Wednesday, December 05, 2012

December

.... , Selamat datang Desember. Bulan penutupan tahun 2012. Banyak suratan yang terjadi telah terjadi sepanjang tahun ini, banyak pula yang akan terjadi untuk melengkapi catatan tahun 2012. Tidak terasa sudah mau tahun baru lagi, padahal rasanya baru kemarin bersenang-senang di ujung Jakarta bersama kawan menghitung detik.

Sudah hanpir setahun, pa. Ini akan menjadi Natal dan tahun baru pertama tanpamu. Begitu pula tahun-tahun berikutnya. Masih saja terus menggema, sakit yang kerap membuat langkah terhenti, senyum memudar dan lupa kemana harus berjalan.

Meskipun begitu, 2012 istimewa. Bersyukurlah untuk semua pedih dan suka yang hilir mudik mampir, menguatkan dan melemahkan, namun tetap mengajak untuk bertahan. Untuk kawan-kawan baru, pola pikir baru, ilmu dan sosialisasi baru, kebiasaan baru, stagnansi membulan yang luar biasa (semoga tidak menahun), support dan doa yang terus mengalir, dan semua hal yang membuat tiap tarikan nafas jadi lebih bermakna.

Desember diawali dengan sukacita Natal dan euforia liburan yang mulai menyergap dimana-mana. Suasana menjadi lebih calm down sekaligus agresif menjelang penutupan tahun. 2012, bukan berarti tahun kegagalan, hanya saja tahun yang penuh pelajaran. Semoga pelajaran berharga tahun ini mampu diaplikasi dan tidak terulang ditahun depan.

Semoga doa-doa dan niat baik menyertai sepanjang tahun 2013 nanti. Semoga desember ini dapat menjadi tutup buku mengenai semua hal buruk, dan mulai membuka lembaran baru untuk menulis lanjutan kisah di chapter baru. Selamat bulan Desember, Ve. Tutuplah tahun ini dengan sesuatu yang manis untuk menjadi pelajaran di tahun depan. Jangan berhenti, jangan melarut. Berdirilah kemudian berjalanlah. Untuk apapun yang akan ada di depan nanti, hadapilah.

Desember, be nice please. :)

Untuk kamu. Kepada kamu.

.... ,
Rindu menjelma serupa peluru dalam senapan yang dihardik tepat di dadaku.

Terasa dingin, membuat degup dan tarikan nafasku saling memburu. Berduel siapa yang lebih dulu akan berhenti.

Untuk kamu. Kepada kamu. Aku rela diberondong rindu sampai mati.

Sayangnya aku tak pernah mati. Meskipun berpuluh-puluh selongsong peluru telah menghujam di dadaku.

..... dan rinduku masih semu.

Thursday, November 29, 2012

Mata dan kita

.... ,
Matamu yang kiri seakan mata kananku yang tertukar, begitu lama kita bertatapan. Kosong.

Kemudian semua menjadi samar, kita lamat kehilangan pandangan.

Seberapa sampai pesanmu yang bisu dan membisukan diri namun berpura-pura bersuara dan berusaha?

Berusaha adalah cara terakhir yang ku punya. Semata-mata untuk membuat kau seolah-olah ada. Setidaknya aku tidak lagi bercakap dengan dinding. Aku kini punya bayangmu. Dalam tatapan mataku.

Kini telah berkuntum-kuntum bunga mekar: wanginya itulah buah ciuman kita yang tak pernah usai. Di dasar kesadaran, aku ingin mendaras saripati kesabaran dalam merindukanmu. Saat ku bilang akan menemanimu berlari, barangkali akulah yang sesungguhnya memintamu menemaniku berlari. Aku ingin menikmati kepedihan ini, dengan cara yang paling rahasia, yang airmatapun tak akan pernah bisa merasakan kesakitannya.

Rahasia seharusnya tetap menjadi rahasia dan mengekalah rasa. Biar ku tulis di kanvas milikmu, namaku. Atau inisial kita. Supaya waktu tak pernah merebut hak kepemilikannya. 
Waktu jahat.

Ambil saja nafas ini dariku, jika kamu memohon, ambil juga udara ini, tapi, jangan ambil dariku tawamu.

Ia suka membiarkan banyak senyum berlalu terlalu cepat. Dan membiarkan sakit jadi terlalu lambat.

Kertas putih ini ingin ku lukis dengan namamu. Setiap kali kau ada di sisiku, hanya satu yang ingin kurasakan, yaitu, tak ingin kau pergi (lagi). Saat kau terbaring lemah aku kuat menyandar. Tapi tak akan ada yang bisa mengerti kalau kamu terlalu jauh dariku. I have to know that you know me, not just a hope. Matamu membuat aku selalu tertunduk karena selalu mengatakan aku sayang kamu.

Luluhlantahlah semesta. Jatuh cinta bisa membuat pujangga kehilangan kalimatnya. Rupanya, cinta sedalam itu.

(with @madavanya)

Senyum Pelangi

.... , Ada lengkung yang bisa meluruskan banyak hal; Senyum - Bahkan saat hujan deras pun, pelangi hadir di wajahmu melalui senyuman.

(with @arhamrsalan)

Tampar

.... ,
Ditampar kamu;
Berbekas;
Sakit.

Ditampar kenyataan;
Tak berbekas;
Sakit.

Lebih baik mana?

Seperti Kamu

.... ,
Seperti kamu saat begitu ingin tahu tentang aku.
Akupun begitu ingin tahu tentang dia saat ini, menghalalkan segala cara.

Seperti kamu saat begitu rapat menutup perasaan kepadaku.
Akupun begitu rapat menutup perasaanku kepadanya, hanya agar dia tetap dijangkau ku.

Sepertiaku saat begitu kelu melihatmu menatap sepasang mata diseberang sana,
Akupun berarap kau begitu saat kau melihatku menatapnya.

Seperti aku saat begitu risau menahan rindu kepadamu,
Akupun berharap kau begitu saat menahan rindumu kepadaku.

Seperti kamu yang selalu ku cintai diam-diam,
seperti aku yang selalu kau peluk diam-diam.

Mengapa harus seperti kamu?

Mengapa harus seperti aku?

Mengapa tidak seperti kita?

Seperti kita saat membohongi perasaan masing-masing, bahwasanya cinta bersemi disana.

Selamat datang kembali, hidup!

.... ,
Selamat datang kembali, hidup!
Beberapa bulan tak pulang, aku merasa mati.
Sesak menyergap, mengepungku dalam keputusasaan.

Selamat datang kembali, hidup!
Membawa oleh-oleh seberkas harap dan sekantung rasa;
masih baru dan segar.
Terima kasih.

Selamat datang kembali, hidup!
Kini aku bernafas lagi.

Kamu (Lagi)

.... , 
Merindukanmu selalu lebih kejam dari sepi.
Sebab dalam sepi pun, aku tetap merindukanmu.

Pelan-pelan

.... ,
Aku berjalan pelan, takut kau ketinggalan.
Selesaikan urusanmu segera, kemudian berlarilah mengejarku.
Selama itu, aku akan berjalan pelan, sambil sesekali menengok ke belakang.

"Apa dia sudah tampak?" tanyaku pada diriku sendiri.
Seringkali menggeleng sendiri.

Aku tetap berjalan pelan, takut kau ketinggalan.

Aku masih berjalan pelan,
.
.
.
Berharap kau menyusulku dari belakang.

Monday, November 05, 2012

Aku (pernah) Tidak Cukup Baik-baik Saja

.... ,
Aku benci untuk tahu bahwa aku tidak cukup baik-baik saja setelah kepergianmu.

Mencoba mencintai orang lain selain kamu ternyata tidak lantas membuat aku bisa terlihat baik-baik saja.
Aku tidak cukup baik-baik saja untuk berpura-pura bahwasanya aku pernah punya rasa sebesar cinta untuk sebuah dua buah hati yang pada akhirnya hanya ku buat terluka.

Aku pernah mencoba menunggu masa lalu. Namun rasanya sama seperti merasaimu, antara ada dan tiada.
Aku tidak cukup baik-baik saja untuk ketidakpastian yang sepasti itu.

Bahkan ketika aku benar telah terpanah malaikat cinta tepat di ulu hati, lagi-lagi aku tidak cukup baik-baik saja. Aku mencintai orang yang salah diwaktu yang salah. Waktu dan kamu seperti berkonspirasi untuk membiarkan aku tenggelam hanya dalam bayangmu saja.

Kemudian mengetahui bahwa kau telah berhasil melangkah dan memulai sesuatu yang baru bersama kekasihmu, aku tidak cukup baik-baik saja.

Tapi kau harus tahu, tidak cukup baik-baik saja tidak berarti tidak baik. Aku hanya masih tak terbiasa harus hidup tanpa kebiasaan bersamamu.

Tidak pernah cukup. Aku tidak pernah cukup baik-baik saja, dan aku pernah tidak cukup baik-baik saja.

Jadilah

.... ,
Jadilah matahariku, yang hanya kepadamulah aku akan mencuri cahaya untuk menerangi setiap hitamku.

Jadilah matahariku, yang hanya kepadamulah aku berputar. Berotasi dan berpusat padamu. Selalu. Seperti bumi mengelilingi tata surya dengan matahari sebagai porosnya, sesetia itulah aku akan menjadikanmu poros dalam hidup.

Jadilah matahariku, yang hanya kepadamulah aku meminta hangat saat dingin menyapa dan angin berhembus terlalu kencang.

Jadilah matahariku, yang hanya kepadamulah aku tersenyum. Karena aku tahu saat hujan badai dan langit gelap, kau selalu ada dibaliknya dan siap merengkuh resahku.

Jadilah matahariku, yang hanya kepadamulah aku rela terbakar karena cemburu yang menggebu. Tak rela kau termiliki semesta selain aku.

Jadilah matahariku, dan biarkan aku jadi segalamu.

Sunday, November 04, 2012

Bisakah Kita Berhenti Saling Menyakiti?

.... ,
Kau bersenjata, akupun juga.
Amunisimu lengkap, akupun demikian.

Kau menodongkan bedil tepat dikepala.
Aku tersenyum. Aku tahu kau tidak main-main.
Ditanganku ada belati.
Aku bisa menusukmu kapan saja dengan jarak sedekat ini.

Tapi aku hanya tersenyum.

Kau menarik pelatuk, melepaskannya di kepala, kemudian jantung.
Mematikan tak hanya logika, tapi juga denyut rasa yang mengaliriku.
Seketika berhenti begitu saja.

Aku mati.

Aku kalah telak.

Aku mempersenjatai diri, tapi tak ku gunakan sama sekali.
Sungguh duel yang percuma.

Karena kamu,
.
.
.
Bahkan setelah semuanya telah berakhir, aku masih menjaga perasaanmu.

Sesayang itulah aku padamu.

Demikian Aku

.... ,
Dalam setiap kebahagiaanmu, aku turut berbahagia.

Kau akan selalu terucap dalam doa, menjadi mimpi dalam tidur, dan inspirasi untukku.

Aku tidak akan menjauh atau mendekat, aku akan berjarak tapi tak pernah meninggalkan.
Aku akan selalu ada.

Seperti kau bilang, kau selalu peduli.
Demikian aku.

Seperti kau bilang, hatimu tak bisa berbohong.
Demikian perasaanku.

Aku tidak akan mencari lagi. Dan mungkin aku juga akan berhenti menunggu.

Aku tidak akan memintamu memilih apapun, kecuali kebahagiaanmu sendiri.

Seperti inilah caraku mencintaimu, dengan diam.

Aku tidak menyerah untuk apapun, karena aku tahu tidak ada yang bisa diperjuangkan untuk diraih.

Aku mencintaimu, akan selalu seperti itu.

Suatu waktu ingin berbagi bersamamu, ingin dijaga olehmu, dipeluk hangat tubuhmu, aromamu yang masih begitu lekat di inderaku.

Tapi aku tahu, aku terlalu mencintaimu untuk bisa memaksamu.

Seperti yang kau bilang, sayang itu tidak memaksa.
Demikian aku.

Menikmati Sepi

.... ,
Secangkir kenangan dan remah hati,
menemaniku diteras dengan hamparan masa depan.
Menikmati sepi..

Ku baca lagi catatan usang perjalanan rasa,
yang masih saja tertahan dibenang pembatas merah muda.
Namamu masih tercantum disana.
Kubiarkan tintanya memudar, kertasnya melusuh.
Meski ku tahu, maknanya selalu tetap utuh.

Sekali lagi, sore ini, masih ku lewati sendiri.
Menyeruput secangkir kenangan melalui kata,
dan setoples remah hati sebagai camilannya.
Menikmati sepi..

Tanpa kamu.
Ku nikmati sepi.

November

.... , welcome November. I'm done with October. Sepanjang bulan Oktober lalu, beragam rantai-rantai patah mulai tersambung dan menunjukkan sesuatu. Ada satu hal menarik yang cukup menyita perhatian, yaitu "Ketika satu kebenaran terpancing keluar, kebenaran lain mengekor dibelakang." Yang menjadi lucu karena semua orang terdekat berlomba-lomba memberitakan kebenaran. Hei, kemana saja selama ini? Menyembunyikan kebenaran karena takut? dan setelah ada yang berani mendobraknya, baru ngekor-ngekor kek buntut. Satu hal ini cukup membuktikan bahwa gak semua orang berani memulai dan gak semua orang berani untuk jujur. Seneng banget jadi followers. Kenapa gak coba jadi trade centre kalau memang mampu? Gimana mungkin lo bisa jatuh cinta sama orang yang bahkan gak yakin siapa dirinya? Pertanyaan berikutnya, "Udah jujur sama diri sendiri?" :)

Sepanjang bulan lalu banyak 'shit happens' yang akhirnya malah bikin gue totally move on. Not at all, but now I have enough reason to move. Thanks a lot buat pelajaran berharganya.

Thanks a lot for my heart traveler. I love the way you are. Gue gak akan bisa memaknai bagaimana hati seharusnya bekerja kalo gak 'ditampar' dulu. Thanks for my lovely inspire man, the most and only. Gue gak bisa memaknai arti kata "Kenapa harus gak rela" tanpa kebijaksanaan lo yang kadang suka berpura-pura dan bikin kata menyerah jadi mudah sekali terucap. Thanks for my past, wejangan-wejangan lo masih menemani hidup gue, berbahagia ya! Thanks for Ruki, untuk cintanya yang gak pernah habis dan apresiasinya yang luar biasa untuk semua karya gue yang bahkan belum jadi apa-apa. And big thanks for you, Dad. Karena gak pernah benar-benar meninggalkan anak manis kesayangannya ini digoda laki-laki blangsat.

Terima kasih untuk semua yang pernah hadir dan mengisi, walau hanya sekedar minum teh bareng atau ngopi-ngopi cantik.

November, I'm ready to move on. :)

Malaikat Patah Hati

.... ,
Alkisah, malaikat jatuh cinta pada salah satu mahluk ciptaan-Nya.
Ia mengagumi setiap sudut lekuknya, paras dan elok sempurna mahluk yang diberi nama Adam itu.
Gurat wajahnya begitu disukainya.
"Lengkung senyumannya mengalahkan pelangi sehabis hujan. Ia seperti embun yang selalu dirindukan pagi," katanya.
Lubang dikedua pipinya seperti palung di bumi, membuatnya rela tenggelam disana. 
Sorot matanya penuh kepercayaan diri, tajam sekaligus menenangkan. Ia suka menatapnya dalam-dalam, menemukan surga dalam definisinya disana.

Mahluk itu tidak bersayap seperti dirinya, tapi mampu membawanya terbang tinggi.
Mahluk itu tidak abadi seperti dirinya, tapi mampu menghadirkan perasaan selamanya.

"Aku rela menukar keabadianku untuk bisa bersamanya," Ujar malaikat kepada-Nya, sambil menunjuk kearah Adam.
.
.
.
Tuhan murka.

Seketika ia mematahkan sepasang sayap malaikat kesayangan-Nya, hingga terhempas ke bumi; kemudian mematahkan pula hati malaikat-Nya itu jadi dua: 
Ia menciptakan Hawa.

Air mengalir dari ujung mata si malaikat. Ia tidak lagi abadi. 
Dan kini ia percaya, tidak ada sesuatu yang selamanya.

Wednesday, September 26, 2012

Hilang

.... ,

Kata orang, cinta itu buta. Bagiku, cinta tak pernah buta. Ia hanya memalingkan wajah untuk melihat kenyataan yang kadang tidak berjalan sesuai kehendaknya.
Apa ukuran untuk menghitung cinta? Satuan? Kilometer? Netto? Gram? Celcius? Semua manusia yang pernah ku kenal mengajariku berhitung kadar cinta mereka. Materi, kesenangan, kebahagiaan? Tapi tak ada yang benar-benar puas. Cinta menjelma menjadi serupa pundi-pundi ketika kau mulai menghitungnya. Dan semua pengorbanan mendadak terasa mahal ketika kau telah kehilangan.
 Jika cinta benar bisa diukur, mungkin saja aku bisa menagih cinta yang pernah ku berikan padamu untuk membayar semua sesalku atas kebodohan kita.
*
Ruang berukuran 6x7m ini mulai terasa sesak untuk ku. Aku dapat mendengarkan bunyi degup jantungku sendiri. Hanya ada sebuah ranjang kecil berseprai putih dan sofa kulit warna merah, tempatku duduk saat ini. Perutku mual, aku terlalu gugup. Tidak. Aku sangat gugup sekali. Rasanya lebih menegangkan dari menonton film horor Jepang atau menunggu giliran sidang akhir. Seandainya ada pilihan lain yang dapat ku lakukan selain menunggu disini, mungkin aku akan memanfaatkan pilihan itu.
Tetapi aku tahu, meskipun selalu ada pilihan; aku tak pernah berani memilihnya.
*
Aku telah melihatmu. Kita telah menghabiskan 14 minggu lebih bersama. Berbagi kesukaanmu, dan ketidaksukaanmu. Kau tidak suka aroma bumbu kacang. Kau tidak suka aroma jamu, seperti aku juga tidak menyukainya. Kau suka dipeluk. Aku sangat suka menyentuhmu. Kau manis, sayang. Aku telah mencintaimu bahkan sebelum kita sempat bertemu.
Dan kadang, cinta membuat kita menjadi terlalu bodoh dan naif.
*
Aku memeluk selimut untuk menutupi tubuhku ketika kau sibuk berpakaian. Kemudian kau terdiam menghadap kalender dinding dan menoleh kearahku, “Ve, kamu belum haid ya bulan ini?”
“Iya sih. Mungkin terlambat kali, Dith.” Aku tak begitu mengindahkannya, aku meraih bantal dan memilih untuk tidur.
*
Ada yang mulai terasa ganjil dari tubuhku. Nafsu makanku menurun drastis, berat badanku pun menurun. Aku juga mudah lelah. Hampir setiap hari aku muntah-muntah tanpa alasan. Rasanya seperti masuk angin yang tak kunjung sembuh. Mulanya aku berpikir maagku kambuh dan memarah, karena hampir semua jenis makanan tak dapat ku telan. Aku jadi tak suka terik matahari dan aroma-aroma menyengat. Emosiku pun menjadi tak stabil, sering tiba-tiba mellow dan marah-marah karena hal kecil.
“Dith, jauhkan bumbu kacang itu dari hadapanku. Aku mual mencium aromanya.” Aku menunjuk kearah piring berisi bumbu kacang sisa cemilan tempe mendoanku tadi pagi.
“Sejak kapan kamu jadi terlalu peka dengan bau-bauan?” Radith lantas menyingkirkan piring itu dari atas meja.
“Entah. Yang pasti aku ‘gak suka aromanya.” Aku memicingkan alisku kearahnya, menunjukkan wajah tak suka.
“Ternyata benar kamu hamil.” Ia menghela nafas panjang.
“Dith, jangan menakuti aku! Aku pernah terlambat haid sampai 3 bulan.” Aku mencoba menyingkirkan ketakutanku sendiri dengan membela diri.
“Berdoa saja aku salah.”
*
Test pack itu bergaris dua. Lahar panas mulai terasa diujung mataku, “Hasilnya positif, Dith.”
“Aku sudah menduganya. Bukankah dari awal sudah ku katakan padamu?” jawabnya tenang, tanpa merasa khawatir sama sekali.
“…” aku mendongak, menarik nafas dalam-dalam, berusaha menahan tangis yang akan pecah.
“Jangan menangis. Dia belum waktunya ada, Ve.” Ia meraih tubuhku kearahnya. Hangat. Kemudian tumpahlah semua airmata yang tertahan.
“Karena itulah aku menangis. Karena aku tau, aku harus merelakannya pergi.” Ujarku terisak. Tidak kah kau menginginkan anakmu, Dith? Batinku. Aku mempererat pelukanku.
*
Setelah test pack menunjukkan hasil positif, kami mulai sibuk mencari cara untuk menggugurkanmu. Dari mulai makan nanas muda, meminum jamu pelancar haid yang konon katanya bisa digunakan untuk menggugurkan kandungan, minum minuman beralkohol untuk merusak kandungan, mengkonsumsi pil KB, melakukan olahraga berat, beraktifitas dengan menggunakan heels sehari-harinya, hingga mengkonsumsi beberapa jenis obat yang biasa digunakan untuk menggugurkan kandungan dari dalam.
Obat itu sejenis tablet, terdiri dari 2 warna dan 2 fungsi dengan ukuran yang tidak sama. Yang satu berbentuk bulat dan satunya sedikit lebih lonjong. Salah satu obat itu harus dimasukkan kedalam vagina setiap harinya, selama 3 hari berturut-turut, sementara yang satunya diminum sehari 3x setelah makan.
Aku selalu menahan tangis setiap kali aku meminum jamu-jamuan dan obat. Berulang kali meminta maaf kepadamu. Tak jarang protesmu muncul tiap kali aku berusaha membunuhmu dari dalam. Kau memaksaku memuntahkan kembali apapun yang masuk kedalam mulutku.
Dan kau adalah anak yang kuat. Ketakutanmu menjadi kekuatanmu. Segala cara telah ku tempuh untuk meniadakanmu, namun kau semakin erat memelukku.  “jangan bunuh aku, ma.” bisikmu menggema dalam hatiku.
Kami berdua telah menjelma menjadi dua orang bodoh yang hendak lari dari tanggung jawab.
*
Sesekali waktu, kami seperti begitu mengingkanmu. Aku membelaimu dengan hangat, merasakan detakmu yang mulai ada dan pergeseran kecilmu yang mengejutkan. Begitupun Radith. Aku tahu bagaimana perasaannya ketika membelaimu dan merasakan kehadiranmu di rahimku. Ia mencium perutku lama, tempatmu bernaung. Seolah meminta ijin untuk melepaskanmu.
*
“Ve, aku tahu tempat untuk menggurkannya.”
Mendadak detak jantungku seolah berhenti.
“Jangan cemas, ini sebuah klinik. Temanku pernah melakukannya juga disana.”
“Berapa biayanya?”
“Jangan khawatirkan itu, aku akan mengusahakannya.”
*
Tibalah aku diruangan ini. Ruangan berukuran 6x7m ini. Ruangan dengan sebuah ranjang berseprai putih dan sofa kulit merah. Ruangan ini punya 3 pintu. Pintu tempatku masuk, pintu menuju keluar dan pintu kearah ruangan lain. Kami berdua diam. Tak sepatah pun keluar dariku maupun Radith.
Salah satu pintu itu terbuka, seorang perempuan berkerudung paruh baya muncul dari baliknya. Ia tersenyum kearahku dan memanggilku mengikutinya.
“Kemari. Berbaringlah disini.” Ia menunjuk kearah ranjang diruangan lainnya dengan mesin berlayar didepannya. Ada dua orang perempuan lain disana menyiapkan peralatan, entah apa. Aku menuruti dan Radith berdiri disampingku. Aku menggenggam tangannya erat, meski tanpa sepatah kata.
Perempuan itu mengangkat kaosku dan mengoleskan perutku dengan cairan serupa gel yang dingin. Sementara seorang rekannya menghadapkan layar itu kepadaku dan Radith, dan yang lain menyelimuti bagian kakiku dengan selimut kecil. Perempuan itu  menggerak-gerakkan alat serupa rol deodorant di perutku dengan sedikit menekan.
“Lihat. Ini lho janinnya. Sudah besar ya.”
Aku memandangi layar dengan tatapan pilu. Aku dapat melihat mahluk kecil berdetak disana, dengan wujudnya yang telah utuh.
“Ini sudah terbentuk semua anggota tubuh dan jaringan syarafnya. Sudah bernyawa. Lihat, ini tangannya, jari-jarinya. Ini kepalanya.”
Lagi-lagi aku hanya bisa diam dan mengutuki diriku sendiri dalam hati.
“Ini usianya kurang lebih sudah 14 minggu, pak, bu. Sulit untuk dikeluarkan dengan cara biasa. ini harus dioperasi.”
“Maksudnya, dok?” Radith mulai angkat bicara.
“Ya, ini harus divaccum. Divaccum itu artinya disedot keluar. Karena sudah berbentuk manusia utuh, jalan satu-satunya mengeluarkannya dengan membunuhnya dulu di dalam, baru kemudian disedot keluar. Kalau dikuret, nanti akan membahayakan nyawa ibunya juga. Beresiko.”
Aku mempererat genggamanku.
“Itu bagaimana prosesnya, dok?” lanjut Radith.
“Nanti, si ibu akan dimasukkan obat dengan alat. Kemudian, kita akan menunggu reaksi obat itu selama 1-2 jam. Baru setelah itu akan dioperasi vaccum.”
Aku tersenyum getir. Radith terdiam.
“Negosiasi biayanya diluar saja ya, pak.” Perempuan itu kemudian menutup kaosku dan mematikan layar sambil beranjak keluar.
*
“Nah, kamu pipis dulu ya. Setelah itu masuk lagi kemari.”
*
Aku kembali ke ruangan berukuran 6x7m ini. Kali ini sendirian. Berharap-harap cemas sendiri.
*
Perempuan itu kembali masuk dan menyuruhku melepaskan celana panjang dan dalamanku, kemudian mengajakku untuk naik ke ranjang. Ia menaikkan kedua pangkal kakiku hingga aku mengangkang lebar. Ia dan dua rekannya menyiapkan peralatan serupa tang dengan ujung tumpul yang panjang dan besar. Diujungnya diletakkan dua tablet obat yang masing-masing telah dipatahkan menjadi dua.
“Tahan ya. Sebentar saja kog. Rileks, jangan tegang. Semakin kamu tegang, semakin sulit saya memasukkan obat-obatan ini dan kamu akan semakin sakit.”
Rasanya sakit dan dingin, seperti ada sesuatu yang menusuk dan mengoyak-oyak. Aku berteriak. Tidak bisa tidak tegang. Tidak bisa tidak merasa takut. Tidak bisa tidak merasa bersalah.
*
Setelah setengah jam berperang dengan rasa sakit itu, ia membawaku ke sebuah ruangan lain yang juga hanya berisi sebuah ranjang dan kursi. Ada sebuah cermin menghadap kearah ranjang dan jendela besar tepat dibelakang ranjang. Aku berbaring, tak lama Radith muncul. Wajahnya pucat, meski aku tahu wajahku pasti lebih pucat darinya.
Aku meraih tangannya dan mulai menangis.
“Sakiiit…”
Ia menatapku nanar, mencoba menguatkan. “Sabar sebentar ya, Ve. Setelahnya pasti akan baik-baik saja.”
“Tadi aku dimasukin obat, ‘gaktau obat apa. Kaya ditusuk rasanya, Dith.”
“Iya, udah ya jangan nangis. Nanti makin sakit kalo nangis.”
Aku terisak mencoba meredakan tangisku, sekaligus menahan sakit yang semakin menjadi.
*
Setengah jam, satu, satu setengah jam berlalu. Aku ingin keluar, aku ingin muntah. Perutku terasa sangat mual. Belum sampai di depan pintu, aku terjatuh, muntah disana. hanya air, tidak ada apa-apa lagi yang ku muntahkan. Radith segera mengangkat dan menggendongku kembali ke atas ranjang.
*
“Ayo bu, sudah dua jam.”
Dengan langkah gontai aku mengikutinya, Radith mengantarku sampai di depan pintu ruangan. Lagi-lagi ruangan berukuran 6x7m ini. Di sofa telah duduk seorang lelaki berusia sekitar 40an. Ia tersenyum ramah kearahku, menyuruhku melepaskan celana dan berbaring di ranjang.
Kemudian perempuan berkerudung itu kembali dengan dua rekannya tadi, lengkap dengan peralatan-peralatan. Aku dapat melihat mesin USG dan selang berukuran agak lebar. Aku meletakkan kedua kakiku mengangkang dan ia duduk persis menghadap selangkanganku. Salah seorang perempuan menyiapkan suntikan, berdebat singkat dengan si lelaki dan kemudian mengganti cairan yang akan diisi kedalam suntikan. Seorang lainnya memasangkan selang oksigen kepadaku, sementara satu cairan bius telah bersarang di pangkal pahaku.
“Rileks, atur nafasnya ya.” ujar perempuan berkerudung itu tersenyum.
Beberapa menit berlalu, aku masih bisa merasakan ada sesuatu yang sedang dipasang diantara selangkanganku. Kemudian ada deru suara mesin. Aku merasa ada sesuatu dipaksa keluar dari perutku.
*
Maaf. Aku tahu kata itu tidak pernah akan cukup untukmu. Batinku.
*
Tidak ada perih. Tidak ada luka. Perempuan berkerudung itu kembali mengoleskan cairan dingin itu dan menggerak-gerakkan benda serupa rol deodorant diperutku. Kosong. Layar tidak lagi menunjukkan wujudmu. Kamu benar-benar telah keluar dari rahimku. Ada lega dengan sesal yang teramat berdenyut-denyut dalam hati.
Si lelaki berpamitan dan bergegas keluar, sementara si perempuan memaksaku duduk dan membantuku memakai celana. Ia menyelipkan sebuah pembalut pada celana dalamku.
“Tinggal sisa-sisa aja darahnya, paling sekitar sehari dua hari. Persis kaya haid. Nanti ada resep dan obat yang harus diminum ya.”
*
Sekarang, tinggal nyeri yang terasa dan trauma yang tersisa. Sisa bius kemarin membuat pangkal pahaku mati rasa, aku sulit untuk berjalan; bahkan untuk berdiri saja perlu dibantu.
Semua orang pernah patah hati karena ditinggal kekasihnya, tetapi tak semuanya benar-benar patah. Mungkin seperti inilah rasanya benar-benar patah dan hancur berkeping-keping. Rasanya seperti ada sesuatu yang telah diambil dan dicuri dariku, sehingga aku merasa sangat kehilangan. Sesuatu yang telah menyatu denganku, yang didalam tubuhnya telah mengalir darahku. Sesuatu yang denyut dan nafasnya seirama denganku.
Aku tidak hanya patah hati, seluruh tubuhku pun telah ikut patah.
Aku membelai perutku tempat tinggalmu dulu. Mengingat kebersamaan kita. Mengingat kebodohanku. Mengingat sesal yang terus menerus menghantui. Aborsi tidak hanya menguras kantong, tetapi juga ikut menguras hatiku didalamnya.
Kadang ada pikiran kenapa tidak sejak awal saja, sebelum kamu telah bernyawa. Mungkin rasanya tidak akan sesakit saat ini. Kadang terlintas, kenapa harus sampai kebablasan dan lupa diri. Kadang pula aku berpikir, kenapa aku tidak melahirkanmu saja? Aku terlalu takut untuk menghadapi kenyataan nanti, masa depan dan nama baik, sehingga aku lupa, kau juga berhak punya masa depan.
*
Dan penyesalan memang selalu muncul belakangan.
Kata orang cinta itu buta. Menurutku ia tidak buta, ia hanya suka bertindak bodoh.

Tuesday, September 18, 2012

Abstraksi

.... ,
Judul tulisan ini Rindu.

Penulisnya aku.

Disusun sebagai hasil konspirasi jarak dan waktu.

Pemicunya kamu.

Tujuannya supaya kita bisa bertemu, saling mengobati rindu.

Abstrak

.... ,
Abstrak itu tak terdefinisi, karenanya disebut abstrak.
Tak berbentuk, tapi seluruh tubuh bereaksi penuh.

Seolah ada senyawa yang menyentuh.

Patah hati sepertinya serupa saat jatuh hati.
Jatuh,
dan Patah,
Sama-sama terasa ngilu.

Terutama disaat tak ada labuhan empuk tempat kita jatuh.

Seperti hujan,
ia tak bisa memilih jatuh kepada apa dan siapa,
Yang dia tahu,
Bumilah tempat terakhirnya jatuh.

Kemudian menyesap.
Untuk kembali terangkat ke awan dan jatuh, sebagai hujan.

Berulang-ulang.

Ia selalu mencintai bumi, kurasa.

- siklus cinta hujan kepada bumi yang dibawa awan mendung.
Matahari jadi perantara cintanya,
yang terlalu RUMIT.

Otak vs Hati

.... ,

Sebut saja aku rasa. Senyawa aktif yang hidup ditiap mahluk, termasuk manusia. Sifatku kasat mata. Bahkan hampir tak memiliki rupa. Seperti oksigen yang terhirup keluar masuk peparu, aku suka melintas menggoda pikiran, kadang singgah sejenak untuk minum kopi bersama pikiran-pikiran busuk manusia, kemudian pergi begitu saja. Berkelana mencari celah dari gelisah. 
Hei, akulah pembawa resahmu!
Katanya aku bisa dimanipulasi, kenyataannya otaklah yang suka memanipulasi aku! Memperdaya aku dengan realitas yang tak sepihak denganku. Otak terlalu ego, takut kehilangan perannya.
Padahal, tidak semua hal harus dipikirkan kan?

Sebut saja aku otak. Organ terintim mahluk hidup, juga manusia. Aku menciptakan pikiran, mengendalikan gerak. Termasuk rasa. Ia adalah penghianat kecil yang tak pernah mengakui aku sebagai penciptanya. Selalu berusaha unjuk gigi, mengambil alih peranku.
Katanya aku memanipulasi rasa, kenyataannya rasa lah yang membiarkan dirinya terjebak dalam realitas yang tak seharusnya. Rasa sangat ego, ingin selalu ada didepan dan dipentingkan.
Padahal, banyak hal yang lebih penting daripada rasa kan?

Aku manusia. Katanya aku dilengkapi akal dan budi, pikiran dan rasa. Aku selalu lemah terhadap rasa, tapi aku suka! 
Sama halnya ketika aku berpikir bagaimana harus merasakan.

Rindu, nya

.... ,

Rindu. Dimana aku harus meletakkanmu? Hati yang ku tuju terlalu sibuk, hingga lupa mengunjungimu.

Rindu. Aku kehabisan ruang. Kau meluap membanjiri setiap senti hati. Berkali-kali ku kuras, tetap saja tak tertampung. Hati yang ku tuju tak juga sampai, aku takut aku lelah menunggu.

Rindu.

Tuesday, September 11, 2012

Cermin dua arah

.... ,
Perbincangan sepasang cermin dua arah.

"Riak suara serak, erat memikat, pekat mengikat. Jiwa tak berhak berontak."

"Jiwa selalu berhak memberontak, terutama ketika jasad tak kuasa lagi menampung rindu yang menggeraung."

"Maka bangunkan aku peradaban yang seperti jiwaku."

"Apa dunia kita tidak cukup luas untuk kau jelajahi, pelaut? Bangunlah peradabanmu diantaranya. Di batas khatulistiwa hati bersemayam."

"Jiwaku hanyalah tugu kesenyapan abadi. Mencoba masuk dalam celah, namun runtuh dan hancur tertimpa geludhuk. Hilang, tuntas."

"Sejak kapan geludhuk pakai h, dear? Sejak sesuatu terlanjur mengkristal dan kau berusaha mengikisnya?"

"Hahaha... Tidak akan ada yang mengikis dan terkikis. Biarkan seperti itu, sampai pada akhirnya nanti akan ku rengkuh dalam dongeng yang kisahnya tak akan pernah habis, sampai tergilas kaki sang waktu yang sombong. Kita hilang."

"Hilang bukan berarti benar-benar hilang. Kenyataannya, kita hanya berpindah dimensi kepada yang semakin fana. Kita akan selalu bergandengan, tak pernah masuk dan keluar."

"Lalu kau teriakkan rindumu yang mengalun ramah pada setiap celah. Sadarkan kita, tidak lagi terjerat mimpi yang indah. Dan retakkan sinis dunia."

"Celah adalah retak kecil yang selalu menggoda. Seringkali membuatku lupa bahwa aku sudah setengah bolong. Pijakan kita tak pernah sama. Tapi selalu beriringan. Bukankah itu hebat?"

"Memang hebat. Lepaskan saruh, dan segera berlayar. Antar aku pada cakrawala itu."

"Cakrawala kita terletak dibatas tatap saat bertemu pandang. Bukankah kau sudah berkali-kali berlayar kesana dan tenggelam didalamnya?"

"Hahaha... Aku menyelam, melanglang buanak hiruk pikuk didalamnya. Menjelajahi setiap inchi didalamnya. Ku modifikasi dengan seuntai bait dan secawan tawa. Dan pada setiap akselerasimu, ada peranku didalamnya. Renovasi semua komponenmu agar kompresimu lebih padat, dengan merk "aku"."

"Gila... Katakan bagaimana aku harus tak jatuh hati? Hahaha."

"Begitupun aku. Hei... Bukankah pantulan cermin "mu" adalah "aku"?"

"Cermin adalah sekat bayang yang memisahkan kita jadi dua."

"Yaudah, kalau begitu 'gak usah pakai cermin deh. Framenya aja yang dipakai. Ahahaha..."

"Frame menjadi pembatas paling nyata, rupaya. Siapa yang akan menelusup masuk kepada siapa?"

"Wehe... Frame jadi pembatas ya. Itu sanggahan atau penjabaran? Lalu dunia ini menjadi frame untuk kita, "kamu" dan "aku". Kita sudah sama-sama saling menelusup, mengalir dengan eksotis, lebih cepat tanpa perlu bantuan nitro oksida. Atmosphere kita berubah. Tidak lagi haru, biru, kaku dan kelu."

"Tuhan, benarkah mahluk ini ciptaan-Mu? Jika demikian adanya, biarkan aku melebur bersamanya. Hanyut dalam tiap untaian kata dan sentuhannya. Berkali-kali mati dan hidup  kembali untuknya. Terbakar dalam tiap ego dan pesonanya. Kemudian membeku, di dalam hatinya. Jadi udara yang berputar disekelilingnya, jadi senyawa yang selalu melindunginya."

 "Haruskah aku terbakar karena setruman listrik dari Gardu, jika voltase mu mampu membuat hatiku gosong, hanya dengan sentuhan?"

"Kami dua element yang saling mematikan. Jika kau bisa tersengat oleh voltaseku, maka akupun telah kau tenggelamkan melalui pandangan mu, menyetubuhi pori-poriku dan jauh masuk ke dasar. Aku terjangkit dalam aura dan nuansamu."

"Tuhan, Kau pun menciptakan mahakarya-Mu dan menjadi salah satu element penting dari bagianku. Maka jangan Kau tentang jika aku ingin dengannya. Tuhan, jika Kau memberikan karma kepadaku, maka ijinkan aku merasakan hal yang terindah itu bersamanya. Tuhan, demikian aku bersyukur kepada-Mu."

"Apa kau masih ingin penawarnya?"

"Penawarnya, terlalu mahalkah, atau terlalu kroniskah sampai harus diberikan penawar? Penawarnya, Kamu!"

"Menurutmu, apakah kau tidak sedang dalam keadaan sekarat? Atau kau menikmati tiap injeksi aku ke dalam mu? Mengalir bersama darahmu, menjelajahi kubikel-kubikel tubuhmu; tiap milimeternya. Ku ciumi setitik demi setitik sudutmu. Menyatu dalam detak dan nafasmu. Menyabotase fungsi hati dan ginjalmu. Mematikanmu."

"Tuhan selalu terlalu maha. Setiap senyuman 3 detikku, dibalasnya dengan 3 tetes airmata."

"Tuhan selalu terlalu sempurna. Masing-masing dari 3 tetes airmata itu, ku tadahkan kedalam celah yang tandus."

"Aku sekarat. Seluruhnya mati fungsi. Bukankah itu yang kau inginkan? Agar tidak ada lagi yang mampu meretas code untuk menghidupkanku, mengaktifkan seluruh komponenku dan mengoperasikannya sesuai harapan mereka. Hanya kamu yang mampu meretas."

....

(with @rioandres)

Monday, September 10, 2012

Lebih dari favorit

.... , lihat. Begitu sulitnya berhenti menuliskan kamu. Kamu lebih dari favorit, sayang.

Namamu

.... ,
Namamu adalah rangkaian alphabet yang tak pernah lelah diucap bibirku, dan senantiasa dirindukan hatiku. Disebut dalam tiap igau dan doaku.

Namamu jugalah yang ku harapkan terpatri bersanding dengan namaku di satu lembaran awal kebahagiaanku, kelak. 
Dalam barisan kertas berhias tinta emas, juga kolom kartu keluarga.

Namamu yang terakhir akan ku tangisi. Diantara hamparan rangkai bunga tanda duka.

Untungnya, aku

.... ,
Untung hatiku tuli.
Ia tak peduli apa kata orang tentangmu.

Untung hatiku buta.
Ia tak peduli apa yang kau lakukan dibelakangku.

Untung hatiku tak bodoh.
Ia tetap memilih untuk hanya mencintaimu, bukan memilikimu.

Tunggu.. bukankah itu berarti hatiku cukup bodoh karena mencintaimu?
Entahlah.

Kalaupun iya, aku memilih untuk tidak pernah menjadi pintar.

Cinta serumit Kamu

.... ,
Cinta itu rumit, tuan.
Tak pernah cukup ditangkap logika.
Diukur dengan rumus matematika.
Bahkan oleh kata-kata.

Cinta itu rumit, nyonya.
Tak pernah terbatasi keyakinan.
Dihitung oleh jarak.
Bahkan oleh dinding usia.

Cinta itu rumit, kamu.
Kamu itu rumit, cinta.

Memahamimu tak cukup semalaman suntuk menjelang ujian;
tak bisa sistem kebut semalam.

Menemukanmu tak bisa hanya berputar-putar mengelilingi labirin;
yang mungkin tanpa jalan keluar.

Penuh ketidakpastian.

Kadang aku merasa kau tak ingin ditemukan.
Kadang aku merasa kau berlari menjauhi kebahagiaan.

Pasti yang tidak pasti.

Cinta itu rumit, kamu.
Tapi aku selalu ingin tenggelam didalamnya.

Menunggu - Kamu

.... , aku tidak mencari. Aku menunggu.

Dan aku,

.... ,
Dan aku terus berjalan. Meraba. Mengikuti jejakmu.

Yang entah,
telah meradang di pelupuk mataku.

Aku dan Bayang

.... , bayangmu. Terekam disetiap aku.

Aku lupa aku luka

.... ,
Aku lupa.
Orang yang ku cintai telah menikahkan hatinya dengan orang yang dicintainya.

Kini hanya mampu ku peluk dia dalam doa.

Sunday, September 09, 2012

Jarak dan Kita

.... ,
Sejauh-jauhnya jarak, ialah kita.

Kita tak pernah saling memiliki,
Namun selalu saling mencintai.

Bahkan dalam rindu pun, kita tetap menjadi jarak.

Disekat waktu pun, kita selalu terpisah jarak.

Kita dan jarak telah menjadi lekat.

Penghubung dan pemisah, sekaligus.

Dan aku,
telah terbiasa.

Pecah

.... ,
Berdamai dengan masa lalu. Berhenti bercermin.

Thursday, September 06, 2012

Blankout

.... ,
Kadang Tuhan terlalu kreatif menciptakan jalan akhir...

Bolehkah aku menyalahkan waktu?
Atau mungkin takdir saja.

Amplop dan Prangko

.... ,

Aku yang salah, atau kamu yang terlalu lekat?
Layaknya prangko di kertas amplop.
Sekalipun prangkonya bisa dicabut, stempel pengiriman tetap tercetak dikedua sisinya.

Saling mengingatkan bahwa keduanya pernah bersama.

Tidak Kali Ini

.... ,
Mungkin aku harus berhenti untuk berhenti.
Rest area disepanjang jalan tol pun tak bermaksud untuk selalu disinggahi, kan? Rest area dibangun untuk menampung lelah dan mengisi ulang.

Mungkin aku harus berhenti untuk berdiam.
Kaca spion di kendaraan tidak diciptakan untuk selalu ditengok kan? Kaca spion diciptakan untuk melihat sesekali dan berhati-hati, menjaga jarak dan maju teratur.

Mungkin saja.
Memang sudah sampai disini aku harus berhenti menunggu.
Halte Transjakarta tak mungkin diampiri Metromini, kan? Karena itu mungkin kita tak pernah bersinggungan.

Mungkin aku memang harus berhenti, dan mengejar waktu.
Yang tak pernah berhenti untuk menunggumu.

Rasa

.... ,
Rasa adalah virus pelumpuh.
Hanya dengan menyentuh, ia menyeluruh;
menyetubuhi setiap jengkal kamu.
Sampai puas,
Bahkan ketika kamu telah dijemput ajal,
Ia tak pernah selesai menghakimi bagian tubuhmu yang tak bisa membusuk.
Rasa.
Kemudian menjangkiti aku dengan bermetamorfosa menjadi kehilangan.

....

Wednesday, September 05, 2012

Diam

.... ,
Biasanya aku suka dimanja kesendirian, tapi sekarang tak pernah merasa sesepi ini.
Seolah tiada ruang.

Mendadak aku merasa sangat sendirian.

Saturday, September 01, 2012

September

.... , September ceria, katanya. Awal September ini dimulai dengan semangat membara; keinginan dan niat menggebu untuk mewujudkan keinginan. Bagi sebagian banyak orang. Sedikit mengutip judul lagu Greenday dengan "wake me up when September end"-nya, gue lebih suka melewati September dengan kekosongan.

Akhir bulan Agustus banyak hal terjadi, banyak kenangan seliweran mampir. Sekedar bertegur sapa atau minum jamuan masa lalu bersama. Nyaman memang, tapi rasanya gue lagi-lagi merasa kalo segala sesuatu harus berjalan. Seseorang menulis status, "Gue gak hidup kaya dulu lagi." Dan gue tersenyum miris mengetahui bahwa dia mampu bergerak maju disaat gue memilih berhenti dan membiarkan waktu meninggalkan gue jauh di belakang.

September ini, semoga segala realitas dapat benar-benar berpihak pada gue. Semua usaha dan doa gue gak sia-sia. Dan apa yang gue perjuangkan bisa menapak selangkah saja lebih jauh dari jejaknya semula. 

Sejauh-jauhnya harapan dan keinginan, tetap saja Maha Pencipta-lah yang menentukan. Dan sepertinya gue harus selalu siap ditantang untuk terus bertahan.

Welcome September. :)

Monday, August 27, 2012

Kesayangan

.... ,
Aku memanggilmu dengan nama kesayangan buatanku.
Supaya kau tau,

Aku menyayangimu.

Semoga kau tau.
Dan semoga disaat kau tau, segalanya belum jadi terlambat.

Pelukan

.... ,
Biarkan kedua tanganku merengkuh lingkar lehermu, sebagaimana kau melingkarkan kedua tanganmu di pinggangku: mempersempit jarak antara tubuhku dan tubuhmu.
Kemudian kita saling berpelukan.
.
.
Lama.
Erat.
Hangat.
Penuh dengan kerinduan, melampiaskan semua rasa yang tertahan tanpa saling berkata-kata.
.
.
Semua beku mencair.
Rasa tumpah.
Meruah.
Membanjiri setiap jejak yang pernah kita ukir.
.
.
Biarkan waktu berlalu, jangan menghitung tiap detiknya. Nikmati saja.
.
.
Kemudian biar kita saling merenggang, berjarak.
Jemarimu memenuhi ruang kosong jemariku. Jemari kita saling berpelukan. Saling menggenggam.
Jangan terlepas.
.
.
Jangan saling melepaskan.
.
.
Hingga waktu mempertemukan kita lagi melalui sebuah pelukan.

Friday, August 24, 2012

Tinggal

.... ,
Kalau bisa meminta, aku akan meminta kau untuk tetap tinggal.

Sayangnya, aku tak pernah tau apa aku bisa.
Dan apa kau mau.

Wednesday, August 15, 2012

Ruang-ruang

.... ,

Ruang hidup kita yang terlalu sempit, atau aku yang terlalu besar? 
Hingga setiap A yang kau eja mampu ku dengar. 
Setiap B, C, D yang ku bisikan sampai juga padamu.

Ruang gerak kita yang itu-itu melulu, atau kamu yang tak bisa beranjak? 
Hingga setiap E yang kau jabat, ku kenal. 
Setiap F, G, H yang ku benci, kau tau.

Mungkin saja bumi terlalu kecil untuk kita, 
hingga setiap kita melangkah selalu terbit jumpa. Atau mungkin bumi terlalu bulat, 
hingga tak ada sudut yang cukup untuk kita bersembunyi.

Tak ada ruang. Sekalipun hampa.

Kau ada dimana-mana. Aku ada dimana-mana.

Kita seperti kuman yang memenuhi udara. 
Saling berpelukan untuk menjatuhkan. Menjangkiti setiap insan menjadi dekat, kemudian terpisahkan.

Ruang lingkup kita yang terlalu nyata, 
atau aku yang tak bisa berhenti membayang? Hingga setiap tarikan nafasku masih ada dirimu. Setiap tatapanmu masih memantulkan aku.

Mungkin saja Tuhan terlalu naïf, hingga kita diletakkannya dalam lingkaran setan yang tak putus-putus. 
Hanya untuk saling mengingat.

Atau mungkin Tuhan belum menemukan akhir yang menarik untuk dituliskannya dalam skenario kehidupan kita, 
hingga beragam adegan diuji paksa; untuk menemukan kesesuaian. 
Hanya untuk mencari takdir.

Tak ada benang. Namun saling mengikat.

Layaknya magnet kutub U dan S, tarik menarik tanpa henti.
.
.
Namun tak juga saling memiliki.

Monday, August 13, 2012

Play

.... ,
Players don't play the games, they created it.


"So do I,"

Play with me, I'll create a game that you would like.

Saturday, August 11, 2012

Labil

.... ,
Labil itu, proses menjadi stabil.

Setiap insan perlu labil untuk menjadi stabil.

Labil itu, proses pendewasaan.

Transisi saat pola pikir dipaksa berubah oleh keadaan.

Labil itu, proses pembenaran.

Dimana kita tahu pasti, apa yang benar-benar benar adanya.
Dan salah sebenar-benarnya.

Labil itu, pasti.

Kau perlu labil. Untuk tetap stabil.

Karena sesuatu yang terlalu stabil, membosankan.

Tetapi jangan terlalu lama menjadi labil.

Nanti bisa-bisa lupa caranya stabil.

Labil-lah.

Dan stabil-lah.

Skype-ing

.... , Baru saja berbincang via skype dengan salah seorang sahabat yang sedang jauh. Mulanya bertukar kabar dan keadaan masing-masing. Lama kelamaan mulai mencakup masalah hidup dan personal. Mendadak dia tanya, "Apa target lo dalam hidup.?" Kemudian dengan polosnya gue menjawab, "Gue sedang membuat target gue semenjak gue kehilangan target awal tahun ini." Kemudian gue tersenyum sedikit miris dan dia tertawa. Dan gue jadi ikut tertawa. Menertawai kehidupan yang sedang gue jalankan sekarang tentunya.

Dia berkata, "Setiap orang hidup pasti punya masalah. Gue sedang mencari apa yang nyaman untuk gue." Demikian gue, membatin. "Ada kalanya kita memang terpuruk dan jatuh, tapi lo gak mungkin terus-terusan jatuh dan diam aja kan..? Realitas di depan lo gak pernah segampang lo pikir, dan gue mengingatkan lo." tambahnya. Mendadak ada bulir yang tertahan diujung mata, yang gue tutupi dengan tawa.

Kami banyak berbincang wara-wiri. Rasa rindu dengan acara kumpul-kumpul yang sudah hampir gak pernah terjadi, disertai percakapan-percakapan masa lalu yang turut mampir tadi. Masa-masa dimana kegilaan demi kegilaan berlalu. Dia rindu masa itu, demikian gue. Kemudian dia memberitakan kepulangannya sebentar lagi dan rencananya untuk stay dalam waktu sedikit lebih lama. Rasanya ingin waktu itu cepat datang, ingin segala kebersamaan bisa terulang lagi. Meskipun telah banyak yang berubah, telah banyak yang terjadi, tapi gue harap gue selalu siap untuk apapun kondisi yang akan terjadi nantinya. 

Gue rindu Bendi. :')

Rindu setiap momen demi momen kusut yang selalu berhasil membuat tawa pecah, sedih dan duka lenyap. Rindu orang-orang yang selalu ada dan tersenyum untuk gue disaat gue bahkan hampir lupa caranya tersenyum. Rindu berdebat tentang hidup dan hal-hal yang menyertainya. Rindu aroma kehangatan yang nyaris gak pernah gue rasakan lagi. Gue rindu wejangan-wejangan manis saat gue sedang sulit. Dan terima kasih yang teramat, pagi ini gue menemukannya kembali. Gue kembali menemukan langkah yang sempat hilang. Rasanya hangat, meskipun hanya percakapan sesaat.

Tuhan selalu luar biasa. 

Semoga nanti, ada waktu dimana satu momen kita bisa saling tertawa bersama lagi, ya. :)

Terlalu

.... ,
Terlalu lelah;
Tapi tak berhenti.

Terlalu lemah;
Tapi selalu berusaha menjadi kuat.

Terlalu malu;
Tapi sering tak tahu malu.

Terlalu naif;
Tapi berusaha biasa saja.

Terlalu cinta;
Tapi terlihat tak peduli.

Terlalu takut;
Tapi suka berpura-pura.

Terlalu.

Masih

.... ,
Andai setiap inci tubuhku bisa bicara, tentunya mereka akan mengeluhkan keberadaanmu.
Yang tak menentu.

Bibirku tak akan berhenti menyeru namamu, mengeja setiap hurufnya perlahan, membiarkan gigiku mengigit-gigitnya sambil berharap kau akan muncul. Seperti katamu, 
"Sebut namaku tiga kali, dan aku akan ada disana."
Masih berharap kau datang.

Kedua tanganku tak jemu memanja pikiranku dengan selalu menulis tentang kamu. Jemariku menari lincah diatas papan keyboard, berkali dan mengulang; "aku rindu kamu" ditiap paragraf, hingga berpuluh-puluh halaman telah berlalu.
Masih berharap kau membaca.

Kedua mataku selalu merefleksikan dirimu. Setiap inci mu telah terekam dengan sangat baik oleh ingatan, yang kemudian dipantulkan oleh kedua mataku. Setiap bercermin, aku selalu menemukanmu ada disana. Dibalik mataku. Tersenyum seperti biasa.
Masih berharap kau tahu.

Kedua kakiku  telah menjadi serupa bayang, mengikuti setiap langkahmu menapak. Berhenti disaat kau berhenti. Menari disaat kau menari, bahkan menangis disaat kau menangis. Berharap dapat menyata dan memelukmu tak hanya dalam khayal, seperti kau selalu berkata, 
"semuanya akan baik-baik saja."
Masih berharap kau bahagia.

Tanpa ampun, tanpa jeda. Aku seperti dikhianati tubuhku sendiri. Pikiran dan hatiku bersekutu untuk selalu mencintaimu.

Gila. 

Monday, August 06, 2012

Thank You

.... ,
When writing about you, my fingers didn't want to stop.

When I saw you, my eyes wouldn't move to another place.

When there is near you, my whole body can't lie about how happy I am.

Thank you for ever.
Thank you for being there. 
Thank you for every spirit that you give.

Thank you for everything.

You are everything. 
Not only what I want, but also what I need.

Terlalu

.... , 
Tuhan kadang suka memberi kebahagiaan yang terlalu. Dihadirkannya kamu, disimpan sejenak untuk pergi, kemudian dikembalikan sebagai tanda-Nya bahwa aku harus berhenti mencari. 

Tak tahu harus berujar apa selain syukur yang teramat.

Aku tak pernah tahu betapa mahalnya aku dihadapannya; bahkan aku tak pernah mengerti mengapa dicintainya begitu membuatku bahagia. 

Ralat.
Mencintainya,
Mencintainya begitu membuatku bahagia. Dicintainya adalah bonus dari Tuhan untuk segala bentuk eksistensi-Nya.

Tuhan selalu penuh dengan kejutan. Ketika kehidupan membuat aku harus mengucapkan selamat tinggal, Ia dengan sabar memeluk dan memberi ku hadiah kecil yang begitu ku butuhkan: Ucapan selamat datang.

Tak tahu harus berekspresi seperti apa selain menangis haru.

Aku tak pernah tahu betapa berartinya kehidupanku untuknya; bahkan aku tak pernah paham betul mengapa kehidupanku bisa berarti.

Ralat kedua kalinya.
Kehidupannyalah yang sangat berarti untukku. Setiap hela nafas yang ku tarik adalah dirinya, dan segala nafas yang ku hembus adalah doa untuk kebahagiaannya.

Tuhan memang selalu tahu apa yang dibutuhkan Umat-Nya. 
.
.
.
Dia selalu tahu, aku butuh kamu.

Thursday, August 02, 2012

Antalogi Rasa

.... ,
Keara
We're both just people who worry about the breaths we take, not how we breathe.
How can we be so different and feel so much alike, Rul?
No body ever fucked my head as much as you do. I'm done fucking men. I want to marry this one! Rasanya seperti tamparan saat aku sadar bahwa dengan Ruly, the more he makes me suffer, the more I find I love him.
Three years of my wasted life loving you.
That's enough.
I can never win this, can I, Rul?

Ruly
Yang tidak gue ceritakan ke Keara adalah bahwa sampai sekarang gue merasa mungkin satu-satunya moment yang bisa mengalahkan senangnya dan leganya gue subuh itu adalah kalau suatu hari nanti gue masuk ke ruangan rumah sakit seperti ini dan Denise sedang menggendong bayi kami yang baru dia lahirkan.
Yang tidak gue ceritakan ke Keara adalah rasa hangat yang terasa di dada gue waktu suster membangunkan gue subuh itu dan berkata "Pak, istrinya sudah sadar." dan bahwa gue bahkan tidak sedikit pun berniat mengoreksi pernyataan itu.
Mimpi aja terus, Rul.

Harris
You smell like heaven full of flowers, Key.
So, Key, while you already have my heart and my dignity all squeezed up in a blender, sekalian aja gue melacurkan diri untuk membuat elo senang, kan?
Gue mencintai lo seperti itu, Key. The more you make me suffer, the more I find I love you.
Berapa lama pun yang elo butuhkan untuk itu, Key.
But for now, this is enough.
This is enough,
I can never win this, can I, Key?

Antalogi Rasa mengangkat cerita cinta segiempat yang terjebak dalam friendzone. Harris mencintai Keara, Keara mencintai Ruly, Ruly mencintai Denise. Dimana masing-masing berusaha menahan perasaannya karena tidak ingin merusak persahabatan yang ada. Hingga Harris tanpa sengaja merusaknya. Dan sejak itu, satu persatu perasaan yang tertutup mulai terkuak. 

Ika Natassa berhasil menciptakan karakter yang kuat di dalam ceritanya. Pembaca mampu menghanyut dalam perasaan Keara yang mencintai Ruly, atau perasaan Ruly saat melihat Denise mesra dengan suaminya, atau perasaan Harris yang rela mati-matian melakukan apapun untuk Keara.

Novel yang memiliki tebal sekitar 339 halaman ini terkemas apik dan menarik. Ika berusaha menceritakan karakter masing-masing dan merangkainya menjadi alur. Akrab dengan rutinitas dan kehidupan kaum Urban. Novel ini layak dan harus dibaca buat para penggemar cerita romansa namun jenuh dengan alur yang biasa.

You certainly will not stop reading before finding the end, this is an interesting love story complex. Recommended!