.... ,
Rindu selalu datang dengan cara yang tak terduga.
Seperti saat ini misalnya, saat aku memandangi uap dari secangkir kopi dihadapanku.
Padahal aku tak punya kenangan tentang kopi. Padahal kita tak pernah punya
kenangan bersama kopi.
*
Gelas kopi kedua. Dan aku masih mengingatmu. Bahkan
kenangan tentang kita berputar-putar diatas kepalaku, mengelilingiku. Serius.
Rasanya menakutkan.
*
Sudah lebih dari 8 jam aku duduk di café ini. Diam
dan sendirian. Menatap layar kosong. Belum tertulis apa-apa. Pikiranku tersedot
oleh uap dari cangkir kopi ketiga. Rasanya lepas dan bebas. Sekejap, menggoda
dengan aroma yang memikat, kemudian hilang tak berbekas. Bahkan sampai
kuseruput habis ampasnya, aku tak juga menemukan hangat yang sama.
*
Seperti kamu.
*
Dua setengah tahun yang lalu kamu hadir dalam
kehidupanku, layaknya secangkir kopi panas dengan aroma pekat. Kepiawaianmu
menarik hati perempuan tidak pernah diragukan – seandainya ada kompetisi
laki-laki paling mempesona, aku yakin kamu akan masuk nominasi 3 besar, dan
keluar sebagai juara – tampan, mapan dan berkharisma. Tinggi tegap, kulit
kecoklatan, bersih, garis wajahmu terlihat tegas, memiliki tatapan mata yang
penuh keteduhan – dan aku yakin, tidak ada seorang wanitapun yang tidak luluh
ketika bertemu pandang denganmu – bibir setengah penuh yang selalu kubayangkan
bagaimana rasanya bermain-main disana, ditambah dengan lesung pipit yang
menyempil dikedua pipimu yang tirus; rasanya aku ingin terhisap didalamnya.
Cerdas, dengan argumen-argumen kreatif dan terarah, selalu terlihat stylish
dalam setelan apapun; bahkan aku selalu membayangkanmu tanpa sehelai benang.
Ah, nakal!
*
Eksistensiku sebagai seorang penulis luluh. Seolah
kata sempurna tidak pernah cukup.
*
Aku senang menggerayangimu melalui mataku. Demi
Tuhan, kau adalah ciptaan-Nya yang sangat menakjubkan! Tiap lekuk tubuhmu
adalah kesempurnaan yang tidak terlukiskan melalui kata-kata. Aku curiga kau
bahkan punya sayap dipunggungmu.
*
Oke, mungkin sedikit berlebihan.
*
Dan kemarin, kau baru saja mencampakkanku. Tanpa
ampas. Berkali kujilati dinding cangkir kebersamaan kita, dan tak kau tinggalkan
bekas. Kau menghilang begitu saja.
*
Barang-barangmu hilang, bahkan semua pakaian di
keranjang kotor lenyap tak bersisa. Haruskah aku mengintrogasi pihak binatu
atas hilangnya dirimu? Layaknya terhisap lubang hitam, kau hilang. Tak
berbekas. Mungkin setelah ini aku akan menghubungi NASA untuk melacakmu. Ah.
Tidak mungkin..
*
Gelas kopi keempat. Sepertinya kondisiku mulai
memprihatinkan. Mungkin aku harus berhenti membayangkanmu layaknya uap kopi,
atau aku akan mati karena terlalu banyak mengkonsumsi kopi.
*
Ralat. Mengkonsumsimu, tepatnya.
*
Aku seperti berada dalam kondisi sakau, atau, lebih
dari itu. Setidaknya ketika sakau, kita masih dapat mencari dan menodong pengedar
untuk mendapatkan sedikit heroin dan teman-temannya, kemudian sakau berubah
menjadi nikmat. Sementara aku, harus pasrah mengigau namamu, yang jelas-jelas
telah lenyap diculik mahluk luar angkasa. Harusnya ku cloning kau lebih dari
satu.
*
Lihat. Uapnya begitu memikat. Gelas kopi kelima kali
ini mulai membuat jantungku berdetak lebih cepat. Sebentar lagi aku akan
benar-benar masuk Rumah Sakit.
*
Aku harus segera menghabiskan gelasku, dan harus jadi
gelas terakhir. Bergegas ke meja kasir dan membayar, kemudian keluar dari café
ini. Move on.
*
Berjalan beberapa waktu, kutemui kedai kopi. Lagi.
Aku berhenti didepannya. Kemudian seorang waiters datang menghampiri,
mempersilahkan duduk dan aku menurut. Ia memilihkan tempat di sudut café yang
langsung menghadap keluar, dan aku dapat memandangi hilir mudik orang lewat. Ia
segera merekomendasikan kopi terbaik, sejurus kemudian aku memesan.
*
“Saya pesan secangkir kopi tanpa ampas, yang uapnya
tak akan habis dimakan waktu.”
No comments:
Post a Comment