Wednesday, September 26, 2012

Hilang

.... ,

Kata orang, cinta itu buta. Bagiku, cinta tak pernah buta. Ia hanya memalingkan wajah untuk melihat kenyataan yang kadang tidak berjalan sesuai kehendaknya.
Apa ukuran untuk menghitung cinta? Satuan? Kilometer? Netto? Gram? Celcius? Semua manusia yang pernah ku kenal mengajariku berhitung kadar cinta mereka. Materi, kesenangan, kebahagiaan? Tapi tak ada yang benar-benar puas. Cinta menjelma menjadi serupa pundi-pundi ketika kau mulai menghitungnya. Dan semua pengorbanan mendadak terasa mahal ketika kau telah kehilangan.
 Jika cinta benar bisa diukur, mungkin saja aku bisa menagih cinta yang pernah ku berikan padamu untuk membayar semua sesalku atas kebodohan kita.
*
Ruang berukuran 6x7m ini mulai terasa sesak untuk ku. Aku dapat mendengarkan bunyi degup jantungku sendiri. Hanya ada sebuah ranjang kecil berseprai putih dan sofa kulit warna merah, tempatku duduk saat ini. Perutku mual, aku terlalu gugup. Tidak. Aku sangat gugup sekali. Rasanya lebih menegangkan dari menonton film horor Jepang atau menunggu giliran sidang akhir. Seandainya ada pilihan lain yang dapat ku lakukan selain menunggu disini, mungkin aku akan memanfaatkan pilihan itu.
Tetapi aku tahu, meskipun selalu ada pilihan; aku tak pernah berani memilihnya.
*
Aku telah melihatmu. Kita telah menghabiskan 14 minggu lebih bersama. Berbagi kesukaanmu, dan ketidaksukaanmu. Kau tidak suka aroma bumbu kacang. Kau tidak suka aroma jamu, seperti aku juga tidak menyukainya. Kau suka dipeluk. Aku sangat suka menyentuhmu. Kau manis, sayang. Aku telah mencintaimu bahkan sebelum kita sempat bertemu.
Dan kadang, cinta membuat kita menjadi terlalu bodoh dan naif.
*
Aku memeluk selimut untuk menutupi tubuhku ketika kau sibuk berpakaian. Kemudian kau terdiam menghadap kalender dinding dan menoleh kearahku, “Ve, kamu belum haid ya bulan ini?”
“Iya sih. Mungkin terlambat kali, Dith.” Aku tak begitu mengindahkannya, aku meraih bantal dan memilih untuk tidur.
*
Ada yang mulai terasa ganjil dari tubuhku. Nafsu makanku menurun drastis, berat badanku pun menurun. Aku juga mudah lelah. Hampir setiap hari aku muntah-muntah tanpa alasan. Rasanya seperti masuk angin yang tak kunjung sembuh. Mulanya aku berpikir maagku kambuh dan memarah, karena hampir semua jenis makanan tak dapat ku telan. Aku jadi tak suka terik matahari dan aroma-aroma menyengat. Emosiku pun menjadi tak stabil, sering tiba-tiba mellow dan marah-marah karena hal kecil.
“Dith, jauhkan bumbu kacang itu dari hadapanku. Aku mual mencium aromanya.” Aku menunjuk kearah piring berisi bumbu kacang sisa cemilan tempe mendoanku tadi pagi.
“Sejak kapan kamu jadi terlalu peka dengan bau-bauan?” Radith lantas menyingkirkan piring itu dari atas meja.
“Entah. Yang pasti aku ‘gak suka aromanya.” Aku memicingkan alisku kearahnya, menunjukkan wajah tak suka.
“Ternyata benar kamu hamil.” Ia menghela nafas panjang.
“Dith, jangan menakuti aku! Aku pernah terlambat haid sampai 3 bulan.” Aku mencoba menyingkirkan ketakutanku sendiri dengan membela diri.
“Berdoa saja aku salah.”
*
Test pack itu bergaris dua. Lahar panas mulai terasa diujung mataku, “Hasilnya positif, Dith.”
“Aku sudah menduganya. Bukankah dari awal sudah ku katakan padamu?” jawabnya tenang, tanpa merasa khawatir sama sekali.
“…” aku mendongak, menarik nafas dalam-dalam, berusaha menahan tangis yang akan pecah.
“Jangan menangis. Dia belum waktunya ada, Ve.” Ia meraih tubuhku kearahnya. Hangat. Kemudian tumpahlah semua airmata yang tertahan.
“Karena itulah aku menangis. Karena aku tau, aku harus merelakannya pergi.” Ujarku terisak. Tidak kah kau menginginkan anakmu, Dith? Batinku. Aku mempererat pelukanku.
*
Setelah test pack menunjukkan hasil positif, kami mulai sibuk mencari cara untuk menggugurkanmu. Dari mulai makan nanas muda, meminum jamu pelancar haid yang konon katanya bisa digunakan untuk menggugurkan kandungan, minum minuman beralkohol untuk merusak kandungan, mengkonsumsi pil KB, melakukan olahraga berat, beraktifitas dengan menggunakan heels sehari-harinya, hingga mengkonsumsi beberapa jenis obat yang biasa digunakan untuk menggugurkan kandungan dari dalam.
Obat itu sejenis tablet, terdiri dari 2 warna dan 2 fungsi dengan ukuran yang tidak sama. Yang satu berbentuk bulat dan satunya sedikit lebih lonjong. Salah satu obat itu harus dimasukkan kedalam vagina setiap harinya, selama 3 hari berturut-turut, sementara yang satunya diminum sehari 3x setelah makan.
Aku selalu menahan tangis setiap kali aku meminum jamu-jamuan dan obat. Berulang kali meminta maaf kepadamu. Tak jarang protesmu muncul tiap kali aku berusaha membunuhmu dari dalam. Kau memaksaku memuntahkan kembali apapun yang masuk kedalam mulutku.
Dan kau adalah anak yang kuat. Ketakutanmu menjadi kekuatanmu. Segala cara telah ku tempuh untuk meniadakanmu, namun kau semakin erat memelukku.  “jangan bunuh aku, ma.” bisikmu menggema dalam hatiku.
Kami berdua telah menjelma menjadi dua orang bodoh yang hendak lari dari tanggung jawab.
*
Sesekali waktu, kami seperti begitu mengingkanmu. Aku membelaimu dengan hangat, merasakan detakmu yang mulai ada dan pergeseran kecilmu yang mengejutkan. Begitupun Radith. Aku tahu bagaimana perasaannya ketika membelaimu dan merasakan kehadiranmu di rahimku. Ia mencium perutku lama, tempatmu bernaung. Seolah meminta ijin untuk melepaskanmu.
*
“Ve, aku tahu tempat untuk menggurkannya.”
Mendadak detak jantungku seolah berhenti.
“Jangan cemas, ini sebuah klinik. Temanku pernah melakukannya juga disana.”
“Berapa biayanya?”
“Jangan khawatirkan itu, aku akan mengusahakannya.”
*
Tibalah aku diruangan ini. Ruangan berukuran 6x7m ini. Ruangan dengan sebuah ranjang berseprai putih dan sofa kulit merah. Ruangan ini punya 3 pintu. Pintu tempatku masuk, pintu menuju keluar dan pintu kearah ruangan lain. Kami berdua diam. Tak sepatah pun keluar dariku maupun Radith.
Salah satu pintu itu terbuka, seorang perempuan berkerudung paruh baya muncul dari baliknya. Ia tersenyum kearahku dan memanggilku mengikutinya.
“Kemari. Berbaringlah disini.” Ia menunjuk kearah ranjang diruangan lainnya dengan mesin berlayar didepannya. Ada dua orang perempuan lain disana menyiapkan peralatan, entah apa. Aku menuruti dan Radith berdiri disampingku. Aku menggenggam tangannya erat, meski tanpa sepatah kata.
Perempuan itu mengangkat kaosku dan mengoleskan perutku dengan cairan serupa gel yang dingin. Sementara seorang rekannya menghadapkan layar itu kepadaku dan Radith, dan yang lain menyelimuti bagian kakiku dengan selimut kecil. Perempuan itu  menggerak-gerakkan alat serupa rol deodorant di perutku dengan sedikit menekan.
“Lihat. Ini lho janinnya. Sudah besar ya.”
Aku memandangi layar dengan tatapan pilu. Aku dapat melihat mahluk kecil berdetak disana, dengan wujudnya yang telah utuh.
“Ini sudah terbentuk semua anggota tubuh dan jaringan syarafnya. Sudah bernyawa. Lihat, ini tangannya, jari-jarinya. Ini kepalanya.”
Lagi-lagi aku hanya bisa diam dan mengutuki diriku sendiri dalam hati.
“Ini usianya kurang lebih sudah 14 minggu, pak, bu. Sulit untuk dikeluarkan dengan cara biasa. ini harus dioperasi.”
“Maksudnya, dok?” Radith mulai angkat bicara.
“Ya, ini harus divaccum. Divaccum itu artinya disedot keluar. Karena sudah berbentuk manusia utuh, jalan satu-satunya mengeluarkannya dengan membunuhnya dulu di dalam, baru kemudian disedot keluar. Kalau dikuret, nanti akan membahayakan nyawa ibunya juga. Beresiko.”
Aku mempererat genggamanku.
“Itu bagaimana prosesnya, dok?” lanjut Radith.
“Nanti, si ibu akan dimasukkan obat dengan alat. Kemudian, kita akan menunggu reaksi obat itu selama 1-2 jam. Baru setelah itu akan dioperasi vaccum.”
Aku tersenyum getir. Radith terdiam.
“Negosiasi biayanya diluar saja ya, pak.” Perempuan itu kemudian menutup kaosku dan mematikan layar sambil beranjak keluar.
*
“Nah, kamu pipis dulu ya. Setelah itu masuk lagi kemari.”
*
Aku kembali ke ruangan berukuran 6x7m ini. Kali ini sendirian. Berharap-harap cemas sendiri.
*
Perempuan itu kembali masuk dan menyuruhku melepaskan celana panjang dan dalamanku, kemudian mengajakku untuk naik ke ranjang. Ia menaikkan kedua pangkal kakiku hingga aku mengangkang lebar. Ia dan dua rekannya menyiapkan peralatan serupa tang dengan ujung tumpul yang panjang dan besar. Diujungnya diletakkan dua tablet obat yang masing-masing telah dipatahkan menjadi dua.
“Tahan ya. Sebentar saja kog. Rileks, jangan tegang. Semakin kamu tegang, semakin sulit saya memasukkan obat-obatan ini dan kamu akan semakin sakit.”
Rasanya sakit dan dingin, seperti ada sesuatu yang menusuk dan mengoyak-oyak. Aku berteriak. Tidak bisa tidak tegang. Tidak bisa tidak merasa takut. Tidak bisa tidak merasa bersalah.
*
Setelah setengah jam berperang dengan rasa sakit itu, ia membawaku ke sebuah ruangan lain yang juga hanya berisi sebuah ranjang dan kursi. Ada sebuah cermin menghadap kearah ranjang dan jendela besar tepat dibelakang ranjang. Aku berbaring, tak lama Radith muncul. Wajahnya pucat, meski aku tahu wajahku pasti lebih pucat darinya.
Aku meraih tangannya dan mulai menangis.
“Sakiiit…”
Ia menatapku nanar, mencoba menguatkan. “Sabar sebentar ya, Ve. Setelahnya pasti akan baik-baik saja.”
“Tadi aku dimasukin obat, ‘gaktau obat apa. Kaya ditusuk rasanya, Dith.”
“Iya, udah ya jangan nangis. Nanti makin sakit kalo nangis.”
Aku terisak mencoba meredakan tangisku, sekaligus menahan sakit yang semakin menjadi.
*
Setengah jam, satu, satu setengah jam berlalu. Aku ingin keluar, aku ingin muntah. Perutku terasa sangat mual. Belum sampai di depan pintu, aku terjatuh, muntah disana. hanya air, tidak ada apa-apa lagi yang ku muntahkan. Radith segera mengangkat dan menggendongku kembali ke atas ranjang.
*
“Ayo bu, sudah dua jam.”
Dengan langkah gontai aku mengikutinya, Radith mengantarku sampai di depan pintu ruangan. Lagi-lagi ruangan berukuran 6x7m ini. Di sofa telah duduk seorang lelaki berusia sekitar 40an. Ia tersenyum ramah kearahku, menyuruhku melepaskan celana dan berbaring di ranjang.
Kemudian perempuan berkerudung itu kembali dengan dua rekannya tadi, lengkap dengan peralatan-peralatan. Aku dapat melihat mesin USG dan selang berukuran agak lebar. Aku meletakkan kedua kakiku mengangkang dan ia duduk persis menghadap selangkanganku. Salah seorang perempuan menyiapkan suntikan, berdebat singkat dengan si lelaki dan kemudian mengganti cairan yang akan diisi kedalam suntikan. Seorang lainnya memasangkan selang oksigen kepadaku, sementara satu cairan bius telah bersarang di pangkal pahaku.
“Rileks, atur nafasnya ya.” ujar perempuan berkerudung itu tersenyum.
Beberapa menit berlalu, aku masih bisa merasakan ada sesuatu yang sedang dipasang diantara selangkanganku. Kemudian ada deru suara mesin. Aku merasa ada sesuatu dipaksa keluar dari perutku.
*
Maaf. Aku tahu kata itu tidak pernah akan cukup untukmu. Batinku.
*
Tidak ada perih. Tidak ada luka. Perempuan berkerudung itu kembali mengoleskan cairan dingin itu dan menggerak-gerakkan benda serupa rol deodorant diperutku. Kosong. Layar tidak lagi menunjukkan wujudmu. Kamu benar-benar telah keluar dari rahimku. Ada lega dengan sesal yang teramat berdenyut-denyut dalam hati.
Si lelaki berpamitan dan bergegas keluar, sementara si perempuan memaksaku duduk dan membantuku memakai celana. Ia menyelipkan sebuah pembalut pada celana dalamku.
“Tinggal sisa-sisa aja darahnya, paling sekitar sehari dua hari. Persis kaya haid. Nanti ada resep dan obat yang harus diminum ya.”
*
Sekarang, tinggal nyeri yang terasa dan trauma yang tersisa. Sisa bius kemarin membuat pangkal pahaku mati rasa, aku sulit untuk berjalan; bahkan untuk berdiri saja perlu dibantu.
Semua orang pernah patah hati karena ditinggal kekasihnya, tetapi tak semuanya benar-benar patah. Mungkin seperti inilah rasanya benar-benar patah dan hancur berkeping-keping. Rasanya seperti ada sesuatu yang telah diambil dan dicuri dariku, sehingga aku merasa sangat kehilangan. Sesuatu yang telah menyatu denganku, yang didalam tubuhnya telah mengalir darahku. Sesuatu yang denyut dan nafasnya seirama denganku.
Aku tidak hanya patah hati, seluruh tubuhku pun telah ikut patah.
Aku membelai perutku tempat tinggalmu dulu. Mengingat kebersamaan kita. Mengingat kebodohanku. Mengingat sesal yang terus menerus menghantui. Aborsi tidak hanya menguras kantong, tetapi juga ikut menguras hatiku didalamnya.
Kadang ada pikiran kenapa tidak sejak awal saja, sebelum kamu telah bernyawa. Mungkin rasanya tidak akan sesakit saat ini. Kadang terlintas, kenapa harus sampai kebablasan dan lupa diri. Kadang pula aku berpikir, kenapa aku tidak melahirkanmu saja? Aku terlalu takut untuk menghadapi kenyataan nanti, masa depan dan nama baik, sehingga aku lupa, kau juga berhak punya masa depan.
*
Dan penyesalan memang selalu muncul belakangan.
Kata orang cinta itu buta. Menurutku ia tidak buta, ia hanya suka bertindak bodoh.

No comments:

Post a Comment