.... ,
Pernahkah membayangkan
rasanya melihat seseorang yang kita cintai, tertawa mesra bersama orang lain
dan terlihat bersinar? Gue pernah.
Sekarang. Gue ‘gak pernah
membayangkan rasanya akan sesakit ini.
*
Gue
sering mengolok mereka yang ‘gak bisa bersikap tegas dengan hidup mereka
sendiri. Rela digandrungi kegalauan oleh orang lain dan diatur oleh hati. Gue juga sering menganggap remeh mereka
yang tergila-gila sama seseorang, sampai mengorbankan harga dirinya untuk
sesuatu yang kasat mata, yang bernama cinta.
That’s
bullshit!
Sampai sekarang gue benar-benar kena batunya. Jatuh
cinta sama seorang perempuan, yang –shit!–pacar
sahabat gue sendiri. Gue ‘gak paham lagi gimana harus
menjelaskan perasaan semacam gado-gado ini, campur aduk! Disatu sisi, dia pacar
sahabat gue. Bisa dianggap penghianat
dan rusaklah persahabatan gue cuma
gara-gara perempuan. Disisi lain, gue
cinta sama perempuan ini! Mungkin dunia udah kehabisan stok perempuan, sampai gue harus tertarik sama dia. Astaga.
Sekarang gue paham banget perasaan
galau itu kaya gimana. Galau ketika gue
harus bersikap calm down saat melihat
orang yang gue cinta pegangan tangan
di depan mata. Sama sahabat sendiri. Catet!
Sekarang gue juga jadi paham kenapa banyak novel-novel
atau cerita romansa yang mengisahkan cinta segitiga atau lagu-lagu dengan lirik
dramatis tentang cinta yang bertepuk sebelah tangan. Karena ternyata memang
terjadi. Dan gue salah satu dari
sekian banyak penganut triangle love.
Hidup gue mendadak melankolis. Kerealistisan gue mati total. Gue jadi ‘gak bisa berpikir jernih. Kalut kalau sehari ‘gak ketemu.
Dan makin kalut kalau ketemu. Jadi sering denger lagu-lagu melo’, update status
‘gak jelas, bengong-bengong terus, cengengesan sendirian, kadang ngamuk-ngamuk
juga sendirian. Ternyata hidup jadi sekompleks ini begitu disentuh cinta.
Sesuatu itu memang jadi
menakutkan kalau ia cuma bisa dirasa, gak bisa dilihat atau disentuh.
Angin aja bisa jadi
bencana puting beliung. Memporakporandakan kehidupan seseorang.
Sama kaya cinta. ‘Gak
bisa dilihat atau disentuh, tapi bisa bikin orang bahkan ‘gak punya keinginan
untuk hidup ketika ditinggalkan. See?
Ditinggalkan sesuatu yang bahkan ‘gak bisa dijadikan kepemilikan oleh siapapun.
Tapi rela.
Rela.
Entah harus berapa
puluh kali lagi gue mencerna kata
rela. Bagaimana gue bisa rela melihat
orang yang gue cintai bersikap seolah
tatapan gue kurang berarti buat dia.
Seolah keberadaan gue ‘gak pernah
dilihat. Seolah gue hanya seorang
sahabat pacarnya. Tapi gue rela.
RELA. Asalkan gue bisa ada di dekat
dia, melihat dia tertawa dan tersenyum. Ada rasa nyaman yang ‘gak bisa gue beli dimanapun, yang hanya bisa
diperoleh ketika gue berada di
dekatnya. Dan seandainya memang harga jualnya harus sesakit ini, toh buktinya gue rela.
Ironis banget.
Sekalinya gue mengalami cinta, harus langsung
terlibat dalam situasi kaya gini: Maju segan, mundur tak mau. Cinta sama bego
itu memang tipis ya bedanya.
Gue
adalah orang bego yang mencinta.
*
“Dith..”
Raditya Permana. Ya,
gue. Lelaki 25 tahun yang memilih hidup single dan normal sebagai manusia untuk
‘gak terlibat dengan urusan hati, mendadak jatuh cinta sama seorang perempuan
bernama Rana Restiani; yang notabenenya ialah pacar sahabat gue, Rafi Rafael.
Diperjelas lagi deh ya,
Gue…
Jatuh cinta…
Sama… …..
Shit!
*
“Radith!”
Deg. Baru denger suara
Rana aja gue udah jantungan kaya
gini. Olahraga yang sehat dan murah, meskipun bisa sakit jantung kalau
kelamaan. Calm down dong, Dith. Kaya
baru pertama jatuh cinta aja..
“Radiiittthhh!”
“Iya, Ran. Kenapa
teriak-teriak sih?”
Akhirnya gue bisa bersikap cool juga. Takut juga kalau kelihatan banyak bunga disekeliling gue saking girangnya.
“Rafi mana?”
Sorot mata Rana
mendadak melemah. Deg. Lagi-lagi jantungan. Kenapa harus nanya Rafi sama gue, Ran? – gue membatin. Iya, cuma bisa ngebatin.
“Lho, tadi kan sama elo. ‘gak gue kantongin juga sih. Coba ditelepon dulu.”
“’Gak aktif.”
Deg. Astaga Rana,
berhentilah bersuara seimut itu. Rasanya gue
pengen menelan lo bulat-bulat supaya ‘gak bisa ditemuin Rafi, terus dia cari
pacar lagi, terus lo jadi pacar gue.
Nah! Otak setaan!
“Radith! Kog malah
bengong ngeliatin gue sih? Gak ada yang aneh sama muka gue kan?”
“Engga kog, Ran.”
“Terus kenapa?”
“Lo can.. Eh. Engga.
Yaudah, ayo cari si gebleg itu.”
Sial. Hampir aja ini
mulut keceplosan. Momennya ‘gak pas banget buat bilang cantik. Tapi memang ‘gak
akan ada momen yang pas sih. Yaudahlah. Lo cantik, Ran. – gue membatin. Lagi-lagi cuma membatin.
“Nah. Itu dia si
gebleg. Tuh, lagi beli es krim di warung
Pakde.”
“Ah iya! Rafiii!”
Rana segera menghampiri
Rafi dan merangkul lengannya. Pemandangan yang harusnya udah lumrah. Tapi
sebaiknya gue menyingkir sebelum
pengen rebahan di aspal nungguin mobil lewat. Baru aja gue mau balik badan buat menyibukkan diri, Rana memanggil.
“Dith, mau kemana?
Sini, ikut kita ke Enhai yuk.”
Gue
bingung antara harus bunuh diri saat itu karena girang atau karena bakal rela
berjam-jam melihat kemesraan mereka. Setidaknya, gue punya sedikit ide cemerlang untuk mengantisipasi rasa sakit
ini.
“Enhai? Pake mobil gue aja yuk. Sekalian gue mau isi bensin. Apa mau bawa mobil
sendiri-sendiri aja?”
“Ayo pake mobil lo aja,
Dith. Tau aja gue lagi males nyetir.”
Rafi memang top best deh. Ini jawaban yang paling gue tunggu.
*
Beginilah posisinya.
Berhubung mobil gue cuma kapasitas
4-5-6 orang (6 orang kalau dipaksa pangku-pangkuan) a.k.a sedan; jadi gue nyetir, Rafi disebelah gue, dan Rana dibelakang. Lumayan
melegakan, jadi gue ‘gak perlu lihat
mereka gandengan tangan di mobil. Bahagianya, gue bisa curi-curi pandang lewat spion tengah. Licik memang.
Begitulah sepanjang
perjalanan, kita bertiga ngobrolin apa aja yang terlintas. Meskipun gue ‘gak suka ngobrolin orang, tapi
kalau ada Rana, mulut gue lebih bocor
dari gayung bolong, semuanya mengalir begitu aja tanpa ada yang terlewat.
Ngobrolnya bertiga ya, bukan berdua. Seandainya tadi pakai mobilnya Rafi, gue yakin 100% gue bakal menjelma jadi obat nyamuk bakar wangi lavender. Duduk di
jok tengah, autis sama blackberry
sendirian. Mirip kaya lagi nonton sinetron, dan ‘gak bisa ganti channel.
Alamak.
Gue
pun bisa pasang playlist galau sesuka hati buat menyampaikan perasaan gue ke Rana. Semoga aja dia ‘ngeh. Tapi gue ‘gak mau terlalu banyak berharap.
Kalau mau jatuh ya pelan-pelan, jangan sekaligus. Meskipun gue ‘gak bisa mengontrol kapan, bagaimana dan dimana gue jatuh, setidaknya gue bisa berhati-hati untuk ‘gak
terpeleset. Orang yang lagi jatuh cinta kadang suka lupa kalau ada sakit ketika
mereka sampai pada dasarnya.
Ide gue muncul lagi. Supaya nanti pas makan gue ‘gak jadi candle di meja, baiknya gue ajak temen-temen yang lain buat
ikutan. Jadi, gue tetap bisa
menikmati waktu bersamanya tanpa harus membiarkan hati gue terluka. Sedikit bertindak licik untuk menjaga perasaan, boleh
kan.
Rencana gue berhasil. Tuhan sedang berpihak pada
tuna asmara-Nya.
**
Baru saja gue parkir mobil di belakang mobil Rafi.
Ada seorang perempuan, tapi jelas bukan Rana. Gue baru saja ketemu dia sebelum kesini. Cantik, putih, ‘gak
terlalu tinggi, dan agak jutek. Gue
spontan mengurai senyum dan bergegas masuk ke dapur, menemui Rafi yang sedang
membuatkan minuman. Sementara Bara dan Adrian sedang sibuk bermain playstation
di ruang tengah.
“Fi, siapa?”
“Indah.”
“Iya, siapa?”
“…”
“Lo ‘ngeduain Rana?” gue bertanya hati-hati supaya ‘gak
terlihat seperti ingin menyerang. Berbisik tepatnya.
“Mencari tahu aja.”
“Mencari tahu apa, Fi?”
“Cuma mau main aja,
kog. Lo kaya ‘gak kenal gue, deh.”
“Justru karena gue kenal banget sama lo.”
“…”
Gue
segera keluar menuju teras dan menyulut sebatang rokok. Mendadak hawa menjadi
panas buat gue. Berkali-kali pemikiran
gue balik lagi ke konsep rela, kali
ini gue yakin gue ‘gak rela. Gue ‘gak
rela kalau Rana harus disakiti kaya gini. Siapapun gue, walaupun gue cuma sekedar sahabat pacarnya, meskipun gue
sekedar secret admirernya, meskipun
gue bukan siapa-siapanya.. tapi gue ‘gak rela.. kalau perempuan yang gue
cintai, disakiti oleh orang yang dia cintai.
Miris.
Tekad gue sudah bulat! Gue akan merebut Rana dari lo, Fi.
Fuck
off with our friendshit…
*
Gerilya dimulai.
Entah setan apa yang
merasuki gue untuk mulai menghubungi
Rana secara personal, dan intens. Gue cuma berpikir bahwa perempuan
seperti Rana harus diberitahu bahwa dia terlalu berharga untuk disakiti. Gue selalu sensitif kalau melihat
perempuan disakiti. Bayangan nyokap selalu terlintas seolah mengingatkan bahwa
perempuan itu mahluk yang harus dilindungi. Mungkin itu jugalah alasan gue membatasi diri dengan perasaan; gue sebisa mungkin menghindari menyakiti
perempuan.
Rafi, Lo harus tahu
rasanya bagaimana ketika seorang yang lo cintai, direbut tepat dihadapan lo..
I’m
sorry for do that, man. Game start.
*
Sebulan terakhir gue menghabiskan sepanjang malam sampai
pagi hanya untuk mengobrol dengan Rana via telepon. Waktu yang biasanya gue isi dengan ‘ngegame atau online,
sekarang gue dedikasikan spesial buat
bikin kuping pengang dan panas. Ya, buat lebih dekat dengan Rana. Menyenangkan
setiap kali bertanya, “how your day?”
dan kemudian mendengarkan dia bercerita tentang kesehariannya, kegiatannya
dikampus, kesukaannya, keluh kesahnya, dan segala sesuatu tentang dia. Rasanya
seperti sedang face to face dengan
dia. Lagi-lagi, yang seperti ini ‘gak bisa dibayar berapapun harganya.
Gue
jadi semakin yakin untuk mendekati Rana, ketika gue tahu kalau Rafi sudah dua kali tertangkap basah sedang bersama
perempuan lain, dan dia ‘gak mengakuinya. Gue
yakin kalau Rafi ‘gak benar-benar serius dengan Rana. Rafi mulai jarang membawa
Rana turut serta ketika kumpul, bahkan mulai jarang juga berkumpul bersama
kami. Yang gue tahu, setelah Indah;
dia sedang dekat dengan seorang perempuan lagi, tapi gue ‘gak bertanya lebih jauh.
Kegilaan Rafi membuat
celah menjadi semakin lebar. Rana jadi sering sendirian. Gue juga jadi gampang menghubungi dan menemuinya. Sekali waktu Rana
mengundang gue ke sebuah acara, dan
dari situ hubungan kami semakin intens. Gue
mempelajari dengan baik dan berhati-hati agar semuanya ‘gak curiga. Sampai gue mantap untuk mengungkapkan perasaan gue, ya, setidaknya gue tahu, gue akan punya
harapan atau engga. Setidaknya gue
bisa sedikit bernafas lega karena orang yang gue cinta, tahu apa yang gue
rasakan.
“Rana..”
“Ya Dith?”
“Sadar ‘gak sih kalau
selama ini itu gue memperhatikan lo?”
“Maksudnya?”
“Aku sayang sama kamu,
Ran.”
“Tapi, Dith..”
“Aku tahu. Aku udah
lama tertarik sama kamu, Ran. Cuma aku ‘gak pernah punya kesempatan yang pas
aja untuk bilang. Sebenarnya sekarangpun engga, dan ‘gak akan pernah ada waktu
yang pas. Aku cuma mau bilang itu aja kog, Ran. Aku cuma mau kamu tahu, aku
akan selalu ada buat kamu..”
“Aku ‘gak tau harus
bilang apa, Dith. Rasanya mendadak jadi kompleks.”
“Aku ‘gak minta kamu
bilang apa-apa kog, aku cuma mau kamu tahu.”
“Makasi ya, Dith.”
“You’re
welcome.”
**
Rana mencintai Rafi.
Harusnya gue paham konsep itu dari
awal sebelum semua ini dimulai. Gue
harusnya sadar kalau yang cinta gue
ke Rana sedalam cinta Rana kepada Rafi, sehingga orang-orang semacam kami selalu
siap dibodoh-bodohi perasaan.
Rana akhirnya tahu
perilaku Rafi. Dia tidak menangis dihadapan gue,
tapi gue tahu dalam hatinya sudah
berteriak. Pilu wajahnya tiap berjumpa dengan gue. Sesungging senyumnya yang tulus, meskipun tatapannya tidak. Dia
perempuan hebat, sekaligus bodoh, yang selalu membiarkan dirinya sakit, demi
orang yang dicintainya.
Gue
kalah dalam permainan gue sendiri.
**
Banyak yang bilang
kalau orang mabuk itu jadi bego. Sebenarnya, orang yang lagi mabuk itu
menunjukkan apa yang mereka ‘gak pernah perlihatkan dan katakan aja. Gue pun begitu. Kalau gue cukup bodoh untuk mabuk, berarti gue sudah siap akan menjadi bodoh juga
untuk mengungkapkan segala uneg-uneg dari hati gue tanpa melihat perasaan orang lain lagi. Termasuk Rana.
Sepertinya gue baru melakukan kebodohan itu. Raut
wajah Rana mengatakan semuanya. Gue
mendadak ciut, ‘gaktau apa yang harus dilakukan lagi, gue merasa seperti prajurit kalah perang, cacat. Kalau aja semalam gue ‘gak perlu uring-uringan sampai
inget minuman. Kalau aja semalam gue
‘gak ngomong ke Rana. Kalau aja Rana ‘gak bilang kalau dia ‘gak mau kehilangan gue, tapi juga ‘gak bisa ninggalin Rafi.
Kalau aja Rana ‘gak menerima perasaan gue
dan membiarkannya tumbuh. Kalau aja gue
‘gak jatuh cinta sama Rana. Kalau aja… Rana bukan pacar Rafi.
Mungkin semuanya akan
lebih mudah.
Mungkin gue ‘gak akan sedramatis ini.
Mungkin gue ‘gak akan mabuk semalam.
Mungkin gue ‘gak akan menangis karena tahu akan
kehilangan dia.
Gue
benci ketika harus menerima kenyataan bahwa Rafi menyakiti Rana. Gue benci ketika harus kembali menerima
kenyataan bahwa Rana selalu memaafkan Rafi. Gue
lebih benci ketika harus menerima kenyataan bahwa gue sangat mencintai Rana, tapi tetap tidak bisa memilikinya.
Ketika gue udah menemukan rumah untuk pulang, gue harus rela membagi rumah itu untuk
orang lain.
Ah, salah.
Gue
yang bertamu ditempat yang salah.
“Maaf Rana, aku sudah
mengambil celah yang seharusnya ‘gak perlu ada.”
“Dith. Aku pasti akan
menyesal..”
“’Gak perlu, Ran. Rafi
itu lelaki yang baik. Ia akan menjaga kamu. Ia sudah berjanji untuk tidak
menyakitimu lagi. Kau pun sudah memaafkannya, selalu memaafkannya. Kamu ‘gak
sadar, Ran.. kamu mencintainya.”
Gue
mulai menangis.
“Dith..”
“Jangan Ran, aku
terlalu cinta sama kamu. Jangan beri aku harapan lebih dari ini.”
“Aku ingin bersama
kamu, Dith.”
“Oh ya? Kamu sanggup
meninggalkan Rafi? Kamu sanggup menerima hujatan luar biasa ketika menjalin
hubungan denganku, Ran? Kamu sanggup kehilangan comfort zone mu saat ini?”
“…”
“Kalau cuma aku yang
pergi, kamu masih bisa bersama Rafi. Kamu ‘gak akan kehilangan comfort zone mu. Kamu cuma kehilangan
aku.. tapi tenang saja, aku cuma pergi sebentar, setelah itu kamu akan melihat
aku lagi.”
“…”
“Tenang saja, Ranaku.
Aku ini laki-laki yang pandai menyembunyikan perasaan. Aku pasti sanggup hidup
tanpa kamu. Aku pasti sanggup bersikap seolah ‘gak pernah terjadi sesuatu
diantara kita.”
“Justru itu yang aku
takutkan..”
“Apa?”
“Aku takut kamu akan
bersikap biasa, atau malah bahkan mengacuhkanku. Aku takut akan menatapmu
dengan penuh kerinduan dan penyesalan.”
“Lantas, apa yang kau
harapkan dariku? Kau mau hubungan kita tetap seperti ini? Kamu tidak mengambil
keputusan, Rana. Tetapi aku harus. Setidaknya dengan begitu, aku tahu dimana
aku harus berdiri.”
“…”
“Apa yang kurang
dariku, Ran? Apa yang membuatmu begitu memilihnya dibanding aku? Mengapa ‘gak
ada yang setuju dengan hubungan kita, Ran? Mengapa semuanya bilang aku yang
salah karena mencintaimu? Apa aku sebegitu ‘gak layaknya ada di sisimu? Mengapa
Rana.. Mengapa harus kamu…”
“Dith..”
“Sudahlah, Ran. Cepat
atau lambat, kita akan berhenti. Bukan berhenti saling mencintai, tapi berhenti
saling menyakiti.”
“…”
Semuanya mengalir
begitu saja. ‘Gak ada yang terlewat satupun. Senyuman yang selalu gue suguhkan
didepan Rana, waktu yang selalu gue
curi untuk bisa sekedar ngobrol dengan Rana, semua kebersamaan singkat yang
sangat menyenangkan. Tempat-tempat yang pernah kami kunjungi berdua, berbagi
lagu kesukaan, ah. Segala uneg-uneg yang gue
sembunyikan rapat mengalir begitu saja, seolah sudah ‘gak terbendung lagi.
Gue
‘gak yakin akan sanggup melupakan Rana dalam waktu dekat.
**
Lihat, Dith.. Dia masih
bisa tertawa. Gue rindu tawanya,
meskipun ‘gak pernah seceria dulu. Rana lebih banyak diam. Dalam diamnya, gue menemukan ruang kosong yang
dibiarkannya begitu saja. Mungkinkah, itu milik gue? Entahlah. Gue cuma
bisa meminta maaf kepadanya dari dalam hati, sebesar-besarnya. Gue juga cuma bisa menjaganya sejauh
ini. Gue bahkan ‘gak berani
menatapnya. Takut akan menangkap rindu dan cinta disana.. kemudian
menginginkannya kembali.
Gue
juga lebih banyak diam, menghindari acara kumpul-kumpul, mencoba ‘gak kontak
mata dengan dia, menjauhinya.. sejauh mungkin.. sampai gue siap untuk kembali,
dengan perasaan yang beda.
Entah sampai kapan.
Rana.
Gue
mungkin memang gak disamping lo, saat ini atau nanti… Ada ikatan transparan
yang mengikat lo untuk tetap berada disamping Rafi, dan gue tahu itu apa. Kita pun punya ikatan, Ran. Ikatan batin yang
sampai saat ini masih melekat erat dan gue
jaga, gue pun tahu lo juga begitu.
Meskipun gue ‘gak bisa memenuhi
keinginan lo untuk selalu disisi lo dan tersenyum seperti dulu, tetapi gue akan selalu mencintai lo, Ran.
Meskipun itu berarti gue ‘gak pernah
memiliki lo.
Gue
memberikan kehidupan gue untuk lo,
Ran. So, please just let me feel this all
alone. Biar gue yang pergi, biar
lo tetap disini.
Biar Rana, biarkan.
Tersenyumlah,
tertawalah seperti biasanya.
Everything’s
gonna be alright, and the game was over.. J