Wednesday, September 26, 2012

Hilang

.... ,

Kata orang, cinta itu buta. Bagiku, cinta tak pernah buta. Ia hanya memalingkan wajah untuk melihat kenyataan yang kadang tidak berjalan sesuai kehendaknya.
Apa ukuran untuk menghitung cinta? Satuan? Kilometer? Netto? Gram? Celcius? Semua manusia yang pernah ku kenal mengajariku berhitung kadar cinta mereka. Materi, kesenangan, kebahagiaan? Tapi tak ada yang benar-benar puas. Cinta menjelma menjadi serupa pundi-pundi ketika kau mulai menghitungnya. Dan semua pengorbanan mendadak terasa mahal ketika kau telah kehilangan.
 Jika cinta benar bisa diukur, mungkin saja aku bisa menagih cinta yang pernah ku berikan padamu untuk membayar semua sesalku atas kebodohan kita.
*
Ruang berukuran 6x7m ini mulai terasa sesak untuk ku. Aku dapat mendengarkan bunyi degup jantungku sendiri. Hanya ada sebuah ranjang kecil berseprai putih dan sofa kulit warna merah, tempatku duduk saat ini. Perutku mual, aku terlalu gugup. Tidak. Aku sangat gugup sekali. Rasanya lebih menegangkan dari menonton film horor Jepang atau menunggu giliran sidang akhir. Seandainya ada pilihan lain yang dapat ku lakukan selain menunggu disini, mungkin aku akan memanfaatkan pilihan itu.
Tetapi aku tahu, meskipun selalu ada pilihan; aku tak pernah berani memilihnya.
*
Aku telah melihatmu. Kita telah menghabiskan 14 minggu lebih bersama. Berbagi kesukaanmu, dan ketidaksukaanmu. Kau tidak suka aroma bumbu kacang. Kau tidak suka aroma jamu, seperti aku juga tidak menyukainya. Kau suka dipeluk. Aku sangat suka menyentuhmu. Kau manis, sayang. Aku telah mencintaimu bahkan sebelum kita sempat bertemu.
Dan kadang, cinta membuat kita menjadi terlalu bodoh dan naif.
*
Aku memeluk selimut untuk menutupi tubuhku ketika kau sibuk berpakaian. Kemudian kau terdiam menghadap kalender dinding dan menoleh kearahku, “Ve, kamu belum haid ya bulan ini?”
“Iya sih. Mungkin terlambat kali, Dith.” Aku tak begitu mengindahkannya, aku meraih bantal dan memilih untuk tidur.
*
Ada yang mulai terasa ganjil dari tubuhku. Nafsu makanku menurun drastis, berat badanku pun menurun. Aku juga mudah lelah. Hampir setiap hari aku muntah-muntah tanpa alasan. Rasanya seperti masuk angin yang tak kunjung sembuh. Mulanya aku berpikir maagku kambuh dan memarah, karena hampir semua jenis makanan tak dapat ku telan. Aku jadi tak suka terik matahari dan aroma-aroma menyengat. Emosiku pun menjadi tak stabil, sering tiba-tiba mellow dan marah-marah karena hal kecil.
“Dith, jauhkan bumbu kacang itu dari hadapanku. Aku mual mencium aromanya.” Aku menunjuk kearah piring berisi bumbu kacang sisa cemilan tempe mendoanku tadi pagi.
“Sejak kapan kamu jadi terlalu peka dengan bau-bauan?” Radith lantas menyingkirkan piring itu dari atas meja.
“Entah. Yang pasti aku ‘gak suka aromanya.” Aku memicingkan alisku kearahnya, menunjukkan wajah tak suka.
“Ternyata benar kamu hamil.” Ia menghela nafas panjang.
“Dith, jangan menakuti aku! Aku pernah terlambat haid sampai 3 bulan.” Aku mencoba menyingkirkan ketakutanku sendiri dengan membela diri.
“Berdoa saja aku salah.”
*
Test pack itu bergaris dua. Lahar panas mulai terasa diujung mataku, “Hasilnya positif, Dith.”
“Aku sudah menduganya. Bukankah dari awal sudah ku katakan padamu?” jawabnya tenang, tanpa merasa khawatir sama sekali.
“…” aku mendongak, menarik nafas dalam-dalam, berusaha menahan tangis yang akan pecah.
“Jangan menangis. Dia belum waktunya ada, Ve.” Ia meraih tubuhku kearahnya. Hangat. Kemudian tumpahlah semua airmata yang tertahan.
“Karena itulah aku menangis. Karena aku tau, aku harus merelakannya pergi.” Ujarku terisak. Tidak kah kau menginginkan anakmu, Dith? Batinku. Aku mempererat pelukanku.
*
Setelah test pack menunjukkan hasil positif, kami mulai sibuk mencari cara untuk menggugurkanmu. Dari mulai makan nanas muda, meminum jamu pelancar haid yang konon katanya bisa digunakan untuk menggugurkan kandungan, minum minuman beralkohol untuk merusak kandungan, mengkonsumsi pil KB, melakukan olahraga berat, beraktifitas dengan menggunakan heels sehari-harinya, hingga mengkonsumsi beberapa jenis obat yang biasa digunakan untuk menggugurkan kandungan dari dalam.
Obat itu sejenis tablet, terdiri dari 2 warna dan 2 fungsi dengan ukuran yang tidak sama. Yang satu berbentuk bulat dan satunya sedikit lebih lonjong. Salah satu obat itu harus dimasukkan kedalam vagina setiap harinya, selama 3 hari berturut-turut, sementara yang satunya diminum sehari 3x setelah makan.
Aku selalu menahan tangis setiap kali aku meminum jamu-jamuan dan obat. Berulang kali meminta maaf kepadamu. Tak jarang protesmu muncul tiap kali aku berusaha membunuhmu dari dalam. Kau memaksaku memuntahkan kembali apapun yang masuk kedalam mulutku.
Dan kau adalah anak yang kuat. Ketakutanmu menjadi kekuatanmu. Segala cara telah ku tempuh untuk meniadakanmu, namun kau semakin erat memelukku.  “jangan bunuh aku, ma.” bisikmu menggema dalam hatiku.
Kami berdua telah menjelma menjadi dua orang bodoh yang hendak lari dari tanggung jawab.
*
Sesekali waktu, kami seperti begitu mengingkanmu. Aku membelaimu dengan hangat, merasakan detakmu yang mulai ada dan pergeseran kecilmu yang mengejutkan. Begitupun Radith. Aku tahu bagaimana perasaannya ketika membelaimu dan merasakan kehadiranmu di rahimku. Ia mencium perutku lama, tempatmu bernaung. Seolah meminta ijin untuk melepaskanmu.
*
“Ve, aku tahu tempat untuk menggurkannya.”
Mendadak detak jantungku seolah berhenti.
“Jangan cemas, ini sebuah klinik. Temanku pernah melakukannya juga disana.”
“Berapa biayanya?”
“Jangan khawatirkan itu, aku akan mengusahakannya.”
*
Tibalah aku diruangan ini. Ruangan berukuran 6x7m ini. Ruangan dengan sebuah ranjang berseprai putih dan sofa kulit merah. Ruangan ini punya 3 pintu. Pintu tempatku masuk, pintu menuju keluar dan pintu kearah ruangan lain. Kami berdua diam. Tak sepatah pun keluar dariku maupun Radith.
Salah satu pintu itu terbuka, seorang perempuan berkerudung paruh baya muncul dari baliknya. Ia tersenyum kearahku dan memanggilku mengikutinya.
“Kemari. Berbaringlah disini.” Ia menunjuk kearah ranjang diruangan lainnya dengan mesin berlayar didepannya. Ada dua orang perempuan lain disana menyiapkan peralatan, entah apa. Aku menuruti dan Radith berdiri disampingku. Aku menggenggam tangannya erat, meski tanpa sepatah kata.
Perempuan itu mengangkat kaosku dan mengoleskan perutku dengan cairan serupa gel yang dingin. Sementara seorang rekannya menghadapkan layar itu kepadaku dan Radith, dan yang lain menyelimuti bagian kakiku dengan selimut kecil. Perempuan itu  menggerak-gerakkan alat serupa rol deodorant di perutku dengan sedikit menekan.
“Lihat. Ini lho janinnya. Sudah besar ya.”
Aku memandangi layar dengan tatapan pilu. Aku dapat melihat mahluk kecil berdetak disana, dengan wujudnya yang telah utuh.
“Ini sudah terbentuk semua anggota tubuh dan jaringan syarafnya. Sudah bernyawa. Lihat, ini tangannya, jari-jarinya. Ini kepalanya.”
Lagi-lagi aku hanya bisa diam dan mengutuki diriku sendiri dalam hati.
“Ini usianya kurang lebih sudah 14 minggu, pak, bu. Sulit untuk dikeluarkan dengan cara biasa. ini harus dioperasi.”
“Maksudnya, dok?” Radith mulai angkat bicara.
“Ya, ini harus divaccum. Divaccum itu artinya disedot keluar. Karena sudah berbentuk manusia utuh, jalan satu-satunya mengeluarkannya dengan membunuhnya dulu di dalam, baru kemudian disedot keluar. Kalau dikuret, nanti akan membahayakan nyawa ibunya juga. Beresiko.”
Aku mempererat genggamanku.
“Itu bagaimana prosesnya, dok?” lanjut Radith.
“Nanti, si ibu akan dimasukkan obat dengan alat. Kemudian, kita akan menunggu reaksi obat itu selama 1-2 jam. Baru setelah itu akan dioperasi vaccum.”
Aku tersenyum getir. Radith terdiam.
“Negosiasi biayanya diluar saja ya, pak.” Perempuan itu kemudian menutup kaosku dan mematikan layar sambil beranjak keluar.
*
“Nah, kamu pipis dulu ya. Setelah itu masuk lagi kemari.”
*
Aku kembali ke ruangan berukuran 6x7m ini. Kali ini sendirian. Berharap-harap cemas sendiri.
*
Perempuan itu kembali masuk dan menyuruhku melepaskan celana panjang dan dalamanku, kemudian mengajakku untuk naik ke ranjang. Ia menaikkan kedua pangkal kakiku hingga aku mengangkang lebar. Ia dan dua rekannya menyiapkan peralatan serupa tang dengan ujung tumpul yang panjang dan besar. Diujungnya diletakkan dua tablet obat yang masing-masing telah dipatahkan menjadi dua.
“Tahan ya. Sebentar saja kog. Rileks, jangan tegang. Semakin kamu tegang, semakin sulit saya memasukkan obat-obatan ini dan kamu akan semakin sakit.”
Rasanya sakit dan dingin, seperti ada sesuatu yang menusuk dan mengoyak-oyak. Aku berteriak. Tidak bisa tidak tegang. Tidak bisa tidak merasa takut. Tidak bisa tidak merasa bersalah.
*
Setelah setengah jam berperang dengan rasa sakit itu, ia membawaku ke sebuah ruangan lain yang juga hanya berisi sebuah ranjang dan kursi. Ada sebuah cermin menghadap kearah ranjang dan jendela besar tepat dibelakang ranjang. Aku berbaring, tak lama Radith muncul. Wajahnya pucat, meski aku tahu wajahku pasti lebih pucat darinya.
Aku meraih tangannya dan mulai menangis.
“Sakiiit…”
Ia menatapku nanar, mencoba menguatkan. “Sabar sebentar ya, Ve. Setelahnya pasti akan baik-baik saja.”
“Tadi aku dimasukin obat, ‘gaktau obat apa. Kaya ditusuk rasanya, Dith.”
“Iya, udah ya jangan nangis. Nanti makin sakit kalo nangis.”
Aku terisak mencoba meredakan tangisku, sekaligus menahan sakit yang semakin menjadi.
*
Setengah jam, satu, satu setengah jam berlalu. Aku ingin keluar, aku ingin muntah. Perutku terasa sangat mual. Belum sampai di depan pintu, aku terjatuh, muntah disana. hanya air, tidak ada apa-apa lagi yang ku muntahkan. Radith segera mengangkat dan menggendongku kembali ke atas ranjang.
*
“Ayo bu, sudah dua jam.”
Dengan langkah gontai aku mengikutinya, Radith mengantarku sampai di depan pintu ruangan. Lagi-lagi ruangan berukuran 6x7m ini. Di sofa telah duduk seorang lelaki berusia sekitar 40an. Ia tersenyum ramah kearahku, menyuruhku melepaskan celana dan berbaring di ranjang.
Kemudian perempuan berkerudung itu kembali dengan dua rekannya tadi, lengkap dengan peralatan-peralatan. Aku dapat melihat mesin USG dan selang berukuran agak lebar. Aku meletakkan kedua kakiku mengangkang dan ia duduk persis menghadap selangkanganku. Salah seorang perempuan menyiapkan suntikan, berdebat singkat dengan si lelaki dan kemudian mengganti cairan yang akan diisi kedalam suntikan. Seorang lainnya memasangkan selang oksigen kepadaku, sementara satu cairan bius telah bersarang di pangkal pahaku.
“Rileks, atur nafasnya ya.” ujar perempuan berkerudung itu tersenyum.
Beberapa menit berlalu, aku masih bisa merasakan ada sesuatu yang sedang dipasang diantara selangkanganku. Kemudian ada deru suara mesin. Aku merasa ada sesuatu dipaksa keluar dari perutku.
*
Maaf. Aku tahu kata itu tidak pernah akan cukup untukmu. Batinku.
*
Tidak ada perih. Tidak ada luka. Perempuan berkerudung itu kembali mengoleskan cairan dingin itu dan menggerak-gerakkan benda serupa rol deodorant diperutku. Kosong. Layar tidak lagi menunjukkan wujudmu. Kamu benar-benar telah keluar dari rahimku. Ada lega dengan sesal yang teramat berdenyut-denyut dalam hati.
Si lelaki berpamitan dan bergegas keluar, sementara si perempuan memaksaku duduk dan membantuku memakai celana. Ia menyelipkan sebuah pembalut pada celana dalamku.
“Tinggal sisa-sisa aja darahnya, paling sekitar sehari dua hari. Persis kaya haid. Nanti ada resep dan obat yang harus diminum ya.”
*
Sekarang, tinggal nyeri yang terasa dan trauma yang tersisa. Sisa bius kemarin membuat pangkal pahaku mati rasa, aku sulit untuk berjalan; bahkan untuk berdiri saja perlu dibantu.
Semua orang pernah patah hati karena ditinggal kekasihnya, tetapi tak semuanya benar-benar patah. Mungkin seperti inilah rasanya benar-benar patah dan hancur berkeping-keping. Rasanya seperti ada sesuatu yang telah diambil dan dicuri dariku, sehingga aku merasa sangat kehilangan. Sesuatu yang telah menyatu denganku, yang didalam tubuhnya telah mengalir darahku. Sesuatu yang denyut dan nafasnya seirama denganku.
Aku tidak hanya patah hati, seluruh tubuhku pun telah ikut patah.
Aku membelai perutku tempat tinggalmu dulu. Mengingat kebersamaan kita. Mengingat kebodohanku. Mengingat sesal yang terus menerus menghantui. Aborsi tidak hanya menguras kantong, tetapi juga ikut menguras hatiku didalamnya.
Kadang ada pikiran kenapa tidak sejak awal saja, sebelum kamu telah bernyawa. Mungkin rasanya tidak akan sesakit saat ini. Kadang terlintas, kenapa harus sampai kebablasan dan lupa diri. Kadang pula aku berpikir, kenapa aku tidak melahirkanmu saja? Aku terlalu takut untuk menghadapi kenyataan nanti, masa depan dan nama baik, sehingga aku lupa, kau juga berhak punya masa depan.
*
Dan penyesalan memang selalu muncul belakangan.
Kata orang cinta itu buta. Menurutku ia tidak buta, ia hanya suka bertindak bodoh.

Tuesday, September 18, 2012

Abstraksi

.... ,
Judul tulisan ini Rindu.

Penulisnya aku.

Disusun sebagai hasil konspirasi jarak dan waktu.

Pemicunya kamu.

Tujuannya supaya kita bisa bertemu, saling mengobati rindu.

Abstrak

.... ,
Abstrak itu tak terdefinisi, karenanya disebut abstrak.
Tak berbentuk, tapi seluruh tubuh bereaksi penuh.

Seolah ada senyawa yang menyentuh.

Patah hati sepertinya serupa saat jatuh hati.
Jatuh,
dan Patah,
Sama-sama terasa ngilu.

Terutama disaat tak ada labuhan empuk tempat kita jatuh.

Seperti hujan,
ia tak bisa memilih jatuh kepada apa dan siapa,
Yang dia tahu,
Bumilah tempat terakhirnya jatuh.

Kemudian menyesap.
Untuk kembali terangkat ke awan dan jatuh, sebagai hujan.

Berulang-ulang.

Ia selalu mencintai bumi, kurasa.

- siklus cinta hujan kepada bumi yang dibawa awan mendung.
Matahari jadi perantara cintanya,
yang terlalu RUMIT.

Otak vs Hati

.... ,

Sebut saja aku rasa. Senyawa aktif yang hidup ditiap mahluk, termasuk manusia. Sifatku kasat mata. Bahkan hampir tak memiliki rupa. Seperti oksigen yang terhirup keluar masuk peparu, aku suka melintas menggoda pikiran, kadang singgah sejenak untuk minum kopi bersama pikiran-pikiran busuk manusia, kemudian pergi begitu saja. Berkelana mencari celah dari gelisah. 
Hei, akulah pembawa resahmu!
Katanya aku bisa dimanipulasi, kenyataannya otaklah yang suka memanipulasi aku! Memperdaya aku dengan realitas yang tak sepihak denganku. Otak terlalu ego, takut kehilangan perannya.
Padahal, tidak semua hal harus dipikirkan kan?

Sebut saja aku otak. Organ terintim mahluk hidup, juga manusia. Aku menciptakan pikiran, mengendalikan gerak. Termasuk rasa. Ia adalah penghianat kecil yang tak pernah mengakui aku sebagai penciptanya. Selalu berusaha unjuk gigi, mengambil alih peranku.
Katanya aku memanipulasi rasa, kenyataannya rasa lah yang membiarkan dirinya terjebak dalam realitas yang tak seharusnya. Rasa sangat ego, ingin selalu ada didepan dan dipentingkan.
Padahal, banyak hal yang lebih penting daripada rasa kan?

Aku manusia. Katanya aku dilengkapi akal dan budi, pikiran dan rasa. Aku selalu lemah terhadap rasa, tapi aku suka! 
Sama halnya ketika aku berpikir bagaimana harus merasakan.

Rindu, nya

.... ,

Rindu. Dimana aku harus meletakkanmu? Hati yang ku tuju terlalu sibuk, hingga lupa mengunjungimu.

Rindu. Aku kehabisan ruang. Kau meluap membanjiri setiap senti hati. Berkali-kali ku kuras, tetap saja tak tertampung. Hati yang ku tuju tak juga sampai, aku takut aku lelah menunggu.

Rindu.

Tuesday, September 11, 2012

Cermin dua arah

.... ,
Perbincangan sepasang cermin dua arah.

"Riak suara serak, erat memikat, pekat mengikat. Jiwa tak berhak berontak."

"Jiwa selalu berhak memberontak, terutama ketika jasad tak kuasa lagi menampung rindu yang menggeraung."

"Maka bangunkan aku peradaban yang seperti jiwaku."

"Apa dunia kita tidak cukup luas untuk kau jelajahi, pelaut? Bangunlah peradabanmu diantaranya. Di batas khatulistiwa hati bersemayam."

"Jiwaku hanyalah tugu kesenyapan abadi. Mencoba masuk dalam celah, namun runtuh dan hancur tertimpa geludhuk. Hilang, tuntas."

"Sejak kapan geludhuk pakai h, dear? Sejak sesuatu terlanjur mengkristal dan kau berusaha mengikisnya?"

"Hahaha... Tidak akan ada yang mengikis dan terkikis. Biarkan seperti itu, sampai pada akhirnya nanti akan ku rengkuh dalam dongeng yang kisahnya tak akan pernah habis, sampai tergilas kaki sang waktu yang sombong. Kita hilang."

"Hilang bukan berarti benar-benar hilang. Kenyataannya, kita hanya berpindah dimensi kepada yang semakin fana. Kita akan selalu bergandengan, tak pernah masuk dan keluar."

"Lalu kau teriakkan rindumu yang mengalun ramah pada setiap celah. Sadarkan kita, tidak lagi terjerat mimpi yang indah. Dan retakkan sinis dunia."

"Celah adalah retak kecil yang selalu menggoda. Seringkali membuatku lupa bahwa aku sudah setengah bolong. Pijakan kita tak pernah sama. Tapi selalu beriringan. Bukankah itu hebat?"

"Memang hebat. Lepaskan saruh, dan segera berlayar. Antar aku pada cakrawala itu."

"Cakrawala kita terletak dibatas tatap saat bertemu pandang. Bukankah kau sudah berkali-kali berlayar kesana dan tenggelam didalamnya?"

"Hahaha... Aku menyelam, melanglang buanak hiruk pikuk didalamnya. Menjelajahi setiap inchi didalamnya. Ku modifikasi dengan seuntai bait dan secawan tawa. Dan pada setiap akselerasimu, ada peranku didalamnya. Renovasi semua komponenmu agar kompresimu lebih padat, dengan merk "aku"."

"Gila... Katakan bagaimana aku harus tak jatuh hati? Hahaha."

"Begitupun aku. Hei... Bukankah pantulan cermin "mu" adalah "aku"?"

"Cermin adalah sekat bayang yang memisahkan kita jadi dua."

"Yaudah, kalau begitu 'gak usah pakai cermin deh. Framenya aja yang dipakai. Ahahaha..."

"Frame menjadi pembatas paling nyata, rupaya. Siapa yang akan menelusup masuk kepada siapa?"

"Wehe... Frame jadi pembatas ya. Itu sanggahan atau penjabaran? Lalu dunia ini menjadi frame untuk kita, "kamu" dan "aku". Kita sudah sama-sama saling menelusup, mengalir dengan eksotis, lebih cepat tanpa perlu bantuan nitro oksida. Atmosphere kita berubah. Tidak lagi haru, biru, kaku dan kelu."

"Tuhan, benarkah mahluk ini ciptaan-Mu? Jika demikian adanya, biarkan aku melebur bersamanya. Hanyut dalam tiap untaian kata dan sentuhannya. Berkali-kali mati dan hidup  kembali untuknya. Terbakar dalam tiap ego dan pesonanya. Kemudian membeku, di dalam hatinya. Jadi udara yang berputar disekelilingnya, jadi senyawa yang selalu melindunginya."

 "Haruskah aku terbakar karena setruman listrik dari Gardu, jika voltase mu mampu membuat hatiku gosong, hanya dengan sentuhan?"

"Kami dua element yang saling mematikan. Jika kau bisa tersengat oleh voltaseku, maka akupun telah kau tenggelamkan melalui pandangan mu, menyetubuhi pori-poriku dan jauh masuk ke dasar. Aku terjangkit dalam aura dan nuansamu."

"Tuhan, Kau pun menciptakan mahakarya-Mu dan menjadi salah satu element penting dari bagianku. Maka jangan Kau tentang jika aku ingin dengannya. Tuhan, jika Kau memberikan karma kepadaku, maka ijinkan aku merasakan hal yang terindah itu bersamanya. Tuhan, demikian aku bersyukur kepada-Mu."

"Apa kau masih ingin penawarnya?"

"Penawarnya, terlalu mahalkah, atau terlalu kroniskah sampai harus diberikan penawar? Penawarnya, Kamu!"

"Menurutmu, apakah kau tidak sedang dalam keadaan sekarat? Atau kau menikmati tiap injeksi aku ke dalam mu? Mengalir bersama darahmu, menjelajahi kubikel-kubikel tubuhmu; tiap milimeternya. Ku ciumi setitik demi setitik sudutmu. Menyatu dalam detak dan nafasmu. Menyabotase fungsi hati dan ginjalmu. Mematikanmu."

"Tuhan selalu terlalu maha. Setiap senyuman 3 detikku, dibalasnya dengan 3 tetes airmata."

"Tuhan selalu terlalu sempurna. Masing-masing dari 3 tetes airmata itu, ku tadahkan kedalam celah yang tandus."

"Aku sekarat. Seluruhnya mati fungsi. Bukankah itu yang kau inginkan? Agar tidak ada lagi yang mampu meretas code untuk menghidupkanku, mengaktifkan seluruh komponenku dan mengoperasikannya sesuai harapan mereka. Hanya kamu yang mampu meretas."

....

(with @rioandres)

Monday, September 10, 2012

Lebih dari favorit

.... , lihat. Begitu sulitnya berhenti menuliskan kamu. Kamu lebih dari favorit, sayang.

Namamu

.... ,
Namamu adalah rangkaian alphabet yang tak pernah lelah diucap bibirku, dan senantiasa dirindukan hatiku. Disebut dalam tiap igau dan doaku.

Namamu jugalah yang ku harapkan terpatri bersanding dengan namaku di satu lembaran awal kebahagiaanku, kelak. 
Dalam barisan kertas berhias tinta emas, juga kolom kartu keluarga.

Namamu yang terakhir akan ku tangisi. Diantara hamparan rangkai bunga tanda duka.

Untungnya, aku

.... ,
Untung hatiku tuli.
Ia tak peduli apa kata orang tentangmu.

Untung hatiku buta.
Ia tak peduli apa yang kau lakukan dibelakangku.

Untung hatiku tak bodoh.
Ia tetap memilih untuk hanya mencintaimu, bukan memilikimu.

Tunggu.. bukankah itu berarti hatiku cukup bodoh karena mencintaimu?
Entahlah.

Kalaupun iya, aku memilih untuk tidak pernah menjadi pintar.

Cinta serumit Kamu

.... ,
Cinta itu rumit, tuan.
Tak pernah cukup ditangkap logika.
Diukur dengan rumus matematika.
Bahkan oleh kata-kata.

Cinta itu rumit, nyonya.
Tak pernah terbatasi keyakinan.
Dihitung oleh jarak.
Bahkan oleh dinding usia.

Cinta itu rumit, kamu.
Kamu itu rumit, cinta.

Memahamimu tak cukup semalaman suntuk menjelang ujian;
tak bisa sistem kebut semalam.

Menemukanmu tak bisa hanya berputar-putar mengelilingi labirin;
yang mungkin tanpa jalan keluar.

Penuh ketidakpastian.

Kadang aku merasa kau tak ingin ditemukan.
Kadang aku merasa kau berlari menjauhi kebahagiaan.

Pasti yang tidak pasti.

Cinta itu rumit, kamu.
Tapi aku selalu ingin tenggelam didalamnya.

Menunggu - Kamu

.... , aku tidak mencari. Aku menunggu.

Dan aku,

.... ,
Dan aku terus berjalan. Meraba. Mengikuti jejakmu.

Yang entah,
telah meradang di pelupuk mataku.

Aku dan Bayang

.... , bayangmu. Terekam disetiap aku.

Aku lupa aku luka

.... ,
Aku lupa.
Orang yang ku cintai telah menikahkan hatinya dengan orang yang dicintainya.

Kini hanya mampu ku peluk dia dalam doa.

Sunday, September 09, 2012

Jarak dan Kita

.... ,
Sejauh-jauhnya jarak, ialah kita.

Kita tak pernah saling memiliki,
Namun selalu saling mencintai.

Bahkan dalam rindu pun, kita tetap menjadi jarak.

Disekat waktu pun, kita selalu terpisah jarak.

Kita dan jarak telah menjadi lekat.

Penghubung dan pemisah, sekaligus.

Dan aku,
telah terbiasa.

Pecah

.... ,
Berdamai dengan masa lalu. Berhenti bercermin.

Thursday, September 06, 2012

Blankout

.... ,
Kadang Tuhan terlalu kreatif menciptakan jalan akhir...

Bolehkah aku menyalahkan waktu?
Atau mungkin takdir saja.

Amplop dan Prangko

.... ,

Aku yang salah, atau kamu yang terlalu lekat?
Layaknya prangko di kertas amplop.
Sekalipun prangkonya bisa dicabut, stempel pengiriman tetap tercetak dikedua sisinya.

Saling mengingatkan bahwa keduanya pernah bersama.

Tidak Kali Ini

.... ,
Mungkin aku harus berhenti untuk berhenti.
Rest area disepanjang jalan tol pun tak bermaksud untuk selalu disinggahi, kan? Rest area dibangun untuk menampung lelah dan mengisi ulang.

Mungkin aku harus berhenti untuk berdiam.
Kaca spion di kendaraan tidak diciptakan untuk selalu ditengok kan? Kaca spion diciptakan untuk melihat sesekali dan berhati-hati, menjaga jarak dan maju teratur.

Mungkin saja.
Memang sudah sampai disini aku harus berhenti menunggu.
Halte Transjakarta tak mungkin diampiri Metromini, kan? Karena itu mungkin kita tak pernah bersinggungan.

Mungkin aku memang harus berhenti, dan mengejar waktu.
Yang tak pernah berhenti untuk menunggumu.

Rasa

.... ,
Rasa adalah virus pelumpuh.
Hanya dengan menyentuh, ia menyeluruh;
menyetubuhi setiap jengkal kamu.
Sampai puas,
Bahkan ketika kamu telah dijemput ajal,
Ia tak pernah selesai menghakimi bagian tubuhmu yang tak bisa membusuk.
Rasa.
Kemudian menjangkiti aku dengan bermetamorfosa menjadi kehilangan.

....

Wednesday, September 05, 2012

Diam

.... ,
Biasanya aku suka dimanja kesendirian, tapi sekarang tak pernah merasa sesepi ini.
Seolah tiada ruang.

Mendadak aku merasa sangat sendirian.

Saturday, September 01, 2012

September

.... , September ceria, katanya. Awal September ini dimulai dengan semangat membara; keinginan dan niat menggebu untuk mewujudkan keinginan. Bagi sebagian banyak orang. Sedikit mengutip judul lagu Greenday dengan "wake me up when September end"-nya, gue lebih suka melewati September dengan kekosongan.

Akhir bulan Agustus banyak hal terjadi, banyak kenangan seliweran mampir. Sekedar bertegur sapa atau minum jamuan masa lalu bersama. Nyaman memang, tapi rasanya gue lagi-lagi merasa kalo segala sesuatu harus berjalan. Seseorang menulis status, "Gue gak hidup kaya dulu lagi." Dan gue tersenyum miris mengetahui bahwa dia mampu bergerak maju disaat gue memilih berhenti dan membiarkan waktu meninggalkan gue jauh di belakang.

September ini, semoga segala realitas dapat benar-benar berpihak pada gue. Semua usaha dan doa gue gak sia-sia. Dan apa yang gue perjuangkan bisa menapak selangkah saja lebih jauh dari jejaknya semula. 

Sejauh-jauhnya harapan dan keinginan, tetap saja Maha Pencipta-lah yang menentukan. Dan sepertinya gue harus selalu siap ditantang untuk terus bertahan.

Welcome September. :)