Matamu yang kiri seakan mata kananku yang tertukar, begitu lama kita bertatapan. Kosong.
Kemudian semua menjadi samar, kita lamat kehilangan pandangan.
Seberapa sampai pesanmu yang bisu dan membisukan diri namun berpura-pura bersuara dan berusaha?
Berusaha adalah cara terakhir yang ku punya. Semata-mata untuk membuat kau seolah-olah ada. Setidaknya aku tidak lagi bercakap dengan dinding. Aku kini punya bayangmu. Dalam tatapan mataku.
Kini telah berkuntum-kuntum bunga mekar: wanginya itulah buah ciuman kita yang tak pernah usai. Di dasar kesadaran, aku ingin mendaras saripati kesabaran dalam merindukanmu. Saat ku bilang akan menemanimu berlari, barangkali akulah yang sesungguhnya memintamu menemaniku berlari. Aku ingin menikmati kepedihan ini, dengan cara yang paling rahasia, yang airmatapun tak akan pernah bisa merasakan kesakitannya.
Rahasia seharusnya tetap menjadi rahasia dan mengekalah rasa. Biar ku tulis di kanvas milikmu, namaku. Atau inisial kita. Supaya waktu tak pernah merebut hak kepemilikannya.
Waktu jahat.
Ia suka membiarkan banyak senyum berlalu terlalu cepat. Dan membiarkan sakit jadi terlalu lambat.
Luluhlantahlah semesta. Jatuh cinta bisa membuat pujangga kehilangan kalimatnya. Rupanya, cinta sedalam itu.