.... , Malam ini kami mencoba mengadu kata. Ia menantang aku untuk menantangnya menulis. Aku tahu ia bisa menulis, hanya saja dia tidak suka melakukannya. Kemudian kami bertukar kata. Aku memberinya 1 kata, dan ia mengolahnya menjadi serangkaian kalimat:
Diam bukan berarti aku hanya diam.
Banyak yang terlintas di hati maupun pikiran.
Diam itu berarti kegelisahan mulai datang menyerang.
Kenangan dari masa lalu mulai menghantui lagi.
Diam juga bisa membuat dunia seperti tempat hukuman setelah kiamat.
Diam juga membuat aku merasa masa depan itu mengerikan.
Aku tidak ingin hidup di masa depan.
Jadi, lebih baik mati?
.
.
Kadang, aku merasa begitu.
ditulis oleh Rusjana Satyaputra, disela-sela menonton pertandingan sepakbola.
Diam tidak semenakutkan itu, sayang.
Kadangkala, diam adalah jawaban.
ditulis oleh saya, yang gatal untuk membalas kalimatnya - masih disela-sela menonton pertandingan sepakbola.
Diam itu bukan jawaban, sayang.
Diam itu pertanyaan.
ia masih saja bersikeras.
Pertanyaan macam apa yang dilontarkan diam?
aku lebih bersikeras darinya. Ini pertarungan kata-kata.
Seharusnya kamu tahu, sayang.
ia memang kepala batu.
Tidak semua hal aku tahu, tidak semua ketidaktahuanku kamu tahu.
Kalau diam adalah pertanyaan untukmu,
Maka diam menjadi jawaban bagiku.
.
.
Diam-mu, sayang. Membunuh hatiku.
aku menggencatnya dengan kata-kata.
Aku tidak akan membunuhmu, sayang.
Tidak akan pernah.
.
.
Diam ini biarlah aku jawab sendiri.
Karena diam ini merupakan pertanyaan.
aku tersenyum. Dia tersenyum. Mungkin membosankan untuk sebagian orang, tapi untukku, pertarungan ini lebih menyenangkan. Dibanding bersilat lidah dalam argumen.
15 September 2013. Kamar Kost. Disela-sela pertandingan sepakbola.