Thursday, October 10, 2013

Jika Benar

.... ,
Jika aku benar dijadikan Tuhan dari tulang rusukmu, maka biarkan aku kembali kepadamu untuk menggenapkanmu.

Jika aku benar dijadikan Tuhan dari doa panjangmu setiap malam, maka biarkan aku mengabulkan setiap kata dalam doamu.

Jika aku benar dijadikan Tuhan dari mimpimu akan kebahagiaan, maka biarkan aku mewujudkan harapanmu.

Jika aku benar dijadikan Tuhan untukmu, maka kita akan lekas bertemu. Percayalah, kamu tidak akan melewatkan aku.

Hilang

.... ,
Tak ada yang lebih menakutkan selain kehilangan, katanya.

Bagiku,
Kebahagiaan yang mendekat adalah hal yang paling menakutkan. Sebab kadang kita terlalu larut dalam kebahagiaan, sampai lupa bahwa kita pasti akan kehilangan.



Tanpa Judul

.... , 
Aku pernah mengecup rindu dalam doa, di hadapan Esa. Ku catut namamu dalam sebuah paragraf tanpa titik koma, saat khidmat berbincang denganNya. 

Dua cangkir air mata ruah, ku sesap perlahan sebagai pelipur lara. Sepotong hati tengah berduka, dalam luka yang dibawa dari dasar hatinya.

Aku pernah mengatup kedua tangan rapat-rapat, seperti seorang anak kecil menggigil terserang udara dingin. Menyeru satu nama yang sama berulang kali, disanding rindu sebagai pelengkapnya. Namamu adalah ingatan. Sementara waktu enggan memisahkannya dengan luka.

Debar demi debar mempercepat geraknya, membuatku gusar. Sepasang mata tengah bersedih, dalam cinta yang ditujukannya pada angan.

Aku pernah mencintai dengan cukup berani melepaskan dengan alasan kebahagiaan. Ku tutup kedua mataku dan ku hirup aromamu untuk terakhir kali, sambil berbisik "semoga kamu baik-baik saja."

Kemudian kita akan belajar saling melupakan, atau memaksa diri untuk melupakan, atau berharap dapat hilang ingatan.

Aku pernah mencintai kamu.

Wednesday, October 09, 2013

Pada Sebuah Nama

.... ,
Pada sebuah nama.
Aku merangkai doa, sebab ia telah lekat dalam setiap sujud.

Pada sebuah nama.
Aku menitip rindu, sebab degup ini jadi terlalu menginginkan temu.

Pada sebuah nama.
Aku membisik cinta, sebab suaraku patah ditenggorokan setiap kita jumpa.

Pada sebuah nama. Aku jatuh cinta.

Suatu Ketika di sebuah Perjalanan

.... ,
Suatu ketika disebuah perjalanan menuju akhir cerita; aku berkendara dengan kecepatan yang cukup menegangkan: disaat aku ingin melambat menikmati pemandangan sepanjang jalan. 

Tak sadar, kendaraan dibelakangku melaju lebih kencang. 

Seketika, aku tertabrak truk tangki yang membawa penuh kenangan. Aku oleng. Muatannya memenuhi sanubariku, membuat segala emosi terpendamku bangkit dari masa lalunya dan mencari sepasang mata yang pernah menatapku dengan cinta yang begitu penuh.

Seat beltku lepas, seakan aku tidak pernah menggunakannya untuk berkendara. Aku membiarkan diriku hanyut dalam ingatan-ingatan yang semestinya ku lupakan. Aku membiarkan semuanya lepas, sampai aku lupa; ada tamparan-tamparan kecil dari gusar sebuah bibir yang mengingatkan aku untuk tetap berada di pijakan.

Setengah sadar, aku berusaha bangun dengan kenangan disekujur tubuh. Beberapa datang mengulurkan tangan, kuraih, tetapi hanya untuk ku lepaskan. Dan aku kembali jatuh berlumuran kenangan.

Kulihat kendaraanku rusak parah. Aku terdiam. Kulihat lagi pengemudiku, ia diam tersenyum getir kearahku. Di dadanya tertancap sebuah kaca seperti panah, basah dengan kenangan. Pandangannya hilang, tapi aku masih bisa menangkap bayanganku samar-samar. Tidak, dia tidak mati dengan luka seperti itu, tetapi ia telah mati dalam hatinya.

Dia pernah berjanji akan membawa aku sampai ke tujuan. Inikah tempat yang ku tuju? Inikah tempat yang ingin dia tuju? Inikah tempat yang akan kita tuju? Atau kecelakaan ini semata hanya peringatan, bahwa banyak rambu yang harus selalu diperhatikan supaya tidak lengah; atau sekadar mengingatkan untuk tidak berjalan terlalu cepat.

Aku menunduk. Kehilangan kata-kata.

Suatu ketika di sebuah perjalanan menuju akhir cerita; aku tengah berduka. Untuk sebuah celaka yang tak terencana, yang membuat semua tak lagi sama.

Suatu ketika di sebuah perjalanan.

Monday, October 07, 2013

Cerita tentang Cinta yang Patah

.... , 

Saya sedang membaca buku tentang cinta chapter pertama. Ceritanya masih biasa-biasa saja. Tokoh utamanya adalah seorang perempuan muda, yang patah hati dengan senja.
.
.
Saya melanjutkan membaca chapter kedua. Ceritanya masih biasa-biasa saja. Perempuan muda itu bersikukuh bertahan, mendirikan benteng berlapis-lapis di hatinya, dengan menyisakan pintu kecil yang terbuat dari kayu dibawahnya. 

Satu-satunya yang tidak dilindungi egonya.

Berharap, ada ksatria masuk dan menyelamatkan harapannya.
.
.
Saya kembali melanjutkan membaca chapter ketiga. Saya resah, apakah harus melanjutkan membaca buku ini atau tidak; sebab membosankan, saya mampu menerka ending cerita tentang cinta. Namun pada akhirnya saya memutuskan untuk tetap membacanya.
.
.
Pada chapter ketiga, perempuan ini bertemu dengan ombak yang menggulung kedua kaki mungilnya, ditempatnya biasa ia memperingati senja. Sekejap saja, ia ingin hanyut bersamanya.

Ombak tak ayal seumpama benang jahit yang berhasil menelusup masuk kedalam lubang jarum yang kecil. Benang jahit itu ialah cintanya, dan lubang jarum itu ialah hatinya.

Ia akhirnya jatuh cinta lagi.
.
.
Saya melanjutkan kembali untuk membaca chapter terakhir. Saya ingin tahu bagaimana cerita ini akan berakhir.
Dan saya tercengang,

Karena ternyata, ombak lebih mencintai bibir pantai ketimbang perempuan itu.
.
.
Perempuan itupun kembali patah hati. Sejak saat itu, ia benci pantai dan segala isinya.