.... ,
Takdir mempertemukan aku dengan seorang adam, kemudian jatuh cinta.
Melumat habis waktu yang tak pernah cukup saat bersama.
Seketika pelangi berpendar tanpa perlu diawali hujan.
Hadir di hatiku.
Dan hatinya.
Tuhan, aku pernah merasakan debarannya, sedekat nafas kami pernah seirama.
Dia pernah menemukan aku dalam keheningan,
seperti kami pernah larut dalam kenyamanan.
Aku terenggut secara pasti. Termangu dan perlahan mati.
Dibunuh ego yang terus menerus menggerogoti, antara hatiku; dan hatinya.
Cumbu demi cumbu merajuk, merapatkan pelukan semakin erat.
Takut untuk sebuah kehilangan.
Tuhan, aku pernah mencuri sesuatu yang sejauh ini selalu dijaganya,
seperti dia pernah mencuri senyuman yang selalu tersimpan rapat diujung bibirku.
Dia terenggut secara pasti. Terdiam dan membisu dalam hati.
Dibunuh perasaan yang terus memburu, merasa dipermainkan takdir dan kehidupan.
Momen demi momen terlewati, seperti menumpuk kenangan dalam hati.
Ada nyeri yang menyata. Dan akan semakin nyata.
Sesak.
Tuhan, dia pernah memelukku erat sebagaimana aku senantiasa menatapnya penuh rindu.
Kami terenggut secara pasti. Renyuh dalam batas nyata sebuah semu.
Dibunuh atas sesuatu yang tidak bisa dipersatukan.
Dan tidak bisa dipisahkan.
Dia memilih pergi.
Dan tinggalah aku sendiri menatap nanar setiap jejak yang tertinggal.
Bermandikan kenangan.
Setiap waktu.
Bergulir. Perlahan, menghanyutkan. Mematikan.
Ragaku masih hidup. Nafasku masih nyata.
Tetapi jiwaku mati, turut serta bersamanya saat dia memilih pergi.
Airmata tak pernah cukup mengalir mewakili perih yang ada,
seperti aku yang tak pernah bisa menerima ikhlas kepergiannya.
Rasanya, seperti dibunuh perlahan-lahan oleh keadaan.
Kenapa tak kau cabut saja nyawaku sekarang, Tuhan?
Tuhan, aku pernah menangkap tatapan pilu bagaimana dia begitu ingin tetap tinggal,
sebagaimana dia selalu berpura-pura tegar dihadapan semua orang.
Luruh.
Dia mati dalam ketiadaan.
Aku mati dalam penantian.
No comments:
Post a Comment