.... ,
Aku ingin menulis tentang senja. Senja seperti seorang perempuan paruh baya, menunggu dengan setia. Duduk bersimpuh dibibir pantai, menunggu matahari untuk pulang.
Setiap hari, setiap pukul lima tiga puluh petang, ia termangu diatas pasir putih beralaskan kain tipis merah muda yang mulai kusam warnanya.
Setiap hari, setiap pukul lima tiga puluh petang, ia diam memandang kearah matahari terbenam. Bola matanya hitam pekat, serupa lautan luas yang padam; kau pasti dapat melihat matahari juga tenggelam disana.
Mungkin juga hatinya. Perasaannya serupa bias cahaya oranye yang terpantul diatas laut. Ada tapi seolah-olah tak ada. Lelaki yang dicintainya pasti seperti senja. Indah, namun hanya sesaat saja.
Setiap hari, setiap pukul lima tiga puluh petang, kecuali kalau hujan bertandang dan pantai pasang. Kau akan melihat seorang perempuan paruh baya dengan alas kain tipis merah muda yang mulai kusam warnanya duduk dibibir pantai.
Ia menunggui senja.
Thursday, April 25, 2013
Tuesday, April 23, 2013
Jaring Laba-Laba
.... ,
Pernikahan itu seperti jaring
laba-laba; kita menjelma menjadi laba-laba kecil yang membangun rumah selebar
selangkang ranting.
Tidak perlu besar, tetapi cukup
kuat dan kokoh untuk menangkap mangsa dan menahan terpaan angin.
Sering tangan manusia merusaknya,
dianggapnya sarang kecil kita seperti pengganggu pemandangan mata mereka.
Mereka tidak tahu bahwa sarang kita lebih indah dari rumah mewah kepunyaan
mereka. Tau kenapa.? Sebab mereka perlu lahan luas dan biaya mahal untuk
membangun rumah, sementara kita hanya perlu selangkang lemari dan ketekunan untuk
menghasilkan istana.
Pernikahan itu seperti jaring
laba-laba; kita menjelma menjadi mangsa yang terperangkap dalam jaringnya.
Merasa jaring kita sudah cukup
kokoh untuk melumat mangsa, tanpa melihat bahwa rekat diantara selangkang
lemari tak selekat dulu lagi. Kita harus terus memperbaharui dan memperbaharui,
untuk tetap mengutuhkan sarang kecil kita.
Pernikahan itu seperti jaring laba-laba.
Subscribe to:
Posts (Atom)