Sunday, May 06, 2012

Radith

.... ,
Pernahkah membayangkan rasanya melihat seseorang yang kita cintai, tertawa mesra bersama orang lain dan terlihat bersinar? Gue pernah. Sekarang. Gue ‘gak pernah membayangkan rasanya akan sesakit ini.
*
Gue sering mengolok mereka yang ‘gak bisa bersikap tegas dengan hidup mereka sendiri. Rela digandrungi kegalauan oleh orang lain dan diatur oleh hati. Gue juga sering menganggap remeh mereka yang tergila-gila sama seseorang, sampai mengorbankan harga dirinya untuk sesuatu yang kasat mata, yang bernama cinta.
That’s bullshit!
Sampai sekarang gue benar-benar kena batunya. Jatuh cinta sama seorang perempuan, yang –shit!–pacar sahabat gue sendiri. Gue ‘gak paham lagi gimana harus menjelaskan perasaan semacam gado-gado ini, campur aduk! Disatu sisi, dia pacar sahabat gue. Bisa dianggap penghianat dan rusaklah persahabatan gue cuma gara-gara perempuan. Disisi lain, gue cinta sama perempuan ini! Mungkin dunia udah kehabisan stok perempuan, sampai gue harus tertarik sama dia. Astaga. Sekarang gue paham banget perasaan galau itu kaya gimana. Galau ketika gue harus bersikap calm down saat melihat orang yang gue cinta pegangan tangan di depan mata. Sama sahabat sendiri. Catet!
Sekarang gue juga jadi paham kenapa banyak novel-novel atau cerita romansa yang mengisahkan cinta segitiga atau lagu-lagu dengan lirik dramatis tentang cinta yang bertepuk sebelah tangan. Karena ternyata memang terjadi. Dan gue salah satu dari sekian banyak penganut triangle love.
Hidup gue mendadak melankolis. Kerealistisan gue mati total. Gue jadi ‘gak bisa berpikir jernih. Kalut kalau sehari ‘gak ketemu. Dan makin kalut kalau ketemu. Jadi sering denger lagu-lagu melo’, update status ‘gak jelas, bengong-bengong terus, cengengesan sendirian, kadang ngamuk-ngamuk juga sendirian. Ternyata hidup jadi sekompleks ini begitu disentuh cinta.
Sesuatu itu memang jadi menakutkan kalau ia cuma bisa dirasa, gak bisa dilihat atau disentuh.
Angin aja bisa jadi bencana puting beliung. Memporakporandakan kehidupan seseorang.
Sama kaya cinta. ‘Gak bisa dilihat atau disentuh, tapi bisa bikin orang bahkan ‘gak punya keinginan untuk hidup ketika ditinggalkan. See? Ditinggalkan sesuatu yang bahkan ‘gak bisa dijadikan kepemilikan oleh siapapun. Tapi rela.
Rela.
Entah harus berapa puluh kali lagi gue mencerna kata rela. Bagaimana gue bisa rela melihat orang yang gue cintai bersikap seolah tatapan gue kurang berarti buat dia. Seolah keberadaan gue ‘gak pernah dilihat. Seolah gue hanya seorang sahabat pacarnya. Tapi gue rela. RELA. Asalkan gue bisa ada di dekat dia, melihat dia tertawa dan tersenyum. Ada rasa nyaman yang ‘gak bisa gue beli dimanapun, yang hanya bisa diperoleh ketika gue berada di dekatnya. Dan seandainya memang harga jualnya harus sesakit ini, toh buktinya gue rela.
Ironis banget.
Sekalinya gue mengalami cinta, harus langsung terlibat dalam situasi kaya gini: Maju segan, mundur tak mau. Cinta sama bego itu memang tipis ya bedanya.
Gue adalah orang bego yang mencinta.
*
“Dith..”
Raditya Permana. Ya, gue. Lelaki 25 tahun yang memilih hidup single dan normal sebagai manusia untuk ‘gak terlibat dengan urusan hati, mendadak jatuh cinta sama seorang perempuan bernama Rana Restiani; yang notabenenya ialah pacar sahabat gue, Rafi Rafael. Diperjelas lagi deh ya,
 Gue…
Jatuh cinta…
Sama… …..
Shit!
*
“Radith!”
Deg. Baru denger suara Rana aja gue udah jantungan kaya gini. Olahraga yang sehat dan murah, meskipun bisa sakit jantung kalau kelamaan. Calm down dong, Dith. Kaya baru pertama jatuh cinta aja..
“Radiiittthhh!”
“Iya, Ran. Kenapa teriak-teriak sih?”
Akhirnya gue bisa bersikap cool juga. Takut juga kalau kelihatan banyak bunga disekeliling gue saking girangnya.
“Rafi mana?”
Sorot mata Rana mendadak melemah. Deg. Lagi-lagi jantungan. Kenapa harus nanya Rafi sama gue, Ran? – gue membatin. Iya, cuma bisa ngebatin.
“Lho, tadi kan sama elo. ‘gak gue kantongin juga sih. Coba ditelepon dulu.”
“’Gak aktif.”
Deg. Astaga Rana, berhentilah bersuara seimut itu. Rasanya gue pengen menelan lo bulat-bulat supaya ‘gak bisa ditemuin Rafi, terus dia cari pacar lagi, terus lo jadi pacar gue. Nah! Otak setaan!
“Radith! Kog malah bengong ngeliatin gue sih? Gak ada yang aneh sama muka gue kan?”
“Engga kog, Ran.”
“Terus kenapa?”
“Lo can.. Eh. Engga. Yaudah, ayo cari si gebleg itu.”
Sial. Hampir aja ini mulut keceplosan. Momennya ‘gak pas banget buat bilang cantik. Tapi memang ‘gak akan ada momen yang pas sih. Yaudahlah. Lo cantik, Ran. – gue membatin. Lagi-lagi cuma membatin.
“Nah. Itu dia si gebleg. Tuh, lagi beli  es krim di warung Pakde.”
“Ah iya! Rafiii!”
Rana segera menghampiri Rafi dan merangkul lengannya. Pemandangan yang harusnya udah lumrah. Tapi sebaiknya gue menyingkir sebelum pengen rebahan di aspal nungguin mobil lewat. Baru aja gue mau balik badan buat menyibukkan diri, Rana memanggil.
“Dith, mau kemana? Sini, ikut kita ke Enhai yuk.”
Gue bingung antara harus bunuh diri saat itu karena girang atau karena bakal rela berjam-jam melihat kemesraan mereka. Setidaknya, gue punya sedikit ide cemerlang untuk mengantisipasi rasa sakit ini.
“Enhai? Pake mobil gue aja yuk. Sekalian gue mau isi bensin. Apa mau bawa mobil sendiri-sendiri aja?”
“Ayo pake mobil lo aja, Dith. Tau aja gue lagi males nyetir.”
Rafi memang top best deh. Ini jawaban yang paling gue tunggu.
*
Beginilah posisinya. Berhubung mobil gue cuma kapasitas 4-5-6 orang (6 orang kalau dipaksa pangku-pangkuan) a.k.a sedan; jadi gue nyetir, Rafi disebelah gue, dan Rana dibelakang. Lumayan melegakan, jadi gue ‘gak perlu lihat mereka gandengan tangan di mobil. Bahagianya, gue bisa curi-curi pandang lewat spion tengah. Licik memang.
Begitulah sepanjang perjalanan, kita bertiga ngobrolin apa aja yang terlintas. Meskipun gue ‘gak suka ngobrolin orang, tapi kalau ada Rana, mulut gue lebih bocor dari gayung bolong, semuanya mengalir begitu aja tanpa ada yang terlewat. Ngobrolnya bertiga ya, bukan berdua. Seandainya tadi pakai mobilnya Rafi, gue yakin 100% gue bakal menjelma jadi obat nyamuk bakar wangi lavender. Duduk di jok tengah, autis sama blackberry sendirian. Mirip kaya lagi nonton sinetron, dan ‘gak bisa ganti channel. Alamak.
Gue pun bisa pasang playlist galau sesuka hati buat menyampaikan perasaan gue ke Rana. Semoga aja dia ‘ngeh. Tapi gue ‘gak mau terlalu banyak berharap. Kalau mau jatuh ya pelan-pelan, jangan sekaligus. Meskipun gue ‘gak bisa mengontrol kapan, bagaimana dan dimana gue jatuh, setidaknya gue bisa berhati-hati untuk ‘gak terpeleset. Orang yang lagi jatuh cinta kadang suka lupa kalau ada sakit ketika mereka sampai pada dasarnya.
Ide gue muncul lagi. Supaya nanti pas makan gue ‘gak jadi candle di meja, baiknya gue ajak temen-temen yang lain buat ikutan. Jadi, gue tetap bisa menikmati waktu bersamanya tanpa harus membiarkan hati gue terluka. Sedikit bertindak licik untuk menjaga perasaan, boleh kan.
Rencana gue berhasil. Tuhan sedang berpihak pada tuna asmara-Nya.
**
Baru saja gue parkir mobil di belakang mobil Rafi. Ada seorang perempuan, tapi jelas bukan Rana. Gue baru saja ketemu dia sebelum kesini. Cantik, putih, ‘gak terlalu tinggi, dan agak jutek. Gue spontan mengurai senyum dan bergegas masuk ke dapur, menemui Rafi yang sedang membuatkan minuman. Sementara Bara dan Adrian sedang sibuk bermain playstation di ruang tengah.
“Fi, siapa?”
“Indah.”
“Iya, siapa?”
“…”
“Lo ‘ngeduain Rana?” gue bertanya hati-hati supaya ‘gak terlihat seperti ingin menyerang. Berbisik tepatnya.
“Mencari tahu aja.”
“Mencari tahu apa, Fi?”
“Cuma mau main aja, kog. Lo kaya ‘gak kenal gue, deh.”
“Justru karena gue kenal banget sama lo.”
“…”
Gue segera keluar menuju teras dan menyulut sebatang rokok. Mendadak hawa menjadi panas buat gue. Berkali-kali pemikiran gue balik lagi ke konsep rela, kali ini gue yakin gue ‘gak rela. Gue ‘gak rela kalau Rana harus disakiti kaya gini. Siapapun gue, walaupun gue cuma sekedar sahabat pacarnya, meskipun gue sekedar secret admirernya, meskipun gue bukan siapa-siapanya.. tapi gue ‘gak rela.. kalau perempuan yang gue cintai, disakiti oleh orang yang dia cintai.
Miris.
Tekad gue sudah bulat! Gue akan merebut Rana dari lo, Fi.
Fuck off with our friendshit…
*
Gerilya dimulai.
Entah setan apa yang merasuki gue untuk mulai menghubungi Rana secara personal, dan intens. Gue cuma berpikir bahwa perempuan seperti Rana harus diberitahu bahwa dia terlalu berharga untuk disakiti. Gue selalu sensitif kalau melihat perempuan disakiti. Bayangan nyokap selalu terlintas seolah mengingatkan bahwa perempuan itu mahluk yang harus dilindungi. Mungkin itu jugalah alasan gue membatasi diri dengan perasaan; gue sebisa mungkin menghindari menyakiti perempuan.
Rafi, Lo harus tahu rasanya bagaimana ketika seorang yang lo cintai, direbut tepat dihadapan lo..
I’m sorry for do that, man. Game start.
*
Sebulan terakhir gue menghabiskan sepanjang malam sampai pagi hanya untuk mengobrol dengan Rana via telepon. Waktu yang biasanya gue isi dengan ‘ngegame atau online, sekarang gue dedikasikan spesial buat bikin kuping pengang dan panas. Ya, buat lebih dekat dengan Rana. Menyenangkan setiap kali bertanya, “how your day?” dan kemudian mendengarkan dia bercerita tentang kesehariannya, kegiatannya dikampus, kesukaannya, keluh kesahnya, dan segala sesuatu tentang dia. Rasanya seperti sedang face to face dengan dia. Lagi-lagi, yang seperti ini ‘gak bisa dibayar berapapun harganya.
Gue jadi semakin yakin untuk mendekati Rana, ketika gue tahu kalau Rafi sudah dua kali tertangkap basah sedang bersama perempuan lain, dan dia ‘gak mengakuinya. Gue yakin kalau Rafi ‘gak benar-benar serius dengan Rana. Rafi mulai jarang membawa Rana turut serta ketika kumpul, bahkan mulai jarang juga berkumpul bersama kami. Yang gue tahu, setelah Indah; dia sedang dekat dengan seorang perempuan lagi, tapi gue ‘gak bertanya lebih jauh.
Kegilaan Rafi membuat celah menjadi semakin lebar. Rana jadi sering sendirian. Gue juga jadi gampang menghubungi dan menemuinya. Sekali waktu Rana mengundang gue ke sebuah acara, dan dari situ hubungan kami semakin intens. Gue mempelajari dengan baik dan berhati-hati agar semuanya ‘gak curiga. Sampai gue mantap untuk mengungkapkan perasaan gue, ya, setidaknya gue tahu, gue akan punya harapan atau engga. Setidaknya gue bisa sedikit bernafas lega karena orang yang gue cinta, tahu apa yang gue rasakan.
“Rana..”
“Ya Dith?”
“Sadar ‘gak sih kalau selama ini itu gue memperhatikan lo?”
“Maksudnya?”
“Aku sayang sama kamu, Ran.”
“Tapi, Dith..”
“Aku tahu. Aku udah lama tertarik sama kamu, Ran. Cuma aku ‘gak pernah punya kesempatan yang pas aja untuk bilang. Sebenarnya sekarangpun engga, dan ‘gak akan pernah ada waktu yang pas. Aku cuma mau bilang itu aja kog, Ran. Aku cuma mau kamu tahu, aku akan selalu ada buat kamu..”
“Aku ‘gak tau harus bilang apa, Dith. Rasanya mendadak jadi kompleks.”
“Aku ‘gak minta kamu bilang apa-apa kog, aku cuma mau kamu tahu.”
“Makasi ya, Dith.”
“You’re welcome.”
**
Rana mencintai Rafi. Harusnya gue paham konsep itu dari awal sebelum semua ini dimulai. Gue harusnya sadar kalau yang cinta gue ke Rana sedalam cinta Rana kepada Rafi, sehingga orang-orang semacam kami selalu siap dibodoh-bodohi perasaan.
Rana akhirnya tahu perilaku Rafi. Dia tidak menangis dihadapan gue, tapi gue tahu dalam hatinya sudah berteriak. Pilu wajahnya tiap berjumpa dengan gue. Sesungging senyumnya yang tulus, meskipun tatapannya tidak. Dia perempuan hebat, sekaligus bodoh, yang selalu membiarkan dirinya sakit, demi orang yang dicintainya.
Gue kalah dalam permainan gue sendiri.
**
Banyak yang bilang kalau orang mabuk itu jadi bego. Sebenarnya, orang yang lagi mabuk itu menunjukkan apa yang mereka ‘gak pernah perlihatkan dan katakan aja. Gue pun begitu. Kalau gue cukup bodoh untuk mabuk, berarti gue sudah siap akan menjadi bodoh juga untuk mengungkapkan segala uneg-uneg dari hati gue tanpa melihat perasaan orang lain lagi. Termasuk Rana.
Sepertinya gue baru melakukan kebodohan itu. Raut wajah Rana mengatakan semuanya. Gue mendadak ciut, ‘gaktau apa yang harus dilakukan lagi, gue merasa seperti prajurit kalah perang, cacat. Kalau aja semalam gue ‘gak perlu uring-uringan sampai inget minuman. Kalau aja semalam gue ‘gak ngomong ke Rana. Kalau aja Rana ‘gak bilang kalau dia ‘gak mau kehilangan gue, tapi juga ‘gak bisa ninggalin Rafi. Kalau aja Rana ‘gak menerima perasaan gue dan membiarkannya tumbuh. Kalau aja gue ‘gak jatuh cinta sama Rana. Kalau aja… Rana bukan pacar Rafi.
Mungkin semuanya akan lebih mudah.
Mungkin gue ‘gak akan sedramatis ini.
Mungkin gue ‘gak akan mabuk semalam.
Mungkin gue ‘gak akan menangis karena tahu akan kehilangan dia.
Gue benci ketika harus menerima kenyataan bahwa Rafi menyakiti Rana. Gue benci ketika harus kembali menerima kenyataan bahwa Rana selalu memaafkan Rafi. Gue lebih benci ketika harus menerima kenyataan bahwa gue sangat mencintai Rana, tapi tetap tidak bisa memilikinya.
Ketika gue udah menemukan rumah untuk pulang, gue harus rela membagi rumah itu untuk orang lain.
Ah, salah.
Gue yang bertamu ditempat yang salah.
“Maaf Rana, aku sudah mengambil celah yang seharusnya ‘gak perlu ada.”
“Dith. Aku pasti akan menyesal..”
“’Gak perlu, Ran. Rafi itu lelaki yang baik. Ia akan menjaga kamu. Ia sudah berjanji untuk tidak menyakitimu lagi. Kau pun sudah memaafkannya, selalu memaafkannya. Kamu ‘gak sadar, Ran.. kamu mencintainya.”
Gue mulai menangis.
“Dith..”
“Jangan Ran, aku terlalu cinta sama kamu. Jangan beri aku harapan lebih dari ini.”
“Aku ingin bersama kamu, Dith.”
“Oh ya? Kamu sanggup meninggalkan Rafi? Kamu sanggup menerima hujatan luar biasa ketika menjalin hubungan denganku, Ran? Kamu sanggup kehilangan comfort zone mu saat ini?”
“…”
“Kalau cuma aku yang pergi, kamu masih bisa bersama Rafi. Kamu ‘gak akan kehilangan comfort zone mu. Kamu cuma kehilangan aku.. tapi tenang saja, aku cuma pergi sebentar, setelah itu kamu akan melihat aku lagi.”
“…”
“Tenang saja, Ranaku. Aku ini laki-laki yang pandai menyembunyikan perasaan. Aku pasti sanggup hidup tanpa kamu. Aku pasti sanggup bersikap seolah ‘gak pernah terjadi sesuatu diantara kita.”
“Justru itu yang aku takutkan..”
“Apa?”
“Aku takut kamu akan bersikap biasa, atau malah bahkan mengacuhkanku. Aku takut akan menatapmu dengan penuh kerinduan dan penyesalan.”
“Lantas, apa yang kau harapkan dariku? Kau mau hubungan kita tetap seperti ini? Kamu tidak mengambil keputusan, Rana. Tetapi aku harus. Setidaknya dengan begitu, aku tahu dimana aku harus berdiri.”
“…”
“Apa yang kurang dariku, Ran? Apa yang membuatmu begitu memilihnya dibanding aku? Mengapa ‘gak ada yang setuju dengan hubungan kita, Ran? Mengapa semuanya bilang aku yang salah karena mencintaimu? Apa aku sebegitu ‘gak layaknya ada di sisimu? Mengapa Rana.. Mengapa harus kamu…”
“Dith..”
“Sudahlah, Ran. Cepat atau lambat, kita akan berhenti. Bukan berhenti saling mencintai, tapi berhenti saling menyakiti.”
“…”
Semuanya mengalir begitu saja. ‘Gak ada yang terlewat satupun. Senyuman yang selalu gue suguhkan didepan Rana, waktu yang selalu gue curi untuk bisa sekedar ngobrol dengan Rana, semua kebersamaan singkat yang sangat menyenangkan. Tempat-tempat yang pernah kami kunjungi berdua, berbagi lagu kesukaan, ah. Segala uneg-uneg yang gue sembunyikan rapat mengalir begitu saja, seolah sudah ‘gak terbendung lagi.
Gue ‘gak yakin akan sanggup melupakan Rana dalam waktu dekat.
**
Lihat, Dith.. Dia masih bisa tertawa. Gue rindu tawanya, meskipun ‘gak pernah seceria dulu. Rana lebih banyak diam. Dalam diamnya, gue menemukan ruang kosong yang dibiarkannya begitu saja. Mungkinkah, itu milik gue? Entahlah. Gue cuma bisa meminta maaf kepadanya dari dalam hati, sebesar-besarnya. Gue juga cuma bisa menjaganya sejauh ini. Gue bahkan ‘gak berani menatapnya. Takut akan menangkap rindu dan cinta disana.. kemudian menginginkannya kembali.
Gue juga lebih banyak diam, menghindari acara kumpul-kumpul, mencoba ‘gak kontak mata dengan dia, menjauhinya.. sejauh mungkin.. sampai gue siap untuk kembali, dengan perasaan yang beda.
Entah sampai kapan.
Rana.
Gue mungkin memang gak disamping lo, saat ini atau nanti… Ada ikatan transparan yang mengikat lo untuk tetap berada disamping Rafi, dan gue tahu itu apa. Kita pun punya ikatan, Ran. Ikatan batin yang sampai saat ini masih melekat erat dan gue jaga, gue pun tahu lo juga begitu. Meskipun gue ‘gak bisa memenuhi keinginan lo untuk selalu disisi lo dan tersenyum seperti dulu, tetapi gue akan selalu mencintai lo, Ran. Meskipun itu berarti gue ‘gak pernah memiliki lo.
Gue memberikan kehidupan gue untuk lo, Ran. So, please just let me feel this all alone. Biar gue yang pergi, biar lo tetap disini.
Biar Rana, biarkan.
Tersenyumlah, tertawalah seperti biasanya.
Everything’s gonna be alright, and the game was over.. J

No comments:

Post a Comment