, sementara si perempuan memaksaku duduk dan membantuku
memakai celana. Ia menyelipkan sebuah pembalut pada celana dalamku.
“Tinggal sisa-sisa aja
darahnya, paling sekitar sehari dua hari. Persis kaya haid. Nanti ada resep dan
obat yang harus diminum ya.”
*
Sekarang, tinggal nyeri
yang terasa dan trauma yang tersisa. Sisa bius kemarin membuat pangkal pahaku
mati rasa, aku sulit untuk berjalan; bahkan untuk berdiri saja perlu dibantu.
Semua orang pernah
patah hati karena ditinggal kekasihnya, tetapi tak semuanya benar-benar patah.
Mungkin seperti inilah rasanya benar-benar patah dan hancur berkeping-keping.
Rasanya seperti ada sesuatu yang telah diambil dan dicuri dariku, sehingga aku
merasa sangat kehilangan. Sesuatu yang telah menyatu denganku, yang didalam
tubuhnya telah mengalir darahku. Sesuatu yang denyut dan nafasnya seirama
denganku.
Aku tidak hanya patah
hati, seluruh tubuhku pun telah ikut patah.
Aku membelai perutku
tempat tinggalmu dulu. Mengingat kebersamaan kita. Mengingat kebodohanku.
Mengingat sesal yang terus menerus menghantui. Aborsi tidak hanya menguras
kantong, tetapi juga ikut menguras hatiku didalamnya.
Kadang ada pikiran
kenapa tidak sejak awal saja, sebelum kamu telah bernyawa. Mungkin rasanya
tidak akan sesakit saat ini. Kadang terlintas, kenapa harus sampai kebablasan
dan lupa diri. Kadang pula aku berpikir, kenapa aku tidak melahirkanmu saja?
Aku terlalu takut untuk menghadapi kenyataan nanti, masa depan dan nama baik,
sehingga aku lupa, kau juga berhak punya masa depan.
*
Dan penyesalan memang selalu muncul belakangan.
Kata orang cinta itu buta. Menurutku ia tidak buta, ia hanya suka bertindak bodoh.